Bakas | |
---|---|
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Filum: | |
Subfilum: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Subordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | P. brongersmai
|
Nama binomial | |
Python brongersmai Stull, 1938
| |
Agihan ular bakas (warna merah) | |
Sinonim | |
|
Bakas, atau ular sawah darah[2] (Python brongersmai) adalah sejenis ular tak berbisa sebangsa sanca (suku Pythonidae). Nama-nama lainnya, di antaranya, ular tepek (IPA: t[ə]p[ə]k); ular sanca darah, ular sanca pendek, ular sanca gendang, atau ular gendang saja. Dalam bahasa Inggris ia dikenal dengan sebutan Brongersma's short-tailed python, red short-tailed python, blood python, atau short python.
Sebelumnya ular ini dianggap sebagai salah satu dari tiga anak jenis Python curtus; akan tetapi kini ketiga-tiganya telah dianggap sebagai spesies yang berlainan.[3]
Python brongersmai dibedakan dari kedua kerabat terdekatnya (yaitu P. curtus dan Python breitensteini) dari perisai ventralnya yang berjumlah 167 atau lebih; perisai supralabialnya yang (sebagian daripadanya) langsung bersinggungan dengan sisi bawah mata (pada kedua jenis yang lain diantarai oleh sisik-sisik subokular); serta perisai supraokularnya yang berjumlah dua buah (pada kedua jenis yang lain satu buah). Warna tubuh P. brongersmai umumnya didominasi warna merah atau merah tua, sementara dua yang lain kehitaman atau paling-paling cokelat dan cokelat samak.[3] Karena warnanya itulah ular ini mendapatkan namanya: ular sawah darah atau sanca darah (blood python).
Ular yang bertubuh pendek gemuk, panjang tubuh hingga 300 cm;[4][5] akan tetapi informasi dari tangkapan di alam di Sumatera Utara memperoleh panjang rata-rata SVL (snout-vent length, panjang dari moncong hingga anus) hanya sekitar 132,4 cm untuk hewan jantan (dari total tangkapan 1.037 ekor ular jantan dewasa), dan sekitar 143,9 cm untuk hewan betina (dari 732 ekor betina dewasa).[6] Kepala dan ekornya kecil, kontras dengan ukuran tubuhnya yang gemuk.[7] Spesimen terbesar yang diperiksa Brongersma, dengan panjang total 1.640 mm, memiliki ekor sepanjang 120 mm (7,3% dari panjang total).[2]
Warna tubuhnya amat bervariasi. Pada individu yang warna kepalanya terang, terdapat satu garis gelap tipis melintas di tengah ubun-ubun dari ujung moncong hingga ke kepala bagian belakang; sering pula disambung dengan garis serupa berwarna pucat di atas dasar yang lebih gelap, hingga ke tengkuk. Sisi kepala berwarna gelap, sering berlanjut hingga di belakang leher; satu coretan pucat berjalan dari belakang mata, miring ke arah bawah ke sudut belakang rahang bawah. Terdapat bercak hitam postokular (di belakang mata) pada masing-masing sisi kepala. Dagu berwarna putih tanpa bercak-bercak.[3]
Ular bakas dapat mengubah intensitas kegelapan warna kepalanya, tetapi memerlukan waktu beberapa lama hingga beberapa jam. Dalam sehari, ular ini dapat mengubah dari warna terang ke warna gelap, atau sebaliknya, beberapa kali.[3]
Sisi atas badan (dorsal) berwarna gelap, dengan bercak-bercak memanjang yang lebih pucat di sekitar tulang belakang (vertebrae). Sering pula pola ini disertai dengan serangkaian bercak berwarna hitam atau kehitaman di atas dasar yang lebih terang di sisi lateral tubuh. Sisi atas ekor berwarna gelap, dan sisi bawahnya terang; dengan pola-pola variasi warna serupa dengan di tubuhnya.[3]
Pada penelitiannya atas ular-ular bakas yang ditangkap di Sumatera Utara, Shine et al. (1998) mengelompokkan pola warna ini menjadi empat atas dasar warna yang dominan di bagian punggung: cokelat, jingga, kuning, dan merah. Dari empat kelompok warna ini, merah adalah yang paling banyak didapat (1.334 individu); diikuti kuning (538), cokelat (112), dan jingga (79). Keempat kelompok warna ini ternyata berbeda nyata pada sebagian besar aspek yang diteliti, termasuk ukuran tubuh, proporsi tubuh, nisbah kelamin, kelimpahan spasial, tipe mangsa, frekuensi makan, cadangan energi, jumlah parasit, dan banyaknya telur. Akan tetapi tidak terbukti adanya perbedaan genetik di antara keempat kelompok tersebut, dan keempat kelompok itu dapat saling berkawin (interbreeding) secara bebas, serta menghasilkan telur-telur yang subur, yang menetas menjadi individu-individu yang kelak dapat berbeda warna.[8]
Ular bakas didapati di Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya (termasuk Singapura), Sumatra (di timur Pegunungan Bukit Barisan), serta pulau-pulau kecil di timurnya, termasuk Kepulauan Riau, Lingga, dan Bangka.[4][9]
Spesies ini umumnya dijumpai di dataran rendah; namun tercatat pula dari wilayah sekitar Kerinci (900 m dpl.) dan Berastagi (1.330 m dpl.). Aslinya, ular sawah darah menghuni hutan hujan dataran rendah, rawa, dan paya-paya; terutama pada wilayah yang banyak berair, termasuk di tepian sungai dan anak-anak sungai.[4] Akan tetapi agaknya sekarang ular-ular ini memperoleh banyak manfaat dan beradaptasi dengan baik di perkebunan-perkebunan kelapa sawit, sehingga populasinya berkembang baik di sana.[6]
Ular yang lamban ini memangsa mamalia, teristimewa hewan pengerat, dan burung.[4] Namun, tercatat pula beberapa kali, juga memangsa hewan yang cukup besar seperti musang akar (Arctogalidia trivirgata), musang belang (Hemigalus derbyanus), musang leher-kuning (Martes flavigula), serta kukang bukang (Nycticebus coucang).[6] Ular bakas aktif di malam hari (nokturnal); di siang hari bersembunyi di antara tetumbuhan di air, atau di bawah rumpukan daun-daun kelapa sawit yang membusuk.
Ular betina meletakkan 10-15 butir telur setiap kalinya; ia lalu menjaga dan mengeraminya selama sekitar 70 hari. Anak-anak ular berukuran lk. 40 cm ketika baru menetas.[5] Ular-ular ini di alam bertelur dua tahun sekali.[6]
Ular bakas banyak diburu orang. Ular-ular yang muda diperdagangkan sebagai hewan timangan. Kulitnya berkualitas baik dan berharga tinggi, sehingga terutama di Sumatera Utara[6] ular ini ditangkapi untuk diolah kulitnya. Orang-orang tertentu juga menggemari dagingnya, sehingga di perkebunan-perkebunan kelapa sawit ular ini juga dikenal sebagai 'ular sayur'.
Pada masa lalu, ada kepercayaan di antara suku bangsa Melayu dan Tionghoa di Pulau Bangka bahwa ular bakas atau ular tepek (Sabek Kutok) ini bisa menyebabkan penyakit kusta.[2]
Nama penunjuk jenisnya (epitet spesifik), brongersmai, diambil dari nama seorang herpetolog berkebangsaan Belanda, Leo Daniel Brongersma (1907-1994).[1]
Ular ini berkerabat dekat dengan Python curtus (ular dipong) dan P. breitensteini (ular puraca). Ketiga-tiga jenis itu pada masa lalu dianggap merupakan anak jenis Python curtus.