Artalyta Suryani | |
---|---|
Informasi pribadi | |
Lahir | 19 Februari 1962 Bandar Lampung, Lampung |
Suami/istri | Surya Dharma[1] |
Anak | Imelda Dharma Rommy Dharma Satyawan[2] |
Pekerjaan | Pengusaha |
Sunting kotak info • L • B |
Artalyta Suryani (atau yang lebih dikenal sebagai Ayin, lahir 19 Februari 1962)[3] adalah seorang pengusaha Indonesia yang dikenal karena keterlibatannya dalam kasus penyuapan jaksa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).[4] Artalyta dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan dijatuhi vonis 5 tahun penjara pada tanggal 29 Juli 2008 atas penyuapan terhadap Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI Urip Tri Gunawan senilai 660.000 dolar AS. Kasus ini mendapat banyak perhatian karena melibatkan pejabat-pejabat dari kantor Kejaksaan Agung, dan menyebabkan mundur atau dipecatnya pejabat-pejabat negara.[5]
Siti Hartati Murdaya menggugat Artalyta Suryani karena dianggap menyerobot lahan miliknya yang berada di bawah pengelolaan PT Cipta Cakra Murdaya. Wanita yang akrab disapa Ayin ini pun membalas Hartati dengan menyebut PT Cipta Cakra Murdaya tidak memiliki izin sejak tahun 1999.[6] Saat di persidangan terungkap bahwa lahan yang ijin lokasinya telah diberikan kepada PT Cipta Cakra Murdaya sejak tahun 1994 oleh Bupati Buol justru diberikan kepada PT Sonokeling Buana.[7] Sedangkan PT Cipta Cakra Murdaya yang telah lama berinvestasi di Buol justru perijinannya dipersulit.[8]
Artalyta ditangkap oleh petugas KPK pada awal Maret 2008, sehari setelah Urip Tri Gunawan tertangkap dengan uang 660.000 dolar AS di tangan.[9] Urip adalah Ketua Tim Jaksa Penyelidik Kasus BLBI yang melibatkan pengusaha besar Sjamsul Nursalim. Kejaksaan menghentikan penyelidikan tersebut melalui Jaksa Agung Muda Kemas Yahya Rahman pada tanggal 29 Februari 2008. Percakapan antara Artalyta, Urip dan Kemas yang disadap oleh KPK menunjukkan adanya suap dan keterlibatan Artalyta dalam penghentian kasus BLBI tersebut. Dalam pengadilan Artalyta mengaku tidak bersalah, dan menyatakan uang tersebut merupakan bantuan untuk usaha bengkel Urip. Majelis Hakim menolak pengakuan tidak bersalah Artalyta, dan menilai perbuatan Artalyta telah mencederai penegakan hukum di Indonesia. Majelis Hakim juga menganggap kenyataan bahwa Artalyta tidak mengakui kesalahannya serta memberikan pernyataan yang berbelit-belit di pengadilan sebagai hal yang memberatkannya. Majelis Hakim menjatuhkan vonis penjara lima tahun serta denda 250 juta rupiah kepada Artalyta, sesuai tuntutan jaksa dan hukuman maksimal untuk penyuapan pejabat negara dalam undang-undang.
Selama dalam penjara, hidup Ayin ternyata tidak jauh dari sebelumnya. Ruangan yang dihuninya di Rutan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur, berbeda dengan yang lain. Fasilitasnya lebih lengkap, mulai dari tempat tidur, sofa, lemari makanan, televisi, pendingin ruangan, dan berbagai peralatan untuk keperluan bayi yang diadopsinya. Ia pun memiliki tiga pembantu untuk melayaninya. Hal ini terungkap saat inspeksi mendadak Rutan Pondok Bambu pada awal Januari 2010.[4] Namun, menurut mantan napi yang juga selebriti, Zarima Mirafsur, menyatakan fasilitas yang diterima bukanlah sesuatu yang istimewa, melainkan karena petugas berterimakasih kepada tahanan karena telah menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat [10]