Benteng Rotterdam | |
---|---|
Nama sebagaimana tercantum dalam Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya | |
Cagar budaya Indonesia | |
Peringkat | Nasional |
Kategori | Situs |
No. Regnas | CB.18 |
Lokasi keberadaan | Bulo Gading, Ujung Pandang, Makassar, Sulawesi Selatan |
No. SK |
|
Tanggal SK |
|
Pemilik | Indonesia |
Pengelola | Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar |
Koordinat | 5°08′03″S 119°24′20″E / 5.13417°S 119.40556°E |
Lokasi Fort Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan | |
Benteng Rotterdam atau Benteng Ujung Pandang adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini awalnya dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna. Situs ini kemudian diserahkan kepada VOC Belanda di bawah Perjanjian Bungaya 1667 untuk diduduki. Benteng ini memiliki enam bastion dan dikelilingi oleh dinding setinggi tujuh meter dan parit sedalam dua meter.
Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur. Benteng ini juga merupakan markas militer dan pemerintahan daerah Belanda hingga tahun 1930-an. Pada 1937 kepemilikan Benteng Rotterdam oleh pemerintah Hindia Belanda diserahkan kepada Yayasan Fort Rotterdam.[1] Benteng ini terdaftar sebagai bangunan bersejarah pada 23 Mei 1940.[1] Benteng ini dipugar secara ekstensif pada tahun 1970-an dan sekarang menjadi pusat budaya dan pendidikan, tempat untuk berbagai acara musik dan tarian, serta tujuan wisata.
Fort Rotterdam dibangun di lokasi yang sebelumnya juga merupakan benteng yang disebut Ujung Pandang.[2] Benteng ini dibangun pada tahun 1545, sebagai bagian dari pembangunan program benteng yang dilakukan oleh penguasa Makassar untuk memperkuat pertahanan.[3] Benteng aslinya yang bernama Jum Pandan (diperkirakan dinamai dari nama pohon pandan yang tumbuh di sekitarnya), menjadi asal muasal nama kota Ujung Pandang, nama lain kota Makassar.[4]
Pada tahun 1667 Benteng Ujung Pandang diserahkan kepada Belanda sebagai bagian dari Perjanjian Bungaya, setelah kekalahan Kesultanan Gowa dalam Perang Makassar. Pada tahun-tahun berikutnya, benteng dibangun kembali secara keseluruhan atas prakarsa laksamana Belanda Cornelis Speelman, untuk menjadi pusat kekuasaan kolonial Belanda di Sulawesi.[4] Benteng itu berganti nama menjadi Fort Rotterdam, dinamai dari kota tempat lahir Speelman, Rotterdam. Pada tahun 1673–1679, lima bastion benteng ini memiliki bentuk seperti penyu dan bentuk itu bertahan hingga kini, oleh karena itu benteng ini diberi julukan "Benteng Penyu".[5]
Batuan yang digunakan untuk membangun benteng ini diambil dari pegunungan karst yang ada di Maros, batu kapur dari Selayar, dan kayu dari Tanete dan Bantaeng.[6][7] Setelah Perang Jawa (1825–1830), Pangeran Diponegoro dipenjara di benteng tersebut setelah diasingkan ke Makassar pada tahun 1830 hingga kematiannya pada tahun 1855.[7] Benteng ini juga digunakan sebagai kamp tawanan perang Jepang selama Perang Dunia II.
Fort Rotterdam tetap menjadi markas militer dan pemerintahan Belanda hingga tahun 1930-an.[4] Setelah tahun 1937, benteng tersebut tidak lagi digunakan sebagai pertahanan. Selama pendudukan Jepang yang singkat, benteng ini digunakan untuk melakukan penelitian ilmiah di bidang linguistik dan pertanian.[6] Pada tahun 1970-an, benteng ini dipugar secara besar-besaran.[4]
Fort Rotterdam terletak di pusat kota Makassar. Benteng ini berbentuk persegi panjang dan dikelilingi tembok setinggi tujuh meter. Awalnya dilengkapi dengan enam selekoh (bastion), lima di antaranya masih terlihat: Bastion Bonie (dinamai dari Kerajaan Bone) di barat; Bastion Boeton (dinamai dari Kesultanan Buton) di sebelah barat laut; Bastion Batjang (dinamai dari Kepulauan Bacan) di barat daya; Bastion Mandassar di timur laut; dan Bastion Amboina (dinamai dari Ambon) di sebelah tenggara. Benteng keenam, Bastion Ravelin sudah tidak ada lagi. Kelima Bastion ini merupakan Sekutu loyal VOC Belanda dimasanya seperti Bone, Buton, Bacan, Mandarsyah dan Ambon yang menikmati hasil bersama Belanda. Beberapa benteng masih berisi meriam. Dimungkinkan untuk berjalan di sebagian besar benteng. Dahulu terdapat jaringan parit sedalam dua meter yang mengelilingi benteng, namun kini hanya parit di bagian barat daya yang masih dapat dilihat.[6]
Di dalam benteng terdapat tiga belas bangunan, sebelas di antaranya adalah bangunan asli benteng abad ke-17; sebagian besar kondisinya masih bagus. Di tengah benteng terdapat bangunan gereja. Beberapa bangunan di sepanjang dinding utara dan selatan masih ada. Bangunan di sepanjang dinding utara merupakan beberapa bangunan tertua, berasal dari tahun 1686, seperti rumah kediaman gubernur, pedagang senior, kapten, predikant, dan sekretaris, serta beberapa bangunan penyimpanan senjata. Kediaman gubernur di sudut paling barat laut dijuluki sebagai "Rumah Speelman", walau Speelman sendiri tidak pernah tinggal di rumah itu. Rumah itu digunakan gubernur Sulawesi hingga pertengahan abad ke-19 ketika ia pindah ke vila yang lebih nyaman di Jalan Ahmad Yani. Rumah Speelman sekarang menjadi bagian dari Museum La Galigo. Museum La Galigo mengoleksi beberapa megalit prasejarah dari Watampone, serta senjata kuno, koin, kerang, perkakas, sketsa, dan perangko.[4]
Bangunan-bangunan di dinding selatan yang dulu merupakan sebagai tempat penyimpanan, kini menjadi museum yang menampilkan kesenian lokal dalam menenun sutra, pertanian, dan pembuatan kapal.[4] Barak di tembok timur sekarang menampung perpustakaan kecil, menampilkan buku-buku Belanda kuno yang sebagian besar milik Pendeta Mates, seorang misionaris di abad ke-19. Terdapat juga catatan para kapal kapten VOC dan manuskrip lontar.[6] Departemen arkeologi bertempat di bekas gedung kepala administrasi VOC; lantai dasar bangunan yang terletak di sudut tenggara benteng ini dulunya adalah penjara.[6] Dua bangunan lain di dalam Fort Rotterdam dibangun oleh Jepang selama masa pendudukan Jepang.[6] Bastion di barat daya (Bastion Bacan) terdapat penjara di mana Pangeran Diponegoro dipenjara hingga akhir hayatnya.[7]