Mayoritas penduduk Timor Leste beragama Katolik, dan Gereja Katolik adalah institusi keagamaan yang dominan.[1] Ada juga sebagian kecil komunitas Protestan dan Muslim.[1]
Pada tahun 1975, diperkirakan hanya 25–30% penduduk Timor Leste yang dibaptis sebagai seorang Katolik. Namun, setelah Timor Leste diduduki oleh Indonesia, agama Katolik berkembang pesat di wilayah tersebut, dan pada dasawarsa 1990-an, persentase rakyat Timor Leste yang dibaptis sebagai seorang Katolik telah mencapai lebih dari 90%.[2][3] Jumlah gereja sendiri bertambah dari 100 bangunan gereja pada tahun 1974 menjadi lebih dari 800 pada tahun 1994.[4] Diyakini salah satu penyebab Timor Leste berubah menjadi negara Katolik adalah karena hukum Indonesia mewajibkan semua warganya untuk menganut salah satu agama yang diakui secara resmi, dan kepercayaan animis rakyat Timor Leste dianggap tidak sesuai dengan sila pertama Pancasila.[2][3]
Gereja Katolik Roma di Timor Leste adalah bagian dari Gereja Katolik Roma seluruh dunia, dibawah kepemimpinan spiritual dari Paus dan kuria di Roma. Ada lebih dari 900,000 penganut Katolik di Timor Leste, warisan dari status bekas koloni Portugis. Sejak kemerdekaan dari Indonesia, Timor leste menjadi salah satu dari dua negara yang dinominasi oleh agama Katolik di Asia (setelah Filipina) - diperkirakan 96% dari populasi menganut Katolik Roma.
Negara ini dibagi menjadi satu keuskupan agung dan dua keuskupan sufragan; Keuskupan Agung Dili, Keuskupan Maliana dan Keuskupan Baucau, yang membentuk Provinsi Gerejawi Dili.
Nuncio Apostolik untuk Timor Leste bersamaan dengan nuncio untuk Malaysia. Nuncio saat ini adalah Uskup Agung Joseph Salvador Marino, dan nunciature atau kedutaan berlokasi di Kuala Lumpur.[5]
Pada awal abad ke-16, pedagang Portugal dan pedagang Belanda melakukan kontak dengan Timor Leste. Misionaris mempertahankan kontak sporadis sampai tahun 1642 ketika Portugal mengambil alih dan mempertahankan kontrol sampai 1974, dengan pendudukan singkat oleh Jepang selama Perang Dunia II.[6]
Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Timor Timur pada Oktober 1989. Paus Yohanes Paulus II telah berbicara menentang kekerasan di Timor Timur, dan menyerukan kedua pihak untuk menahan diri, memohon rakyat Timor Timur untuk memberikan "cinta dan berdoa untuk musuh-musuh mereka."[7] Uskup yang telah pensiun, Carlos Ximenes Belo adalah pemenang Hadiah Nobel Perdamaian bersama dengan José Ramos-Horta pada tahun 1996 untuk upaya mereka untuk membebaskan Timor Timur dari Indonesia.[8] Gereja Katolik Roma masih sangat terlibat dalam politik, dengan konfrontasi yang terjadi pada tahun 2005 dengan pemerintah terhadap pendidikan agama di sekolah dan sebelumnya dari pengadilan kejahatan perang untuk kekejaman terhadap Timor Timur oleh Indonesia.[9] Mereka juga telah mendukung Perdana Menteri baru dalam upayanya untuk mendorong rekonsiliasi nasional.[10] Pada bulan Juni 2006 Catholic Relief Services menerima bantuan dari Amerika Serikat untuk membantu korban pada bulan-bulan kerusuhan di negara itu.[11]
Islam adalah agama minoritas di Timor Leste. State Department Amerika Serikat dan CIA World Factbook memperkirakan Muslim berjumlah sekitar 1% dari populasi.[12] Perdana menteri pertama Timor Leste, Mari Alkatiri adalah seorang Muslim Sunni.