Abdurrahman Baswedan | |
---|---|
عبدالرحمن باسويدان | |
Menteri Muda Penerangan Indonesia ke-2 | |
Masa jabatan 2 Oktober 1946 – 3 Juli 1947 | |
Presiden | Soekarno |
Perdana Menteri | Sutan Sjahrir |
Anggota Konstituante Republik Indonesia | |
Masa jabatan 9 November 1956 – 5 Juli 1959 | |
Nomor anggota | 229 |
Ketua | Wilopo |
Daerah pemilihan | Yogyakarta |
Anggota Chuo Sangi-In | |
Masa jabatan 1943 – 2 Juli 1945 | |
Ditunjuk oleh | Pemerintah militer Jepang |
Ketua | Mohammad Sjafei |
Informasi pribadi | |
Lahir | Abdoel Rachman 9 September 1908 Ampel, Surabaya, Hindia Belanda |
Meninggal | 16 Maret 1986[1] Jakarta, Indonesia | (umur 77)
Sebab kematian | Diabetes |
Makam | Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir |
Partai politik | PAI Masyumi |
Suami/istri | Sjaichoen
(m. 1925–1948)Barkah Ganis
(m. 1950–1986) |
Hubungan |
|
Anak | Sjaichoen
Barkah Ganis
|
Orang tua |
|
Pendidikan | Institut Agama Islam Negeri Jogjakarta (sampai 1972) |
Profesi | Wartawan |
Penghargaan sipil | Pahlawan nasional Indonesia |
| |
Sunting kotak info • L • B |
Abdurrahman bin Awad Baswedan atau populer dengan nama A. R. Baswedan (9 September 1908 – 16 Maret 1986) adalah seorang diplomat dan politisi asal Indonesia yang merupakan penggagas Persatuan Arab Indonesia (PAI), sebuah partai politik representasi dari etnis Arab di Indonesia. Semasa mudanya, dia bekerja sebagai jurnalis. Pada awal kemerdekaan Indonesia, ia diberi mandat sebagai Menteri Muda Penerangan di Kabinet Sjahrir III, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, anggota parlemen, hingga anggota Konstituante. Di masa prakemerdekaan, Abdurrahman menjabat sebagai anggota Chuo Sangi-In di Jawa. Ia merupakan salah satu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.[2]
Selain berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, A.R. Baswedan juga menguasai bahasa Arab, bahasa Inggris, dan bahasa Belanda dengan fasih.
A.R. Baswedan adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Harian Matahari Semarang memuat tulisan Baswedan tentang orang-orang Arab, 1 Agustus 1934. A.R. Baswedan memang peranakan Arab, walau lidahnya pekat bahasa Jawa Surabaya, bila berbicara. Dalam artikel itu terpampang foto Baswedan mengenakan surjan dan blangkon. Ia menyerukan kepada orang-orang keturunan Arab agar bersatu membantu perjuangan Indonesia. Ia mengajak keturunan Arab, seperti dirinya sendiri, menganut asas kewarganegaraan ius soli: di mana saya lahir, di situlah tanah airku. Pada titik inilah dia menjalani perubahan haluan yang sangat besar bagi pribadi, dan pada akhirnya menggerakkan perjalanan Indonesia.
Pada masa-masa revolusi, A.R. Baswedan berperan penting menyiapkan gerakan pemuda peranakan Arab untuk berperang melawan Belanda. Mereka yang terpilih akan dilatih dengan semi militer di barak-barak. Mereka dipersiapkan secara fisik untuk bertempur.[3]
A.R. Baswedan sendiri pernah ditahan pada masa pendudukan Jepang (1942).[4] Saat Indonesia merdeka, ia mengorbankan keselamatan dirinya saat membawa dokumen pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir pada 1948. Dia mendapatkan gangguan dan hambatan tak sedikit dalam menjaga dokumen ini.[5] Padahal, semua bandara di kota-kota besar, termasuk Jakarta, sudah dikuasai tentara Belanda dan Sekutu dan tidak ada yang bisa lewat dari penjagaan mereka. Tapi, berkat kelihaian dan kenekatannya, dengan menaruhnya di kaos kaki,[6] dokumen penting dari Mesir itu bisa selamat dan Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka secara penuh, secara de jure dan de facto.
A.R. Baswedan adalah seorang otodidak.[7] Dia mempelajari banyak hal secara mandiri, terutama kemampuan menulisnya. Tapi, dia mendapatkan dunia jurnalisme terbuka lebar setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab di Hindia Belanda, Salim Maskati,[8] yang di kemudian hari membantu A.R. Baswedan dengan menjadi Sekretaris Jenderal PAI. Karena itu, profesi utama dan pertama A.R. Baswedan adalah jurnalis. Dia memang sempat menjalani kegiatan perniagaan dengan meneruskan usaha toko orang tuanya di Surabaya. Tapi, dia tak kerasan. Dia tertarik pada dunia jurnalisme. Soebagio I.N., dalam buku Jagat Wartawan memilih A.R. Baswedan sebagai salah seorang dari 111 perintis pers nasional yang tangguh dan berdedikasi.[9]
Saat bekerja di Sin Tit Po, ia mendapat 75 gulden—waktu itu beras sekuintal hanya 5 gulden. Ia kemudian keluar dan memilih bergabung dengan Soeara Oemoem, milik dr. Soetomo dengan gaji 10-15 gulden sebulan. Setelah itu dia bekerja di Matahari. Tapi, setelah mendapatkan amanah untuk menjalankan roda organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), ia meninggalkan Matahari, padahal ia mendapat gaji 120 gulden di sana, setara dengan 24 kuintal beras waktu itu.
"Demi perjuangan," katanya.
Sebagai wartawan pejuang, A.R. Baswedan produktif menulis. Saat era revolusi, tulisan-tulisan A.R. kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimis, sebagaimana terekam dalam buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 karya Harry J. Benda.
Suratmin dan Didi Kwartanada merangkum perjalanan AR dalam dunia jurnalistik sebagai berikut:[4]
Jalan politik A.R. Baswedan dimulai saat menjadi ketua PAI. PAI memperjuangkan penyatuan penuh keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia dan terlibat aktif dalam perjuangan bangsa.[10] PAI mendapatkan banyak kritikan dan cercaan dari sana-sini atas cita-citanya.[11]
A.R. Baswedan mengonsolidasikan kekuatan internal sekaligus membangun komunikasi dengan pihak luar, yaitu gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia lainnya, seperti Soekarno, Moh. Hatta, Sutan Sjahrir, dan Moehammad Husni Thamrin. Pada 21 Mei 1939, PAI turut bergabung dalam Gerakan Politik Indonesia (GAPI) yang dipimpin Moehammad Husni Thamrin. Dalam GAPI ini partai-partai politik bersepakat untuk menyatukan diri dalam wadah negara kelak bernama Indonesia. Berkat masuk dalam GAPI ini, posisi PAI sebagai gerakan politik dan kebangsaan semakin kuat. Selain masuk dalam GAPI, A.R. Baswedan juga membawa PAI ke dalam lingkaran gerakan politik kebangsaan yang lebih luas dengan masuk ke dalam Majelis Islam ala Indonesia (MIAI) pada 1937.
Pada masa pendudukan Jepang, A.R. Baswedan diangkat sebagai anggota Chuo Sangi In, semacam Dewan Penasihat Pusat yang dibentuk Penguasa Jepang. Organisasi ini diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.
Menjelang Indonesia merdeka, A.R. Baswedan ikut menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di sinilah A.R. bersama para pendiri bangsa lainnya terlibat aktif menyusun UUD 1945. Setelah Indonesia merdeka, A.R. Baswedan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Perjuangan A.R. Baswedan berlanjut di republik baru. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St. Pamuncak, A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan) menjadi delegasi diplomatik pertama yang dibentuk oleh negara baru merdeka ini. Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. Perjuangan ini berhasil meraih pengakuan pertama atas eksistensi Republik Indonesia secara de facto dan de jure oleh Mesir. Lobi panjang melalui Liga Arab dan di Mesir itu menjadi tonggak pertama keberhasilan diplomasi yang diikuti oleh pengakuan negara-negara lain terhadap Indonesia, sebuah republik baru di Asia Tenggara.
Pada 1950-an, A.R. Baswedan bergabung dalam Partai Masyumi. A.R. Baswedan menjadi pejabat teras partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia itu. Deliar Noer menyimpulkan bahwa A.R. Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Moh. Natsir dalam Masyumi.[12] Ketika Partai Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 15 Agustus 1960, muncul kemarahan antara golongan Islamis terhadap pemerintah.[13] Zakaria kemudian mengatakan bahwa Soekarno mencoba untuk mengeliminasi dan membungkam partai yang memperjuangkan Islam, beserta pandangan politiknya.[13] Dalam wawancara dengan Suratmin pada bulan November 1984, A.R. Baswedan mengatakan bahwa alasannya bergabung dengan Partai Masyumi karena partai tersebut sesuai dengan pandangan nasionalisme Islam yang dianutnya.[14]
Saat bersekolah di Hadramaut School di Surabaya, A.R. Baswedan berkenalan dengan KH. Mas Mansoer, imam dan khatib Masjid Ampel, Surabaya. KH. Mas Mansoer pernah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya. Dari perkenalan itu A.R. Baswedan sering diminta KH Mas Mansoer untuk ikut berdakwah ke berbagai daerah.[15] Berkat kegiatan ini, komitmen keislaman mengental dan kemampuan pidato A.R. Baswedan terasah dengan baik; pada gilirannya kemampuannya ini sangat membantunya saat ia berkeliling ke berbagai daerah dan menyampaikan kampanye tentang PAI.[16]
Selain berpidato, A.R. Baswedan juga berdakwah melalui tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai majalah dan koran Islam. Ia mengasuh kolom Mercusuana pada harian milik Muhammadiyah, Mercusuar (di kemudian hari berubah namanya menjadi Masa kini). Pada akhir 40-an sampai akhir 50-an A.R. Baswedan menjadi pemimpin redaksi Majalah Hikmah, sebuah mingguan Islam popular. Dalam dewan redaksi, selain A.R. Baswedan, juga terdapat Moh. Natsir dan Buya Hamka. Para penulis majalah ini adalah tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti Sjafruddin Prawiranegara.
Dalam bidang dakwah, A.R. Baswedan juga menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Cabang Yogyakarta. Bahkan, dia menjadi pelindung dan rumahnya di Tamah Yuwono menjadi tempat berteduh bagi mahasiswa atau seniman Islam yang tergabung dalam Teater Muslim.
Foto A.R. Baswedan di majalah Matahari yang mengenakan surjan dan blangkon itu menjadi kontroversi di kalangan Arab di Hindia Belanda, terlebih karena ada tulisan A.R. Baswedan yang berjudul "Peranakan Arab dan Totoknya". Dalam tulisan itu, A.R. Baswedan mengajak keturunan Arab yang berada di Hindia Belanda saat itu untuk bersatu, membaur dengan masyarakat lainnya. Yang dimaksud dengan peranakan Arab (muwalad) adalah warga Arab yang lahir di negeri ini (saat itu bernama Hindia Belanda), sementara totok (wulaiti) adalah mereka yang lahir di kampung halamannya, di Hadramaut, Yaman. Dalam tulisan itu, A.R. Baswedan mengajak kepada peranakan Arab dan juga yang totok untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.[17]
Tulisan A.R. Baswedan berjudul "Peranakan Arab dan Totoknya" ini sangat kuat dan menjadi salah satu penentu perjalanan bangsa ini. Karena itu, Majalah Tempo Edisi Khusus 100 Tahun Kebangkitan Nasional 1908-2008, "Indonesia yang Kuimpikan, 100 Catatan yang Merekam Perjalanan Sebuah Negeri" memasukkan tulisan A.R. Baswedan tersebut sebagai salah satu catatan yang turut membentuk Indonesia.[18]
Berkat foto dan tulisan ini, A.R. Baswedan lalu mengumpulkan dan menyatukan para pemuda Arab untuk berkomitmen menyatakan Indonesia sebagai tanah air. Terinspirasi oleh Sumpah Pemuda yang digalang oleh Muh. Yamin, Soegondo, dan kawan-kawannya pada 28 Oktober 1928 di Jakarta, para pemuda keturunan Arab pun mengucapkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab di Semarang setelah mendirikan Persatoean Arab Indonesia (PAI), di kemudian hari menjadi Partai Arab Indonesia (PAI). Berikut bunyi Sumpah Pemuda Keturunan Arab:
Tulisan-tulisan A.R. Baswedan tersebar di banyak media. Tapi sayang, tak semua tulisannya sempat terkumpulkan dan diterbitkan secara kronologis. Berikut ini sebagian karya A.R. Baswedan yang sempat dikumpulkan dan dicetak:
A.R. Baswedan menyelesaikan naskah autobiografinya di Jakarta pada akhir bulan Februari 1986. Sekitar 2 minggu kemudian, kondisi kesehatan A.R. Baswedan menurun dan meninggal. A.R. Baswedan dimakamkan di TPU Tanah Kusir berdampingan dengan para pejuang Indonesia yang menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
Pemakamannya diiringi ribuan orang. Para pejabat tinggi, masyarakat, dan juga koleganya turut memenuhi jalan dan mengantarkannya hingga ke peristirahatan terakhirnya. Menteri Penerangan H. Harmoko saat mengiringi jenazah ke Tanah Kusir mengatakan bahwa A.R. ini lebih Indonesia dari orang Indonesia sendiri.
Kementerian Penerangan sehari kemudian mengadakan upacara dan apel besar untuk menghormati dan mengingat jasa-jasa A.R. Baswedan.
Obituari dan reportase tentang wafatnya A.R. Baswedan menghiasi media lokal dan nasional selama beberapa hari. Yayasan Idayu mengumpulkan obituari mengenai A.R. Baswedan ini dan menerbitkannya menjadi buku memori.
Peninggalan A.R. Baswedan adalah koleksi buku-bukunya yang berjumlah lebih dari 5.000 buku. Wasiat A.R. Baswedan adalah buku-buku itu dijadikan perpustakaan. Buku-buku berbahasa Arab, Belanda, Inggris, dan Indonesia itu ditata rapi (dengan katalog modern) di kamar depan—yang dahulu menjadi ruang kerjanya—di rumahnya di Kota Yogyakarta dan masyarakat luas (terutama kaum mahasiswa) bisa dengan mudah mengakses koleksi buku-buku peninggalan A.R. Baswedan ini. A.R. Baswedan banyak berinteraksi dengan anak-anak muda. Beberapa anak muda yang dekat dengan A.R. Baswedan di antaranya adalah Alm. Ahmad Wahib, Anhar Gonggong, Emha Ainun Nadjib, Lukman Hakim (PPP), Syu'bah Asa, Taufiq Effendi (Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara 2004-2009), W.S. Rendra dan hampir semua aktivis muda di Yogyakarta pada periode 1960-an sampai 1980-an.
A.R. Baswedan menikah dengan Sjaichun. Pada tahun 1948 Sjaichun meninggal dunia di Kota Surakarta karena serangan malaria. Tahun 1950 A.R. Baswedan menikah lagi dengan Barkah Ganis, seorang tokoh pergerakan perempuan, di rumah KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Muhammad Natsir bertindak sebagai wali dan menikahkan mereka. Dia dikarunia 11 anak dan 45 cucu.[21]
Baswedan sangat sederhana dan tidak pernah memikirkan harta material. Sampai akhir hayatnya A.R. Baswedan tidak memiliki rumah. Dia dan keluarga menempati rumah pinjaman di dalam kompleks Taman Yuwono di Yogyakarta, sebuah kompleks perumahan yang dipinjamkan oleh Haji Bilal Atmojoewana untuk para pejuang revolusi saat Ibu kota di RI berada di Yogyakarta. Mobil yang dimilikinya adalah hadiah ulang tahun ke 72 dari sahabatnya Adam Malik, saat menjabat Wakil Presiden.
Cucunya, Anies Baswedan adalah Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia pada Kabinet Kerja pada era Presiden Joko Widodo pada tahun 2014 hingga 2016. Pada 15 Oktober 2017 Anies dilantik menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibu kota Jakarta untuk periode 2017-2022. Cucu A.R. Baswedan lainnya adalah penyidik antirasuah yang tangguh, Novel Baswedan.
Berkat sumbangsihnya dalam perjuangan bangsa, negara memberi A.R. Baswedan penghargaan. Tak hanya Republik Indonesia yang turut A.R. Baswedan bangun, dua negara Islam lain pun turut memberinya penghargaan atas kontribusinya dalam membangun hubungan antarnegara dan juga sikapnya yang mendorong penuh kemerdekaan, yaitu dari Mesir dan Aljazair.[4]
Pada 2011-2013,[26] Drs. Eddie Lembong melalui Yayasan Nation Building (Nabil) menginisiasi gelar pahlawan kepada A.R. Baswedan.[27] Ada 6 pertimbangan Yayasan Nabil mengusulkan A.R. Baswedan sebagai pahlawan nasional:
Dalam rangka proses ini Yayasan Nabil mengadakan diskusi di sejumlah universitas dan tempat dan di beberapa daerah.[28] Yayasan Nabil juga menerbitkan buku biografi A.R. Baswedan karya Suratmin dan Didi Kwartanada.[29] Meski demikian, secara formal yang mengajukan dan mengusulkan anugerah Pahlawan Nasional untuk A.R. Baswedan adalah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui perkenan Sultan Hamengku Buwana X dan Wali kota Yogyakarta Herry Zudianto.
Selain Yayasan Nabil, ada juga upaya yang dilakukan AM Fatwa dalam proses penganugerahan ini sejak 2015.
Pada hari Kamis 8 November 2018 Abdurrahman Baswedan, kakek dari Anies Baswedan dan Novel Baswedan, diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo, di Istana Kepresidenan Jakarta.[30]
Di awal September 2008, media massa di Indonesia menuliskan kisah perjuangan AR Baswedan sebagai peringatan 100 tahun kelahirannya.
Jabatan politik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Ali Sastroamidjojo |
Wakil Menteri Penerangan Indonesia 1946 - 1947 |
Diteruskan oleh: Tidak ada |