B. M. Diah | |
---|---|
Menteri Penerangan Indonesia ke-18 | |
Masa jabatan 25 Juli 1966 – 6 Juni 1968 | |
Presiden | Soekarno Soeharto |
Duta Besar Indonesia untuk Britania Raya ke-4 | |
Masa jabatan 1962–1964 | |
Pengganti Soerjodipoero | |
Informasi pribadi | |
Lahir | Burhanuddin 7 April 1917 Kutaraja, Hindia Belanda |
Meninggal | 10 Juni 1996 Jakarta, Indonesia | (umur 79)
Suami/istri | |
Anak | 3 |
Pekerjaan |
|
Tanda tangan | |
Sunting kotak info • L • B |
Burhanuddin Mohammad Diah (7 April 1917 – 10 Juni 1996) adalah seorang jurnalis, diplomat, dan pengusaha Indonesia, yang menjabat sebagai Menteri Penerangan Indonesia ke-18 dari tahun 1966 hingga 1968, di bawah kepresidenan Soekarno dan Soeharto, pada masa transisi menuju Orde Baru. Beliau hadir pada saat Proklamasi Kemerdekaan dirumuskan, dan merupakan tokoh yang berperan penting dalam menyelamatkan teks asli Proklamasi.
Nama asli B. M. Diah yang sesungguhnya hanyalah Burhanuddin. Nama ayahnya adalah Mohammad Diah, yang berasal dari Barus, Sumatera Utara. Ayahnya adalah seorang pegawai pabean di Aceh Barat yang kemudian menjadi penerjemah. Burhanuddin kemudian menambahkan nama ayahnya kepada namanya sendiri.
Ibunya, Siti Sa'idah (istri pertama Diah) adalah wanita Aceh yang menjadi ibu rumah tangga. Burhanuddin, anak bungsu dari delapan bersaudara, juga mempunyai dua orang saudara tiri dari istri kedua ayahnya.
Mohammad Diah adalah seorang yang terpandang dan kaya di lingkungannya. Namun hidupnya boros, sehingga ketika ia lahir Burhanuddin tidak dapat menikmati kekayaan ayahnya. Ditambah lagi karena seminggu setelah kelahirannya, ayahnya meninggal dunia. Ibunya kemudian mengambil alih tanggung jawab memelihara keluarganya. Untuk itu ia terjun ke dunia usaha berjualan emas, intan, dan pakaian. Namun delapan tahun kemudian Siti Sa'idah pun berpulang, sehingga Burhanuddin diasuh oleh kakak perempuannya, Siti Hafsyah.
Burhanuddin belajar di HIS, kemudian melanjutkan ke Taman Siswa di Medan. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak mau belajar dibawah asuhan guru-guru Belanda.
Pada usia 17 tahun, Burhanuddin berangkat ke Jakarta dan belajar di Ksatriaan Instituut (sekarang Sekolah Ksatrian) yang dipimpin oleh Dr. E.E. Douwes Dekker. Burhanuddin memilih jurusan jurnalistik, tetapi ia banyak belajar tentang dunia kewartawanan secara pribadi dari Douwes Dekker.
Burhanuddin sesungguhnya tidak mampu membayar biaya sekolah. Namun melihat tekadnya untuk belajar, Dekker mengizinkannya terus belajar dan bahkan memberikan kesempatan kepadanya menjadi sekretaris di sekolah itu.
Setelah tamat belajar, Burhanuddin kembali ke Medan dan menjadi redaktur harian Sinar Deli. Ia tidak lama bekerja di sana, karena satu setengah tahun kemudian ia kembali ke Jakarta dan bekerja di harian Sin Po sebagai tenaga honorer. Tak lama kemudian ia pindah ke Warta Harian. Tujuh bulan kemudian, koran itu dibubarkan karena dianggap membahayakan keamanan. Burhanuddin kemudian mendirikan usahanya sendiri yaitu bulanan Pertjatoeran Doenia.
Setelah tentara Jepang datang dan menjajah Indonesia, Burhanuddin bekerja di Radio Hosokyoku sebagai penyiar siaran bahasa Inggris. Namun pada saat yang sama ia pun merangkap bekerja di Asia Raja sebagai pembantu editor.[1] Ketika ketahuan bahwa ia bekerja juga di tempat lain, Burhanuddin pun dijebloskan ke penjara selama empat hari.
Pada Mei 1945 diadakan Kongres Pemuda di Villa Isola di Bandung untuk membentuk Angkatan Baroe, yaitu sebuah federasi kelompok pemuda untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia, B.M. Diah terpilih menjadi salah satu pemimpin utamanya.[1]
Ketika bekerja di Radio Hosokyoku itulah Burhanuddin bertemu dengan Herawati, seorang penyiar lulusan jurnalistik dan sosiologi di Amerika Serikat. Mereka berpacaran, dan tak lama kemudian, pada 18 Agustus 1942 mereka menikah. Pesta pernikahan mereka ini dihadiri pula oleh Bung Karno dan Bung Hatta.
Pada akhir September 1945, setelah diumumkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Diah bersama sejumlah rekannya seperti Joesoef Isak dan Rosihan Anwar, mengangkat senjata dan berusaha merebut percetakan Jepang "Djawa Shimbun", yang menerbitkan Harian Asia Raja. Meskipun Jepang telah menyerah kalah, teman-teman Diah ragu-ragu, mengingat Jepang masih memegang senjata. Namun kenyataannya malah sebaliknya. Tentara Jepang yang menjaga percetakan tidak melawan, bahkan menyerah. Percetakan pun jatuh ke tangan Diah dan rekan-rekannya.[2]
Pada 1 Oktober 1945 B.M. Diah mendirikan Harian Merdeka. Diah menjadi pemimpin redaksi, Joesoef Isak menjadi wakilnya, dan Rosihan Anwar menjadi redaktur. Diah memimpin surat kabar ini hingga akhir hayatnya, meskipun belakangan ia lebih banyak menangani PT. Masa Merdeka, penerbit Harian "Merdeka".
Ketika baru berdiri Diah menjadi Pemimpin Redaksi, Isak sebagai Wakil, dan Rosihan sebagai Redaktur. Belakangan Joesoef Isak, seorang Soekarnois, terpaksa diberhentikan atas desakan pemerintah Orde Baru. Sementara Rosihan Anwar mendirikan surat kabarnya sendiri, Harian "Pedoman".
Pada April 1945, bersama istrinya Herawati, Diah mendirikan koran berbahasa Inggris, Indonesian Observer. Ia dinilai sebagai penulis editorial yang baik, seorang nasional pro-Soekarno dan menentang militerisme. Ia pernah bertolak pandangan dengan pihak militer setelah Peristiwa 17 Oktober, sehingga ia terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran petugas-petugas militer.
Ketika pemerintah Orde Baru memutuskan untuk mengubah sebutan "Tionghoa" menjadi "Cina" dan "Republik Rakyat Tiongkok" menjadi "Republik Rakyat Cina", Harian "Merdeka"—bersama Harian "Indonesia Raya"—dikenal sebagai satu-satunya pers yang gigih tetap mempertahankan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok".[3]
Jurnalis Burhanuddin Muhammad Diah turut menjadi saksi pada saat Soekarno-Hatta mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh PPKI di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di jalan Meiji Dori (kini Jalan Imam Bonjol Nomor 1). Pertemuan yang berlangsung pada tanggal 16 Agustus 1945 malam itu memiliki agenda menyusun naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Pada saat Soekarno, Moh. Hatta, dan Achmad Soebardjo menyusun draf proklamasi, B.M. Diah, para aktivis, dan para pemuda lain menunggu di ruang tengah rumah Laksamana Maeda. Kemudian, ketika draf tersebut telah disetujui para wakil pemuda dan anggota PPKI yang hadir, Soekarno meminta Sayuti Melik untuk mengetik naskah tersebut.[4]
Soekarno awalnya menulis draf teks proklamasi pada selembar kertas putih berukuran panjang 25,8 sentimeter, lebar 21,3 sentimeter dan tebal 0,5 milimeter. Kertas itu disobek dari sebuah buku kecil. Setelah diutak-atik oleh Soekarno-Hatta dan sejumlah tokoh PPKI, akhirnya jadilah sebuah draf teks proklamasi yang akan dibacakan keesokan harinya. Soekarno menyerahkan secarik kertas tersebut ke Sayuti Melik untuk ditulis ulang menggunakan mesin ketik. Karena mereka telah memiliki teks proklamasi yang sudah rapih menggunakan mesin ketik, secarik kertas draf tadi dibuang ke keranjang sampah. Setelah naskah tersebut selesai diketik dan ditandatangani Soekarno dan Hatta, Sayuti Melik membuang begitu saja draf proklamasi tersebut. Mengutip dari buku biografi B.M. Diah tertulis, “Setelah naskah tersebut disalin oleh Sayuti Melik, naskah tersebut dibuang ke tempat sampah begitu saja”, ungkap B.M Diah dalam buku biografi berjudul Butir-butir Padi B.M Diah, Tokoh Sejarah yang Menghati Zaman.
Rupanya naluri jurnalistik B.M Diah bekerja. Beberapa saat setelahnya, ia mengambil draf teks proklamasi itu dari keranjang sampah dan menyimpannya. Secarik kertas tersebut tampak sudah tidak bagus lagi kondisinya. Siapa sangka apa yang dilakukan B.M Diah menjadi kunci bagi kelengkapan arsip tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya B.M Diah yang berperan menyelamatkan arsip proklamasi kemerdekaan. Sejumlah tokoh juga berperan penting menyelamatkan Indonesia dari kegelapan identitas. Tanpa teks, foto, video dan audio tentang acara itu, kita tidak memilki bukti otentik bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia pernah diproklamasikan.[5]
Setelah Indonesia merdeka, pada 1959, B.M. Diah diangkat menjadi duta besar untuk Cekoslowakia dan Hungaria. Dari sana kemudian ia dipindahkan ke Inggris, lalu ke Thailand - semuanya untuk jabatan yang sama. Pada 1968 ia diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi menteri penerangan. Belakangan Diah diangkat menjadi anggota DPR dan kemudian anggota DPA.
Pada usia tuanya, Diah mendirikan sebuah hotel di Jakarta, Hyatt Aryaduta, tempat ini dulunya merupakan rumah orang tua Herawati. Jabatan terakhir yang dipegangnya adalah sebagai Presiden Direktur PT. Masa Merdeka, dan Wakil Pemimpin PT. Hotel Prapatan-Jakarta.
Pada 21 Juli 1987 dalam usianya yang ke 70 tahun, B.M. Diah memperoleh kesempatan emas untuk mewawancarai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet, Mikhail Sergeyevich Gorbachev, di Kremlin, Moskow. Ia menganggap pertemuannya dengan Gorbachev sebagai mahkota bagi seorang wartawan setelah berkecimpung selama 50 tahun dalam dunia jurnalistik.[6]
B.M. Diah meninggalkan seorang istri, Herawati Diah. Dari Herawati, ia memperoleh dua orang anak perempuan bernama Nurdi dan Adiniawati Diah dan seorang anak laki-laki yang bernama Nurman Diah (mertua dari aktris Shelomita Diah).
Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Jakarta, 10 Juni 1996 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[7]
Karena perjuangan dan jasa-jasanya bagi negara, Diah dianugerahi tanda-tanda penghargaan berikut:
Jabatan diplomatik | ||
---|---|---|
Jabatan baru | Duta Besar Indonesia untuk Cekoslowakia 1959–1962 |
Diteruskan oleh: Armunanto |
Didahului oleh: Sunario Sastrowardoyo |
Duta Besar Indonesia untuk Britania Raya 1962–1964 |
Diteruskan oleh: Soerjodipoero |
Didahului oleh: Mas Isman |
Duta Besar Indonesia untuk Thailand 1964–1966 |
Diteruskan oleh: Achmad Yusuf |
Jabatan politik | ||
Didahului oleh: W. J. Rumambi |
Menteri Penerangan 1966–1968 |
Diteruskan oleh: Boediarjo |