Bagian dari seri |
Apokrifa Perjanjian Baru |
---|
Portal Kristen |
Apokalipsis Petrus[note 1] atau Wahyu kepada Petrus adalah karya tulis Kristen Purba abad ke-2 yang berlanggam sastra apokalipsis, dan merupakan peninggalan tertulis paling tua yang berisi penggambaran surga dan neraka versi Kristen secara terperinci. Karya sastra yang menampakkan pengaruh kesusastraan apokalipsis Yahudi maupun filsafat Helenistis Yunani ini terlestarikan dalam dua versi berlainan yang diturunkan dari satu karya asli Yunani-Koine yang sudah hilang, yaitu versi Yunani yang lebih pendek dan versi Habasyi yang lebih panjang.
Apokalipsis Petrus adalah karya sastra pseudepigraf, digadang-gadang sebagai karya tulis murid Petrus, tetapi penulis yang sesungguhnya tidak diketahui. Isinya adalah penjabaran penglihatan gaib Petrus. Sesudah mengulik tanda-tanda Kedatangan Kali Kedua Kristus, Apokalipsis Petrus lantas menjabarkan penglihatan gaib tentang akhirat (katabasis), serta memerinci pelbagai pahala nikmat surgawi yang diperuntukkan bagi orang-orang benar maupun ganjaran siksa neraka yang diperuntukkan bagi orang-orang terlaknat. Siksa neraka pada khususnya digambarkan dengan sangat hidup dan bersifat jasmaniah, kurang-lebih selaras dengan asas "mata ganti mata" (lex talionis), misalnya penghujat digelantungkan dengan lidahnya, saksi dusta ditebas bibirnya, hartawan bakhil dipakaikan gombal compang-camping layaknya pengemis lantas ditembuk batu-batu tajam lagi panas membara, dan seterusnya.
Meskipun tidak menjadi bagian dari kanon baku Perjanjian Baru, Apokalipsis Petrus tergolong ke dalam kelompok karya sastra apokrif Perjanjian Baru, dan tersenarai di dalam kanon fragmen Muratori, yakni daftar kitab Kristen berterima dari abad ke-2 yang merupakan salah satu purwa-kanon tertua yang masih lestari hingga sekarang. Meskipun demikian, fragmen Muratori juga mengungkapkan keragu-raguannya akan ketulenan Apokalipsis Petrus dengan menyebutkan bahwa beberapa pihak berwenang tidak akan mengizinkan risalah itu dibacakan di dalam gereja. Meskipun memengaruhi banyak karya sastra Kristen yang ditulis pada abad ke-2, ke-3, dan ke-4, Apokalipsis Petrus pada akhirnya dicap gadungan dan lambat laun ditinggalkan orang, kalah pamor dari Apokalipsis Paulus, karya sastra abad ke-4 yang kental dengan pengaruh Apokalipsis Petrus lantaran menjabarkan penglihatan gaib yang sudah dimutakhirkan tentang surga dan negara. Apokalipsis Petrus merupakan contoh karya tulis dari ragam sastra yang sama dengan Divina Commedia karangan Dante yang terkenal itu, yakni ragam sastra yang mengisahkan petualangan tokoh utamanya ke alam akhirat.
Apokalipsis Petrus agaknya ditulis dalam rentang waktu tahun 100 sampai 150 tarikh Masehi. Terminus post quem atau batas akhir rentang pekiraan waktu penulisan Apokalipsis Petrus ditetapkan berdasarkan kesan yang tampak bahwa kemungkinan besar karya tulis ini menyitir 4 Ezra, kitab yang ditulis sekitar tahun 100 tarikh Masehi.[5] Apokalipsis Petrus dikutip di dalam parwa ke-2 Orakel Sibila (sekitar tahun 150), disebut judulnya maupun dikutip isinya di dalam Nukilan Nubuat yang ditulis Klemens dari Aleksandria (sekitar tahun 200),[6] dan tercantum di dalam fragmen Muratori yang sudah jamak diperkirakan berasal dari perempat akhir abad ke-2 (sekitar tahun 170–200).[7] Semua fakta di atas mengisyaratkan bahwa Apokalipsis Petrus sudah ada sekitar tahun 150 tarikh Masehi.[8]
Richard Bauckham mengusulkan rentang perkiraan waktu yang lebih sempit, yaitu rentang waktu pemberontakan Bar Kokba (tahun 132–136), dan menduga bahwa penulisnya adalah seorang Kristen Yahudi, warga Provinsi Yudea, yakni daerah di negara Kekaisaran Romawi yang terdampak pemberontakan tersebut.[note 2] Sarjana-sarjana lain menduga bahwa Apokalipsis Petrus ditulis di Provinsi Mesir.[note 3]
Dari Abad Pertengahan sampai tahun 1886, keberadaan Apokalipsis Petrus hanya diketahui dari kutipan-kutipan dan penyebutan judulnya di dalam karya-karya sastra Kristen Purba.[13] Dalam ekskavasi yang diprakarsai Gaston Maspéro pada musim pengalian 1886–1887 di sebuah nekropolis padang gurun di Akhmim, Mesir Hulu, ditemukan sebuah naskah Yunani Koine yang sudah terfragmentasi. Fragmen naskah tersebut terdiri atas lembaran-lembaran perkamen yang diklaim didapati tersimpan di dalam pusara seorang rahib Kristen.[14] Ada banyak sekali perkiraan waktu pembuatan naskah ini. Paleograf Guglielmo Cavallo dan papirolog Herwig Maehler memperkirakan bahwa kemungkinan besar naskah ini disusun pada akhir abad ke-6.[15] Naskah Yunani tersebut kini tersimpan di Museum Kubti, kawasan Kota Tua Kairo.[15]
Pada abad ke-19, penjelajah Prancis Antoine d'Abbadie berhasil mengumpulkan banyak naskah di Etiopia, tetapi sebagian besar dibiarkan telantar berdasawarsa lamanya tanpa diteliti maupun diterjemahkan.[16] Sekumpulan besar karya sastra Klemens Habasyi koleksi Antoine d'Abbadie diterbitkan bersama terjemahannya ke dalam bahasa Prancis dalam rentang waktu tahun 1907 sampai 1910.[17] Pada tahun 1910, sesudah membaca terjemahan-terjemahan Prancis tersebut, sarjana Inggris M. R. James menginsyafi keterkaitannya yang erat dengan Apokalipsis Petrus versi Yunani yang ditemukan di Akhmim, sekaligus keterkandungan sebuah versi Habasyi dari Apokalipsis Petrus di dalamnya.[18][19] Naskah Habasyi lain ditemukan secara terpisah di pulau Kebrān yang terletak di tengah Danau Tana pada tahun 1968.[20] Versi-versi Habasyi ini tampaknya adalah terjemahan versi Arab, dan versi Arab itu sendiri adalah terjemahan versi asli Yunani yang sudah musnah. Naskah Antoine d'Abbadie diperkirakan berasal dari abad ke-15 atau ke-16, sementara naskah Danau Tana mungkin saja berasal dari abad ke-18.[21]
Sudah ditemukan pula dua fragmen pendek Apokalipsis Petrus versi Yunani, kedua-duanya pertama kali ditemukan di Mesir. Yang pertama adalah fragmen Bodley, serpihan naskah dari abad ke-5 yang ditemukan pada tahun 1895 dan kini tersimpan di Perpustakaan Bodley. Yang kedua adalah fragmen Rainer, bagian dari Koleksi Papirus Adipati Agung Rainer di Wina, yang ditemukan pada dasawarsa 1880-an tetapi baru diakui relevansinya dengan Apokalipsis Petrus pada tahun 1929.[22] Fragmen Rainer diperkirakan berasal dari abad ke-3 atau ke-4 oleh M. R. James pada tahun 1931,[23][16] tetapi analisis yang dilakukan kemudian hari mengisyaratkan bahwa fragmen Rainer berasal dari naskah yang sama dengan fragmen Bodley, dan oleh karena itu juga berasal dari abad ke-5.[15][24] Kedua fragmen ini menampakkan perbedaan-perbedaan yang signifikan dari versi-versi lain. Di dalam naskah-naskah Habasyi, Apokalipsis Petrus hanyalah satu bagian dari bunga rampai karya tulis yang dijuduli "Kedatangan Kali Kedua Kristus dan Kebangkitan Orang Mati", ditambah satu lagi karya tulis berjudul "Rahasia Penghakiman Orang Berdosa".[25] Total ada lima naskah Apokalipsis Petrus saat ini, yaitu dua naskah Habasyi dan tiga fragmen naskah Yunani.[26][27]
Para sarjana rata-rata meyakini bahwa versi-versi Habasyi lebih mendekati versi asli, sementara naskah Yunani yang ditemukan di Akhmim merupakan versi yang lebih muda dan sudah mengalami penyuntingan.[28] Keyakinan ini bertumpu pada beberapa alasan. Yang pertama, versi Akhmim lebih pendek isinya, sementara versi Habasyi sejalan dengan keterangan jumlah kalimat Apokalipsis Petrus yang tercantum di dalam Stikometria Nikeforus. Yang kedua, rujukan kepada maupun petikan dari Apokalipsis Petrus di dalam karya-karya sastra patristika tampaknya lebih sejalan dengan versi Habasyi. Yang ketiga, versi Habasyi lebih sejalan dengan isi fragmen Rainer dan fragment Bodley. Yang keempat, versi Akhmim tampaknya berusaha menyelaraskan Apokalipsis Petrus dengan Injil Petrus (juga terdapat di dalam naskah Akhmim), yang sudah barang tentu menghasilkan revisi di sana-sini.[8][18][29][16]
Apokalipsis Petrus ditulis sedemikian rupa sehingga terkesan seperti wejangan dari Yesus kepada para pengikutnya. Di dalam versi Habasyi, Rasul Petrus, atas izin Kristus yang sudah bangkit, mendapatkan penglihatan gaib tentang neraka disusul penglihatan gaib tentang surga. Di dalam versi Akhmim, Rasul Petrus, atas izin Kristus yang masih hidup dan berkiprah di muka bumi, mendapatkan penglihatan gaib tentang surga disusul penglihatan gaib tentang neraka. Selanjutnya, dengan gaya katabasis atau nekyia khas sastra Yunani, secara terperinci dijabarkan ganjaran siksa neraka untuk tiap-tiap jenis kejahatan, serta sekilas gambaran tentang keadaan surga.[30]
Pada bagian mukadimah, para murid menanyakan tanda-tanda Kedatangan Kali Kedua (parousia) saat berada di Bukit Zaitun. Pada bab 2 versi Habasyi, di dalam rangkaian kalimat yang terkesan seperti perluasan dari wejangan "Kiamat Sugra" di dalam nas Matius 24, Petrus meminta penjelasan makna perumpamaan tentang pohon ara yang bertunas dan perumpamaan tentang pohon ara yang tidak berbuah.[31] Yesus merangkum dua perumpamaan tersebut di dalam sebuah alegori terperinci. Keterangan waktu "musim panas" diganti menjadi "akhir zaman"; pohon ara melambangkan Israel, sementara tunas-tunasnya melambangkan orang-orang Yahudi yang sudah menerima Yesus sebagai Mesias dan gugur sebagai martir.[32] Apokalipsis Petrus selanjutnya menyajikan gambaran akhir zaman yang terjadi berbarengan dengan Kedatangan Kali Kedua. Api dan gulita akan melanda dunia, Kristus bertajuk mahkota akan turun kembali dalam kemuliaan, dan orang-orang dari segala bangsa akan menyeberangi sungai berapi. Orang-orang pilihan akan lolos melewati ujian itu tanpa cedera, tetapi orang-orang berdosa akan digiring ke suatu tempat untuk diganjari siksa neraka atas segala pelanggaran mereka.[33]
Apokalipsis Petrus selanjutnya menjabarkan hukuman-hukuman yang menanti orang-orang fasik. Banyak dari siksa neraka dilaksanakan di bawah pengawasan Ezrael, Malaikat Kemurkaan (kemungkinan besar Malaikat Izra'il, tetapi mungkin juga kekeliruan penulisan nama Malaikat Sariel). Malaikat Uriel membangkitkan arwah-arwah ke dalam jasad baru sehingga dapat diganjari nikmat maupun siksa badani.[34][35] Jenis-jenis siksa neraka menurut penglihatan gaib tersebut adalah:
Uraian penglihatan gaib tentang surga lebih pendek daripada uraian penglihatan gaib tentang neraka, dan lebih lengkap diuraikan di dalam versi Akhmim. Para ahli surga dikatakan berkulit mulus seputih susu, berambut ikal, dan rata-rata elok rupawan. Bentala surga ditumbuhi puspaneka dan rempah ratus yang tak kunjung layu. Ahli surga mengenakan busana mengilap yang terbuat dari cahaya, sama seperti para malaikat. Semua orang menyatupadukan suara melantunkan doa.[38][39]
Versi Habasyi ditutup dengan kisah kenaikan Yesus yang berlangsung di atas gunung di dalam bab 15 sampai 17. Berlapik segumpal awan, didampingi Nabi Musa dan Nabi Elia, Yesus terangkat ke langit pertama, kemudian ketiganya bertolak dari langit pertama ke langit kedua. Meskipun menceritakan kenaikan Yesus, bagian ini mengandung sejumlah kesejajaran dengan kisah perubahan rupa Yesus yang termaktub di dalam Injil Matius.[40] Di dalam fragmen Akhmim, yang berlatar masa hidup Yesus, baik gunung maupun kedua pendamping tidak disebutkan namanya, tetapi kedua pendamping tersebut dikisahkan berubah rupa menjadi sosok-sosok yang bersinar terang.[41]
Satu isu teologis yang penting untuk dicermati hanya muncul di dalam versi Apokalipsis Petrus di dalam fragmen Rainer. Bab 14 versi fragmen Rainer menjabarkan penyelamatan para pendosa terlaknat yang didoakan oleh orang benar, sebagai berikut:[42]
Lalu akan Aku anugerahkan kepada barang siapa yang diminta dari pada-Ku oleh orang-orang yang telah Kupanggil dan Kupilih, pembebasan dari hukuman. Dan akan Aku berikan kepadanya [yakni orang yang didoakan oleh orang terpilih] baptisan yang elok di dalam keselamatan dari danau Akherousia, yang kata orang berada di padang Elision, bagian dari kebenaran bersama-sama orang-orang kudus-Ku.[42]
Kendati tidak didapati di dalam naskah-naskah terkemudian, sepertinya bagian ini merupakan unsur asli Apokalipsis Petrus, karena sejalan dengan petikan yang tercantum di dalam Orakel Sibila, yaitu:[42]
Kepada orang-orang saleh ini, Allah Yang Maha-Tak-Terbinasakan, Penguasa Alam Semesta, juga akan memberikan anugerah yang lain. Setiap kali mereka memohon Allah Yang Maha-Tak-Terbinasakan untuk menyelamatkan orang-orang dari api yang berkobar-kobar dan kertakan gigi yang tidak berkesudahan, Ia akan mengabulkannya. Sebab Ia akan mengeluarkan lagi orang-orang itu dari api yang tak kunjung padam dan menaruh mereka di tempat lain, lalu mengirim mereka, oleh karena umat kepunyaan-Nya, kepada hidup kekal yang lain bersama-sama orang-orang baka di dataran Elision, tempat Ia membuat gelombang-gelombang panjang dari danau Akherousia yang tidak berubah kedalamannya dari musim ke musim.
— Orakel Sibila, Parwa 2, 330–338[43]
Karya-karya sastra Kristen lainnya dengan kandungan serupa yang kemungkinan besar dipengaruhi nas Apokalipsis Petrus versi fragmen Rainer tersebut antara lain adalah Surat Para Rasul dan Apokalipsis Elia Kubti.[44][note 4] Nas tersebut juga masuk akal dari segi sastra, lantaran merupakan kelanjutan dari nas di dalam bab 3 yang mengisahkan bahwa Yesus mula-mula menghardik Petrus yang mengekspresikan ketakutan akan siksa neraka; Richard Bauckham menduga bahwa ketakutan itu timbul karena pihak korbanlah yang harus memohon pengampunan, bukan Petrus. Kendati tidak secara langsung menganjurkan keselamatan universal, nas ini memang menyiratkan bahwa keselamatan pada akhirnya dapat diperoleh selama orang-orang pilihan masih memiliki rasa welas asih.[42]
Naskah Habasyi mempertahankan suatu versi dari nas tersebut, tetapi menampakkan perbedaan karena menyebutkan bahwa orang-orang terpilih dan orang-orang benarlah yang akan beroleh baptisan dan keselamatan, dan pembaptisan itu dilakukan di sebuah padang alih-alih di sebuah danau (di "padang Akerosya, yang disebut Aneslasleya" di dalam naskah Habasyi), mungkin saja akibat dari mencampuradukkan Akherousia dengan padang Elision.[46] Versi Habasyi, yang daftar siksa nerakanya mencakup pula siksaan-siksaan yang tidak terdapat di dalam fragmen Akhmim, dan mengatakan bahwa siksa neraka bersifat kekal—dihipotesiskan oleh banyak sarjana sebagai tambahan-tambahan yang baru dimasukkan kemudian hari.[47] Meskipun demikian, karya-karya sastra Klemens lainnya di dalam naskah Habasyi yang berbicara tentang tindakan besar kerahiman ilahi di masa mendatang dan harus dirahasiakan, tetapi nantinya akan menyelamatkan beberapa pendosa dari neraka, menyiratkan bahwa kepercayaan semacam ini belum sepenuhnya hilang.[48][49][50]
Sebagaimana disiratkan oleh judulnya, Apokalipsis Petrus tergolong dalam ragam sastra apokalipsis. Kata Yunani apokalipsis secara harfiah berarti "pewahyuan", dan apokalipsis biasanya menyajikan pewahyuan rahasia-rahasia gaib dari tokoh ilahi kepada seorang tokoh insani—dalam kasus Apokalipsis Petrus, dari Yesus kepada Petrus.[51] Sama seperti banyak apokalipsis lain, Apokalipsis Petrus adalah karya tulis pseudopigraf, yakni karya tulis yang mendaku-daku ditulis oleh seorang tokoh ternama demi mendongkrak kewibawaan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.[52] Apokalipsis Petrus merupakan salah satu contoh tertua katabasis Kristen-Yahudi. Katabasis adalah ragam sastra yang menggambarkan alam dan takdir orang mati secara eksplisit.[53]
Sebagian besar kajian ilmiah atas Apokalipsis Petrus dilakukan untuk menentukan kadar pengaruh dari karya-karya sastra sebelumnya. Kajian-kajian terdahulu pada umumnya menggarisbawahi akar filsafat dan fikrah Helenistisnya. Nekiya, karya tulis Albrecht Dieterich terbitan tahun 1893 yang semata-mata didasarkan pada naskah Akhmim, mengidentifikasi kesejajaran dan keterkaitan dengan tradisi agama Orfika dan konteks budaya Yunani.[54] Risalah filsuf Platon, Faidon, kerap dijadikan salah satu contoh utama dari sastra kepercayaan bangsa Yunani tentang hakikat akhirat yang mendahului dan memengaruhi Apokalipsis Petrus.[39] Kajian ilmiah terkemudian yang dilakukan oleh Martha Himmelfarb dan peneliti-peneliti lain sudah pula menggarisbawahi akar Yahudi yang kuat dari Apokalipsis Petrus. Tampaknya apokalipsis adalah ragam sastra yang populer di kalangan umat Yahudi pada zaman penjajahan bangsa Yunani dan Romawi. Sebagian besar isi Apokalipsis Petrus mungkin saja didasarkan pada atau dipengaruhi oleh apokalipsis-apokalipsis Yahudi tersebut yang sayangnya sudah musnah, yakni karya-karya sastra semacam "Kitab Para Pengawas" (bab 1–36 dari Kitab Henokh), maupun oleh fikrah Yahudi abad pertama sampai abad ke-2 pada umumnya.[55][2] Kemungkinan besar Apokalipsis Petrus mengutip isi karya sastra apokalipsis Yahudi 4 Ezra.[5] Si penulis tampaknya juga sudah tidak asing lagi dengan Injil Matius, tetapi tidak mengenal Injil-Injil lain. Sebuah kalimat di dalam bab 16 mengisahkan bahwa Petrus, mafhum akan makna Sabda Bahagia, menyitir ayat "berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran, sebab merekalah yang empunya kerajaan Surga."[56]
Apokalipsis Petrus tampaknya mengutip nas Yehezkiel 37, yakni kisah lembah penuh tulang yang kering-Kerontang. Dalam riwayatnya tentang Kenaikan Yesus, Apokalipsis Petrus juga menyitir Mazmur 24, yang dianggap sebagai Mazmur mesianis yang menubuatkan kedatangan Yesus dan agama Kristen pada zaman Gereja Perdana. Mazmur 24 diberi tafsir kosmologis sebagai nubuat tentang kenaikan Yesus ke dalam Surga.[57]
Baptisan pascamati di danau Akherousia sepertinya dipengaruhi oleh adat orang Yahudi untuk memandikan jenazah sebelum dikubur, suatu amalan yang juga dijalankan oleh umat Kristen Purba. Ada suatu hubungan atau analogi antara pembersihan jiwa pada waktu tutup usia dengan pembersihan jasad, karena Apokalipsis Petrus pada hakikatnya memadukan keduanya.[46]
Meskipun pengaruh dari karya-karya sastra terdahulu sudah banyak dikaji, Eric Beck menegaskan bahwa sebagian besar isi Apokalipsis Petrus tampil beda sendiri di antara karya-karya sastra yang sintas dari kurun waktu tersebut, dan mungkin saja merupakan karya sastra yang unik pada zamannya, alih-alih merupakan karya sastra yang sekadar mengadaptasi karya-karya sastra terdahulu yang sudah musnah.[58] Sebagai contoh, karya-karya sastra Yahudi yang mendahului Apokalipsis Petrus tidak seragam dalam menggambarkan Syeol, alam pratala, tetapi biasanya tidak menakut-nakuti orang fasik dengan ancaman siksa neraka, malah lebih sering dengan ancaman kebinasaan kekal, yang justru tidak mengemuka di dalam Apokalipsis Petrus.[59]
Mukadimah Apokalipsis Petrus mengisahkan Yesus yang sudah bangkit memberikan pandangan-pandangan yang lebih mendalam kepada para Rasul, diikuti kisah peristiwa kenaikan Yesus. Tampaknya mukadimah semacam ini merupakan suatu kelaziman di dalam karya-karya sastra Kristen abad ke-2, dan dialog di dalam karya-karya sastra tersebut pada umumnya berlangsung di atas sebuah bukit, seperti yang terdapat di dalam Apokalipsis Petrus. Ragam sastranya kadang-kadang disebut "Injil dialog", dan dapat dijumpai di dalam karya-karya sastra seperti Surat Para Rasul, Pertanyaan Bartolomeus, dan berbagai macam karya sastra semisal Pistis Sofia.[56]
Di antara sekian banyak karya tulis yang pada akhirnya menjadi bagian dari kanon Perjanjian Baru, Apokalipsis Petrus tampak sangat mirip dari segi gagasan dengan Surat Petrus yang Kedua, sedemikian miripnya sehingga banyak sarjana yang meyakini bahwa karya tulis yang satu telah menyalin ayat-ayat dari karya tulis yang lain lantaran banyaknya kesejajaran.[60][61] Meskipun Apokalipsis Petrus dan Apokalipsis Yohanes (Wahyu kepada Yohanes) sama-sama adalah karya sastra ragam apokalipsis, Wahyu kepada Petrus lebih menitikberatkan akhirat beserta pahala dan azab ilahi, sementara Wahyu kepada Yohanes lebih banyak menyoroti pertempuran kosmis antara kebaikan melawan kebatilan.[16]
Apokalipsis Petrus merupakan penggambaran terperinci tertua yang sintas tentang surga dan neraka di dalam konteks Kristen. Tampaknya penggambaran tersebut cukup berpengaruh dalam penulisan karya-karya sastra terkemudian, kendati tidak jelas seberapa banyak pengaruh dari Apokalipsis Petrus itu sendiri dan seberapa banyak pengaruh dari karya sastra serupa yang sudah hilang.[8][55]
Orakel Sibila, yang populer di kalangan umat Kristen Romawi, secara langsung menyitir Apokalipsis Petrus.[63][64] Apocriticus karya Makarios Magnes, sebuah karya tulis apologetis Kristen dari abad ke-3, menghadirkan "seorang filsuf pagan" yang menyitir Apokalipsis Petrus, meskipun dalam rangka mendustakan agama Kristen.[65] Penglihatan-penglihatan gaib yang diceritakan di dalam Kisah Thomas, sebuah karya tulis dari abad ke-3, tampaknya juga menyitir atau merujuk kepada Apokalipsis Petrus.[66] Metodius, Uskup Olimpus, tampaknya menyitir Apokalipsis Petrus pada abad ke-4 dengan sikap positif, kendati tidak jelas apakah ia menganggap Apokalipsis Petrus sebagai kitab suci.[67][note 5]
Apokalipsis Petrus adalah pendahulu dari, dan memiliki berbagai kemiripan dengan, karya-karya sastra Klemens yang kemudian hari menjadi populer di Aleksandria, kendati Klemens sendiri tidak muncul di dalam Apokalipsis Petrus. Cerita-cerita sastra Klemens biasanya menghadirkan tokoh Petrus dan Klemens, Uskup Roma, yang dikisahkan bersama-sama bertualang, menerima wahyu, dan berbincang satu sama lain. Kedua naskah Habasyi yang memuat Apokalipsis Petrus juga memuat karya-karya sastra Klemens Habasyi lainnya yang menonjolkan Petrus.[70] Karya-karya sastra Klemens populer pada abad ke-3 dan ke-4, tetapi tidak diketahui bilamana bagian-bagian sastra Klemens di dalam naskah-naskah Habasyi yang memuat Apokalipsis Petrus mula-mula ditulis. Daniel Maier menduga bahwa bagian-bagian tersebut berasal dari Mesir antara abad ke-6 sampai abad ke-10, sementara Richard Bauckham menduga bahwa penulisnya sudah tidak asing lagi dengan Apokalipsis Petrus Arab dan mengusulkan abad ke-8 atau sesudahnya sebagai perkiraan waktu penulisannya.[71][48]
Karya-karya sastra apokalipsis terkemudian yang terinspirasi oleh Apokalipsis Petrus antara lain adalah Apokalipsis Tomas dari selang waktu abad ke-2 sampai abad ke-4, dan Apokalipsis Paulus dari abad ke-4 yang jauh lebih terkenal.[16][72] Satu gebrakan yang dibuat Apokalipsis Paulus adalah menggambarkan penghakiman perorangan untuk menerima pahala atau azab terjadi serta-merta begitu seseorang meninggal dunia, tidak seperti Apokalipsis Petrus yang menyajikan penglihatan gaib tentang takdir masa depan yang akan tergenapi sesudah Kedatangan Kali Kedua Kristus. Di dalam Apokalipsis Petrus, baik neraka maupun firdaus sama-sama berada di sebuah bumi masa depan, tetapi di dalam Apokalipsis Paulus, surga dan neraka merupakan dua alam yang berlainan.[67][73] Apokalipsis Paulus juga lebih berminat mengutuk dosa-dosa yang diperbuat orang-orang Kristen yang kurang bertakwa, sementara Apokalipsis Petrus tampaknya memandang orang-orang benar sebagai suatu kelompok terpadu.[74] Meskipun tidak pernah disetujui secara resmi oleh Gereja, Apokalipsis Paulus terus populer dan berpengaruh selama berabad-abad, kemungkinan besar karena populer di kalangan rahib Abad Pertengahan yang menyalin dan melestarikan naskah-naskah pada abad-abad penuh gejolak menyusul tumbangnya Kekaisaran Romawi Barat. Divina Commedia karangan Dante Alighieri, yang sangat populer dan dielu-elukan pada abad ke-14 maupun sesudahnya, juga dipengaruhi Apokalipsis Paulus.[16][62] Entah langsung entah tidak langsung, Apokalipsis Petrus adalah ayah-ibu dan kakek-nenek dari penglihatan-penglihatan gaib tentang akhirat yang berpengaruh tersebut.[3]
Akan tetapi orang-orang fasik, dan orang-orang berdosa, dan orang-orang munafik akan berdiri di tengah-tengah lubang gelap gulita yang tidak dapat binasa, dan yang akan menjadi azab mereka adalah api. Dan malaikat-malaikat akan datang membawa dosa mereka, dan akan menyiapkan bagi mereka sebuah tempat untuk diazab selama-lamanya, tiap-tiap orang menurut pelanggarannya masing-masing.
— Apokalipsis Petrus (Habasyi) 6:5-6[75]
Sepertinya daftar siksa neraka bagi orang-orang terkutuk adalah bagian yang paling berpengaruh dan terkenal dari Apokalipsis Petrus, mengingat hampir dua pertiga isinya khusus berkaitan dengan malapetaka akhir zaman yang datang bersamaan dengan kembalinya Yesus ke dunia (Bab 4–6), serta berbagai azab yang datang menyusul (Bab 7–13).[76][37] Jenis-jenis siksa neraka di dalam penglihatan gaib tersebut pada umumnya berkaitan dosa-dosa yang diperbuat pada masa lalu, dan bisanya ada keterkaitan antara anggota tubuh yang melakukan perbuatan dosa dengan anggota tubuh yang menanggung azab.[36] Keterkaitan semacam ini merupakan versi bebas dari asas Yahudi mata ganti mata, yang juga dikenal dengan sebutan lex talionis, yaitu hukuman harus setimpal dengan kejahatan. Kalimat "tiap-tiap orang menurut perbuatannya masing-masing" muncul lima kali di dalam versi Habasyi sebagai penjelsan azab.[77][76] Dennis Buchholz mengemukakan di dalam tulisannya bahwa kalimat "tiap-tiap orang menurut perbuatannya masing-masing" merupakan tema dari keseluruhan karya tulis tersebut.[78] Di dalam dialog dengan Tatirokos, malaikat penjaga Tartarus, orang-orang terkutuk mengakui dengan mulut mereka sendiri bahwa nasib mereka memang berdasar atas perbuatan mereka sendiri, juga memang adil dan sepantasnya.[79][80] Meskipun demikian, keterkaitan antara kejahatan dengan hukuman tidak selamanya jelas. David Fiensy mengemukakan di dalam tulisannya bahwa "kemungkinan besar jika tidak ada keterkaitan logis, maka hukuman tersebut berasal dari tradisi Orfika dan sekedar dikaitkan secara sembrono dengan dosa tertentu oleh seorang redaktur Yahudi."[81][82]
Bart Ehrman menyanggah penggolongan etika Apokalipsis Petrus sebagai etika lex talionis, dan justu menganggap keterkaitan badanilah yang paling penting. Bagi Bart Ehrman, jenis-jenis siksa neraka yang digambarkan di dalam Apokalipsis Petrus jauh lebih berat daripada kejahatan yang sesungguhnya– dan dengan demikian bertentangan dengan gagasan kesetimpalan hukuman dengan kerusakan yang ditimbulkan di dalam asas "mata ganti mata".[80]
Callie Callon menduga bahwa yang melandasi siksa-siksa neraka adalah semacam falsafah "hukuman pencerminan", di mana celaka yang timbul tercerminkan di dalam semacam keadilan puitis, dan sering kali lebih simbolis sifatnya. Menurut Callie Callon, inilah cara terbaik untuk menjelaskan logika di balik penghukuman tukang sihir dengan cara mengikatkan mereka pada roda berapi, yang sudah lama dianggp tidak jelas. Sarjana-sarjana lain menduga bahwa mungkin saja hukuman tersebut lamat-lamat merujuk kepada hukuman yang ditanggung Iksion di dalam mitologi Yunani, tetapi Callie Callon menduga bahwa hukuman tersebut merujuk kepada rombos, sejenis gasing yang juga digunakan tukang-tukang sihir. Semasa hidupnya dulu tukang-tukang sihir sudah memutar-mutar gasing demi beroleh kesaktian, jadi sekarang mereka diazab dengan cara diputar-putar seperti gasing, tidak lupa ditambahkan pula unsur api seperti yang terdapat pada siksa neraka lainnya.[83][76]
Isi bab 11, yakni bab penjabaran azab orang-orang yang durhaka kepada orang tua, yang hanya terdapat pada versi Habasyi, sudah agak rusak sehingga tidak jelas terbaca. Hukuman yang pertama sukar dibaca serta dipahami, dan mencakup pendakian ke suatu tempat yang tinggi lagi berapi, mungkin gunung berapi. Para penerjemah rata-rata yakin bahwa lebih besar kemungkinannya yang diazab adalah "orang-orang dewasa yang menelantarkan orang tua mereka yang sudah uzur" ketimbang kanak-kanak yang tidak patuh kepada orang tua, tetapi memang sukar untuk dipastikan.[84] Meskipun demikian, hukuman-hukuman selanjutnya memang ditujukan kepada kanak-kanak, karena menyatakan bahwa orang-orang tidak patuh kepada adat-istiadat dan para sesepuh akan dimakan burung-burung, sementara aak-anak dara yang tidak menjaga keperawanannya sebelum berumah tangga (perbuatan yang menghancurkan harapan orang tua) akan dicabik-cabik dagingnya. Kemungkinan besar hukuman ini adalah salah satu contoh dari hukuman pencerminan atau keterkaitan badani, karena kulit yang berdosa itulah yang diazab. Bagian ini juga memerinci "sepuluh" macam gadis yang diazab di neraka, yang kemungkinan besar lamat-lamat merujuk kepada Perumpamaan Sepuluh Orang Gadis di dalam Injil Matius, meskipun tidak sepenuhnya akurat jika memang demikian karena hanya lima orang gadis yang dikecam di dalam perumpamaan Injil Matius tersebut. Lagipula alasan diazabnya sepuluh orang gadis di dalam Apokalipsis Petrus tidak ada sangkut-pautnya dengan alasan pengecaman lima orang gadis di dalam perumpaan Injil Matius.[85]
Apokalipsis Petrus adalah salah satu karya sastra Kristen tertua yang mengandung pesan antiaborsi, karena ibu yang menggugurkan kandungannya ditampilkan sebagai salah satu jenis orang yang diazab di neraka.[86]
Isi naskah Yunani Akhmim pada umumnya merujuk kepada Yesus dengan menggunakan sebutan kirios, "Tuhan". Naskah-naskah Habasyi juga serupa, tetapi gaya penulisannya bergeser di Bab 15 dan Bab 16 yang terdapat pada bagian akhir, yang merujuk kepada Yesus dengan menyebut nama dan memperkenalkannya dengan gelar-gelar pengagungan antara lain "Yesus Kristus Raja kita" (negus) dan "Tuhanku Yesus Kristus". Gelar-gelar tersebut dianggap sebagai tanda bahwa bagian ini belakangan sudah disunting oleh seorang katib yang berpaham Kristologi tinggi.[87]
Tidak diketahui seberapa banyak muatan anggelologi dan demonologi versi Habasyi yang terkandung di dalam versi-versi Yunani yang lebih tua. Versi Akhmim tidak menyebut-nyebut iblis di dalam uraiannya tentang siksa neraka bagi orang-orang yang ingkar terhadap perintah-perintah Allah; bahkan di dalam versi Habasyi, kemungkinan besar iblis-iblis yang disebutkan di dalamnya adalah hamba-hamba Allah yang bertugas menjalankan penghukuman, alih-alih pihak yang menggiring orang-orang terkutuk kepada dosa. Karena tampaknya merupakan diterjemahkan dari terjemahan Arab, versi Habasyi mungkin saja sudah menyerap sejumlah pengaruh Islam yang muncul berabad-abad kemudian; kemungkinan besar penyebutan Ezrael, Malaikat Kemurkaan, dipengaruhi oleh Izra'il, Malaikat Maut yang lebih lazim dihubung-hubungkan dengan anggelologi Islam.[88][35] Versi Habasyi memang memperjelas bahwa siksa-siksa neraka yang tampak dalam penglihatan gaib Petrus bukan hanya diperuntukkan bagi dosa insani, melainkan juga bagi kejahatan adikodrati. Malaikat Uriel memberikan jasad kepada roh-roh jahat penunggu berhala yang menyesatkan manusia supaya roh-roh jahat itu juga ikut dibakar di dalam api dan diazab. Orang-orang berdosa yang binasa dilamun air bah juga dihidupkan kembali. Mungkin yang dimaksud adalah Nefilim, anak-anak hasil hubungan para Pengawas (malaikat-malaikat jatuh) dan anak-anak perempuan manusia yang disebutkan di dalam Kitab Henokh, Kitab Yobel, dan Kitab Kejadian.[89]
Kanak-kanak yang mati akibat tindakan infantisida diantarkan kepada Malaikat "Temeloukhus", yang kemungkinan besar adalah kata Yunani langka yang berarti "[yang] mengasuh". Meskipun demikian, para penulis terkemudian tampaknya menafsirkannya sebagai sebuah nama diri, sehingga memunculkan tokoh malaikat neraka bernama "Temlakos" (Habasyi) atau "Temelukhus" (Yunani), yang terdapat di dalam Apokalipsis Paulus maupun berbagai sumber lain.[79][90]
Para sarjana abad ke-19 dan ke-20 menganggap Apokalipsis Petrus sebagai sebuah karya yang sederhana dan lugu dari segi intelektual; memang dramatis dan mencekam, tetapi bukan sebuah cerita yang koheren. Meskipun demikian, Apokalipsis Petrus adalah karya sastra yang populer dan diminati khalayak ramai pada zamannya. M. R. James mengemukakan kesannya bahwa orang-orang Kristen yang berpendidikan pada zaman akhir Kekaisaran Romawi beranggapan bahwa Apokalipsis Petrus adalah karya sastra yang agak memalukan dan "sadar bahwa Apokalipsis Petrus adalah kitab yang tidak senonoh dan kasar", yang mungkin saja sedikit menjelaskan ketiadaan antusiasme kalangan elit untuk menganonisasi Apokalipsis Petrus kemudian hari.[91][92]
Kedatangan Kali Kedua Kristus dan Kebangkitan Orang Mati, yang difirmankan-Nya kepada Petrus, yang mati untuk dosa mereka lantaran mereka tidak menjalankan perintah Allah, pencipta mereka. Dan pesan ini ia [Petrus] renungkan supaya ia dapat memahami rahasia Putra Allah, Yang Maharahim dan Yang Cinta Akan Kerahiman.
— Mukadimah Apokalipsis Petrus (Habasyi)[93]
Salah satu pokok pikiran teologis Apokalipsis Petrus yang pada umumnya dianggap cukup jelas adalah bahwa siksa-siksa neraka dimaksudkan sebagai anjuran untuk selalu berada di jalan orang-orang benar, dan sebagai peringatan kepada khalayak pembaca dan pendengar supaya menjauhi dosa, sesudah mengetahui betapa mengerikannya nasib yang menunggu orang-orang yang tersesat.[94] Karya sasta ini juga menanggapi persoalan teodike yang mengemuka di dalam karya-karya tulis terdahulu seperti Kitab Daniel, yakni bagaimana mungkin Allah mengizinkan aniaya menimpa orang-orang benar di muka bumi dan pada waktu yang sama tetap bersifat mahaberdaulat lagi mahaadil? Apokalipsis Petrus mengatakan bahwa semua orang akan beroleh ganjaran seturut amal perbuatannya, bahkan orang-orang mati sekalipun, dan Allah pada akhirnya akan meluruskan segala sesuatu.[77] Para sarjana sudah mengajukan bermacam-macam tafsir mengenai nada yang diniatkan karya sastra ini. Michael Gilmour memandang Apokalipsis Petrus sebagai karya sastra yang menganjurkan schadenfreude dan bersukacita di atas penderitaan orang-orang fasik, sementara Eric Beck berpandangan sebaliknya, yaitu bahwa karya sastra ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa welas asih terhadap orang-orang yang menderita, termasuk terhadap orang-orang fasik, bahkan para penganiaya.[95][96] Sebagian besar sarjana sepakat bahwa Apokalipsis Petrus serentak membela keadilan ilahi maupun kerahiman ilahi, dan mengandung unsur-unsur dari kedua pokok pikiran tersebut.[82][97]
Versi apokalipsis yang tampak di dalam versi Habasyi mungkin sekali berasal dari sebuah paguyuban Kristen yang masih memandang dirinya sebagai bagian dari agama Yahudi.[9][98] Adaptasi perumpamaan-perumpamaan tentang pohon ara menjadi sebuah alegori tentang tumbuh kembang Israel dan para martirnya yang berkenan kepada Allah hanya terdapat di dalam Bab 2 versi Habasyi, dan tidak dijumpai dalam versi Yunani Akhmim. Sekalipun mustahil mengetahui alasannya secara pasti, salah satu kemungkinan adalah Apokalipsis Petrus disunting lantaran mulai munculnya ketegangan anti-Yahudi di dalam Gereja. Gambaran tentang orang-orang Yahudi yang masuk Kristen dan Israel yang diberkati secara khusus mungkin saja tidak cocok dengan suasana hati Gereja pada abad ke-4 dan ke-5, manakala beberapa orang Kristen dengan keras membantah ajaran agama Yahudi.[52]
Di dalam salah satu ayat Bab 16, Petrus mengusulkan untuk mendirikan tiga tabernakel di muka bumi. Yesus dengan keras menegurnya dengan mengatakan bahwa hanya ada satu tabernakel surgawi. Kemungkinan ayat ini merujuk kepada kehancuran Haikal Kedua pada tahun 70 tarikh Masehi dan kutukan terhadap usaha-usaha untuk mendirikan "Haikal Ketiga" untuk menggantikannya,[99] kendati mungkin saja cuma sekadar merujuk kepada kehidupan bersama segenap orang pilihan Allah dengan sebuah tabernakel persatuan di Firdaus.[11]
Apokalipsis Petrus pada akhirnya tidak dijadikan bagian dari Kitab Suci Perjanjian Baru, tetapi tampaknya pernah menjadi salah satu karya sastra yang nyaris saja dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru, sama seperti kitab Gembala Hermas.[1]
Fragmen Muratori adalah salah satu daftar tertua sastra suci Kristen berterima yang sintas sampai sekarang, bagian dari proses penciptaan susastra yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan Perjanjian Baru. Fragmen Muratori pada umumnya diperkirakan berasal dari perempat terakhir abad ke-2 (sekitar tahun 170–200 tarikh Masehi). Di dalamnya tersenarai karya-karya sastra yang dibacakan di gereja-gereja, mirip dengan kanon berterima pada zaman modern; meskipun demikian, beberapa surat katolik tidak tercantum di dalam Fragmen Muratori, dan malah Apokalipsis Petrus yang tersenarai. Fragmen Muratori menyatakan bahwa "kami hanya menerima apokalipsis Yohanes dan Petrus, sekalipun beberapa orang di antara kami tidak menghendaki apokalipsis Petrus dibacakan di dalam gereja."[7] (Karya-karya sastra apokalipsis lainnya diakui secara tersirat, tetapi tidak "diterima".) Baik Apokalipsis Petrus maupun Apokalipsis Yohanes tampaknya pernah menimbulkan kontroversi, mengingat pada abad ke-2 dan ke-3 ada beberapa gereja yang menggunakannya sementara beberapa gereja lain tidak menggunakannya. Klemens dari Aleksandria tampaknya sudah menganggap Apokalipsis Petrus sebagai Kitab Suci (sekitar tahun 200 tarikh Masehi).[6] Esebius secara pribadi menggolongkannya sebagai karya sastra yang diragukan keasliannya, kendati bukan bidat, di dalam karya tulisnya, Sejarah Gereja (sekitar dasawarsa 320-an tarikh Masehi). Esebius juga menjabarkan sebuah karya sastra Klemens yang kini sudah hilang, yaitu Hypotyposes (Garis-Garis Besar), yang berisi "ringkasan diskusi-diskusi mengenai seluruh susastra suci yang tersenarai, tanpa melewatkan [karya-karya sastra] yang diperdebatkan – Maksud saya Surat Yudas dan surat-surat umum selebihnya, dan Surat Barnabas, dan yang disebut-sebut sebagai Apokalipsis Petrus."[100][101] Apokalipsis Petrus tercantum di dalam Codex Claromontanus, katalog dari abad ke-6 yang kemungkinan besar menyalin isis sebuah sumber abad ke-3 atau ke-4.[102] Stikometria Nikeforus dari zaman Romawi Timur mencantumkan Apokalipsis Petrus maupun Apokalipsis Yohanes sebagai kitab-kitab yang digunakan jika bukan yang diperdebatkan keasliannya.[52]
Sekalipun rujukan-rujukan di atas membuktikan peredarannya yang luas pada abad ke-2, Apokalipsis Petrus pada akhirnya tidak dimasukkan ke dalam kanon Alkitab Kristen. Alasannya tidak sepenuhnya jelas, meskipun jika mengingat keragu-raguan banyak gereja untuk menerima Apokalipsis Yohanes (Kitab Wahyu), maka kemungkinan besar Apokalipsis Petrus juga pernah mengalami nasib yang sama. Selambat-lambatnya pada abad ke-5, Sozomenus menyiratkan di dalam risalahnya bahwa beberapa gereja di Palestina masih membacakannya, tetapi tampaknya pada masa itu Apokalipsis Petrus sudah dianggap tidak asli oleh sebagian besar umat Kristen.[103][67]
Salah satu hipotesis yang menjelaskan mengapa Apokalipsis Petrus gagal mendapatkan dukungan yang memadai untuk dikanonisasi yaitu bahwa pandangannya tentang akhirat terlalu kental dengan paham universalisme Kristen maupun doktrin apokatastasis yang berkaitan denga paham tersebut, yaitu pandangan bahwa Allah akan menjadikan segala sesuatu sempurna jika sudah genap waktunya.[104] Ayat di dalam fragmen Rainer yang mengatakan bahwa tatkala menyaksikan azab para pendosa dari surga, orang-orang kudus dapat memohon belas kasihan Allah, sehingga jiwa-jiwa terlaknat secara retroaktif dapat dibaptis dan diselamatkan, memiliki implikasi-implikasi teologis yang signifikan. Andaikata benar demikian, seluruh neraka pada akhirnya daapt dikosongkan dengan cara tersebut; M. R. James menduga bahwa Apokalipsis Petrus yang asli mungkin saja mencuatkan gagasan keselamatan universal selepas suatu kurun waktu sengsara pembersihan di neraka.[8][105] Gagasan ini bertentangan dengan pendirian banyak ahli teologi Gereja pada abad ke-3, ke-4, dan ke-5 yang kuat beranggapan bahwa keselamatan dan keterlaknatan bersifat kekal serta semata-mata berdasarkan amal perbuatan dan keyakinan-keyakinan yang dianut semasa hidup. Di dalam risalahnya, Kota Allah, Agustinus dari Hipo mengecam argumen-argumen yang ditumpukan pada logika yang sangat mirip dengan logika yang tampak di dalam ayat fragmen Rainer tersebut.[106] Sistem semacam itu, yang memungkinkan orang-orang kudus untuk sekurang-kurangnya dapat mendoakan sanak saudara dan handai tolan supaya dikeluarkan dari neraka, dan kemungkinan besar juga mendoakan jiwa terlaknat manapun, sebaik-baiknya akan dianggap keliru dan seburuk-buruknya akan dianggap bidat. Sebagian besar sarjana sepakat dengan M. R. James bahwa bacaan di dalam fragmen Rainer adalah bacaan asli.[107] Ayat-ayat yang bertentangan tidak disalin oleh katib-katib terkemudian yang menganggapnya sebagai kekeliruan, dan oleh sebab itu tidak muncul di dalam naskah-naskah terkemudian, bersama dengan tambahan kalimat-kalimat yang mengindikasikan bahwa azab neraka itu akan kekal abadi. Bart Ehrman menduga bahwa meskipun demikian, pamor kitab itu sudah telanjur rusak. Kontroversi Origenis pada abad ke-4 dan ke-5 secara retroaktif mengutuk banyak pemikiran teolog Origenes, khususnya keyakinan Origenes akan keselamatan universal, dan gerakan anti-Origenes inilah yang setidaknya ikut menyebabkan Apokalipsis Petrus tidak dimasukkan ke dalam kanon Alkitab berabad-abad kemudian.[108][note 6]
Terjemahan Apokalipsis Petrus ke dalam bahasa Inggris modern terdapat di dalam:[110]