Alun-alun (dulu ditulis aloen-aloen atau aloon-aloon dan dengan keliru alon-alon) adalah suatu lapangan terbuka yang luas dan berumput yang dikelilingi oleh jalan dan dapat digunakan kegiatan masyarakat yang beragam. Menurut Van Romondt (Haryoto, 1986:386), pada dasarnya alun-alun itu merupakan halaman depan rumah, tetapi dalam ukuran yang lebih besar. Penguasa bisa berarti raja, bupati, wedana, dan camat bahkan kepala desa yang memiliki halaman paling luas di depan Istana atau pendopo tempat kediamannya, yang dijadikan sebagai pusat kegiatan masyarakat sehari-hari dalam ikwal pemerintahan militer, perdagangan, kerajinan dan pendidikan. Lebih jauh Thomas Nix (1949:105-114) menjelaskan bahwa alun-alun merupakan lahan terbuka dan terbentuk dengan membuat jarak antara bangunan-bangunan gedung. Jadi dalam hal ini, bangunan gedung merupakan titik awal dan merupakan hal yang utama bagi terbentuknya alun-alun. Tetapi kalau adanya lahan terbuka yang dibiarkan tersisa dan berupa alun-alun, hal demikian bukan merupakan alun-alun yang sebenarnya.
Jadi alun-alun bisa di desa, kecamatan, kota maupun pusat kabupaten.
Pada awalnya Alun-alun merupakan tempat berlatih perang (gladi yudha) bagi prajurit kerajaan, tempat penyelenggaraan sayembara dan penyampaian titah (sabda) raja kepada kawula (rakyat), pusat perdagangan rakyat, juga hiburan seperti rampokan macan, yaitu acara yang menarik dan paling mendebarkan yaitu dilepaskannya seekor harimau yang dikelilingi oleh prajurit bersenjata.
Perkembangan alun-alun sangat tergantung dari evolusi pada budaya masyarakatnya yang meliputi tata nilai, pemerintahan, kepercayaan, perekonomian dan lain-lain.
Zaman Hindu-Budha, alun-alun telah ada (Buku Negara Kertagama, menyatakan di Trowulan terdapat alun-alun) asal usulnya ialah dari kepercayaan masyarakat tani yang setiap kali ingin menggunakan tanah untuk bercocok tanam, maka haruslah dibuat upacara minta izin kepada “dewi tanah”. Yaitu dengan jalan membuat sebuah lapangan “tanah sakral” yang berbentuk “persegi empat” yang selanjutnya dikenal sebagai alun-alun.
Masa kerajaan Mataram, di Alun-alun depan istana secara rutin rakyat Mataram “seba” menghadap Penguasa (lihat Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta). Alun-alun pada masa ini sudah berfungsi sebagai pusat administratif dan sosial budaya bagi penduduk pribumi.
Masa masuknya Islam, bangunan masjid dibangun di sekitar alun-alun. Alun-alun juga digunakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan hari besar Islam termasuk Salat Idul Fitri. Pada saat ini banyak alun-alun yang digunakan sebagai perluasan dari masjid seperti Alun-alun Kota Bandung. Konsep alun-alun menurut Islam adalah sebagai ruang terbuka perluasan halaman masjid untuk menampung luapan jamaah dan merupakan halaman depan dari keraton. Siar Islam telah membawa perubahan dalam perancangan pusat kota, sehingga alun-alun, keraton dan masjid berada dalam satu kawasan yang di dekatnya terdapat jalur transportasi.[1]
Periode kekuasaan Belanda di Nusantara, ikut memberi warna bentuk baru dalam tata lingkungan alun-alun. Hal ini terlihat dengan didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun, termasuk di alun-alun Surakarta Yogyakarta. Pendirikan bangunan-bangunan untuk kepentingan Belanda sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun, kewibawaan penguasa setempat (penguasa pribumi). Pada periode berikutnya kehadiran kekuasaan Belanda di Nusantara, ikut memberi warna bentuk baru dalam tata lingkungan alun-alun. Hal ini terlihat dengan didirikannya bangunan penjara pada sisi lain alun-alun, termasuk di alun-alun Surakarta Yogyakarta. Pendirikan bangunan-bangunan untuk kepentingan Belanda sekaligus mengurangi fungsi simbolis alun-alun, kewibawaan penguasa setempat (penguasa pribumi).
Kawasan Alun – alun Magelang memiliki sejarah yaitu ketika Kerajaan Inggris mulai mengambil alih Hindia Belanda dari Jajahan kerajaan Belanda, seorang Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles mengangkat Mas Ngabei Danuringrat sebagai bupati Magelang pertama serta mendapat gelar Adipati Danuningrat I, setelah Hindia Belanda kembali ke pangkuan Kerajaan Belanda tahun 1813, Magelang menjadi daerah kolonial Belanda. Belanda mulai mengembangkan Magelang dengan mendirikan beberapa bangunan seperti Klenteng Ling Hok Bio, Gereja Santo Ignatius, Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren, dan Menara air.[2]
Periode zaman kemerdekaan, banyak alun-alun yang berubah bentuk. Salah satunya alun-alun Malang. Faktor pendorong pertumbuhan ini macam-macam di antaranya kebijakan pemerintah, aktivitas masyarakat, Perdagangan dan Pencapaian (Dadang Ahdiat, 1993).
Jo Santoso dalam Arsitektur Kota Jawa: Kosmos, Kultur & Kuasa (2008), menjelaskan betapa pentingnya alun-alun karena menyangkut beberapa aspek. Pertama, alun-alun melambangkan ditegakkannya suatu sistem kekuasaan atas suatu wilayah tertentu, sekaligus menggambarkan tujuan dari harmonisasi antara dunia nyata (mikrokosmos) dan universum (makrokosmos). Kedua, berfungsi sebagai tempat perayaan ritual atau keagamaan. Ketiga, tempat mempertunjukkan kekuasaan militer yang bersifat profan dan merupakan instrumen kekuasaan dalam mempraktikkan kekuasaan sakral dari sang penguasa.
Penjelasan di atas tentu saja masih harus ditambahkan bahwa keberadaan alun-alun berfungsi pula sebagai ruang publik terbuka di mana rakyat saling bertemu dan fungsi pengaduan rakyat pada raja. Sebagai ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk bercakap-cakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat dll. Bahkan istilah Plaza yang saat ini menjadi ikon modernitas di setiap kota, disinyalir oleh Romo Mudji Sutrisno dalam bukunya, Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cyberspace (2010) sebagai bentuk ruang publik yang telah mengalami pergeseran makna yang dahulunya adalah alun-alun[4]. B. Herry Priyono dalam bukunya Republik Tanpa Ruang Publik (2005) memberi peringatan akan dampak pergeseran makna Plaza yang semula adalah Alun-alun sebagai aktivitas ruang publik yang dinamis sbb: “ketika ruang publik telah menjelma menjadi komoditas komersial suatu masyarakat, maka pemaknaan ‘kewarganegaraan’ sebagai makhluk sosial, telah berganti menjadi pemaknaan bahwa masyarakat itu adalah konsumen belaka”.
Sebagai tempat pengaduan rakyat, alun-alun berfungsi sebagai tempat curhat dan protesnya masyarakat terhadap sebuah kebijakan pemerintahan dalam hal ini raja atau istana. Di alun-alun Yogyakarta pada zaman kolonial, tepat di mana berdirinya wringin kurung (pohon beringin yang dibatasi pagar) jika seseorang mengalami keberatan atau sebuah kebijakkan maka mereka akan duduk bersila seharian di sana dengan menggunakan tutup kepala putih dan pakaian putih. Tata cara ini disebut dengan pepe. Jika raja melihat keberadaan orang tersebut maka raja akan memerintahkan untuk membawa orang tersebut menghadap dan mengadukan persoalannya secara langsung.
Dalam buku Tahta Untuk Rakyat dikatakan, “Adanya cara ber-pepe ini menunjukkan bahwa pada zaman dulu sudah ada forum untuk memperjuangkan hak asasi manusia sehingga jelas itu bukan barang baru atau barang yang diimpor dari negara lain”
Handinoto, Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra, menguraikan bahwa keberadaan Alun-alun telah ada pada zaman Majapahit (Hindu-Budha) dan zaman Mataram (Islam).
Menurut Kitab Negarakertagama karya Empu Prapanca, disebutkan bahwa pada zaman Majapahit, alun-alun memiliki fungsi sakral dan fungsi profan. Yang dimaksudkan fungsi sakral adalah upacara-upacara religius dan penetapan jabatan pemerintahan. Sementara fungsi profan adalah untuk kegiatan pesta rakyat dan perayaan-perayaan tahunan. Ada dua alun-alun yang menjalankan kedua fungsi di atas yaitu Alun-alun Bubat (menjalankan fungsi profan) dan Alun-alun Wiguntur (menjalankan fungsi sakral).
Pola ini dilanjutkan baik dalam pemerintahan Mataram baik Yogyakarta maupun Surakarta yang memiliki dua alun-alun yaitu Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul. Di alun-alun Surakarta dan Yogyakarta ditempatkan pohon beringin kembar. Di zaman Mataram Islam ditambahkan keberadaan Masjid sebagai pengganti candi.
Pada zaman kolonial, alun-alun tidak hanya menjadi bagian dari sebuah keraton yang dikepalai oleh seorang raja melainkan oleh para bupati sebagai bawahan raja. Pemerintah kolonial Belanda dalam memerintah Nusantara selain menggunakan pejabat resmi seperti Gubernur Jenderal, Residen, Asisten Residen, Kontrolir dan sebagainya, juga menggunakan pejabat Pribumi untuk berhubungan langsung dengan rakyat, seperti Bupati, Patih, Wedana, Camat dan lainnya. Unsur pemerintahan Pribumi ini biasanya disebut sebagai Pangreh Praja (yang berkuasa atas kerajaan - orang Belanda memakai istilah Inlandsch Bestuur). Dalam sistem pemerintahan Inlandsch Bestuur pejabat Pribumi yang tertinggi adalah Regent atau biasa disebut sebagai Bupati, yang membawahi sebuah Kabupaten. Rumah Bupati di Jawa selalu dibangun untuk menjadi miniatur Kraton di Surakarta dan Yogyakarta. Di depan rumah Bupati juga terdapat pendopo yang berhadapan langsung dengan alun-alun, yang sengaja diciptakan oleh para Bupati untuk bisa menjadi miniatur dari Kraton Surakarta atau Yogyakarta.
Handinoto melihat adanya pergeseran signifikan mengenai eksistensi alun-alun paska kolonialisme, “Pada awal abad ke 20, terjadi ‘westernisasi’ kota-kota di Nusantara. Kebudayaan ‘Indisch’, yang pada abad ke 19 berkembang subur di Nusantara, terlihat menghilang disapu oleh kebudayaan Barat modern yang dibawa oleh para pendatang baru pada awal abad ke 20. Sejak awal abad ke 20 inilah mulai kelihatan rusaknya alun-alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa”.
Handinoto juga mengungkapkan keprihatanannya sbb: “Sesudah kemerdekaan Indonesia nasib alun-alun kota bertambah parah lagi. Banyak pengambil keputusan atau kebijakan pembangunan kota ragu-ragu atau bahkan tidak mengerti mau difungsikan untuk apa alun-alun ini. Banyak alun-alun yang sekarang digunakan untuk tempat olahraga sepak bola, tenis, basket, ada pula yang sekarang difungsikan sebagai taman kota. Bahkan banyak yang sekarang tidak jelas fungsinya, karena pusat kotanya sudah bergeser ke lain lokasi. Yang paling tragis lagi ada alun-alun kota yang diincar investor untuk dibeli karena letaknya yang strategis di pusat kota. Semuanya ini sebagai akibat belum adanya suatu konsensus budaya yang jelas secara nasional, untuk bisa dipakai sebagai pegangan dalam menangani alun-alun yang ada sekarang, sehingga wajar kalau timbul kebingungan dalam menangani pembangunan nya. Jadi seperti apa yang dilihat sekarang pada alun-alun kota, ingin meninggalkan pola tradisional, tetapi belum menemukan struktur-struktur baru yang mantap. Sesudah zaman pasca kolonial ini alun-alun kelihatan seperti ‘hidup segan matipun enggan”
Sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa Alun-alun memiliki makna[4] sakral dan profan, maka keberadaannya tidak lepas dengan sejumlah filosofi dan makna yang terkandung di dalamnya.
Suwardjoko P Warpani SAPPK-Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota menuliskan, "Alun-alun merupakan salah satu bentuk ruang terbuka kota yang keberadaannya menyandang filosofi dan tampil dengan ciri-ciri khas. Ciri-ciri sebidang alun-alun yang sudah hilang barangkali sangat sulit dikembalikan, atau setidak-tidaknya memerlukan waktu cukup lama. Metamorfosa alun-alun nyaris tak bisa dicegah, walaupun fungsi sebagai ruang terbuka masih tampil kuat bahkan kadang-kadang berlebihan. Banyak anggota masyarakat yang kebablasan memaknai ruang terbuka umum dengan paham berhak melakukan apa saja".
Khairudin H. Dalam bukunya Filsafat Kota Yogyakarta menjelaskan filosofi alun-alun sbb: "Alun-alun utara ini menurut K.P.H. Brotodiningrat (1978:20) adalah gambaran suasana yang sangat nglangut, suasana tanpa tepi, suasana hati kita dalam semadi. Dalam melakukan semadi, sujud kepada Tuhan Yang Maha Kuasa biasanya penuh dengan godaan-godaan, yang tercermin dari luasnya alun-alun. Alun-alun juga penggambaran luasnya masyarakat dengan berbagai bentuk dan sifat yang siap mempengaruhi iman seseorang untuk madep kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Alun-alun menurut KRT. Puspodiningrat (1984:2) berasal dari kata alun 9 gelombang). Gelombang yang mengayun-ayunkan hidup manusia di dalam samudra masyarakat. Gelombang ini digerakkan oleh angin (beringin) dari segala penjuru yang tumbuh di sekeliling alun-alun. Agin ini ibarat berbagai aliran yang membawa pengaruh kepada manusia, misalnya ideologi, agama, science, kepercayaan dan sebagainya. Sedangkan beringin yang ada di tengah alun-alun yang berjumlah dua buah menggambarkan kesatuan antara mikrokosmos dan makrokosmos".