Bias antarkelompok atau pilih kasih kelompok (Inggris: in-group favoritism) merupakan kecenderungan sebuah kelompok untuk menilai bahwa setiap individu di dalam kelompok mereka lebih baik dibandingkan dengan kelompok lain atau individu di luar kelompok mereka. Istilah ini juga dikenal dengan favoritisme dalam kelompok dan prasikap dalam kelompok.[1]
Kecenderungan ini dikaitkan dengan aspek utama pada perilaku manusia, di mana orang cenderung akan membantu anggota kelompoknya sendiri ketimbang kelompok atau orang lain di luar kelompoknya.[2] Di dalam banyak penelitian bidang psikologi dan sosial, bias antarkelompok mencakup stereotipe, prasangka, penindasan, dan efek halo sehingga membentuk suatu kerangka yang kompleks dalam memahami dinamika interaksi sosial.
Teori bias antarkelompok berkembang sebagai hasil dari penelitian dan observasi di dalam bidang psikologi sosial. Dalam teori realistic conflict yang dikembangkan oleh Muzafer Sherif pada 1966 menyatakan bahwa persaingan nyata atau persepsi tentang sumber daya yang terbatas dapat menyebabkan konflik antarkelompok. Persaingan ini dapat mengarah pada stereotip negatif, prejudice, dan diskriminasi.[3]
Sementara itu, berdasarkan teori identitas sosial yang dikembangkan oleh Henri Tajfel dan Turner pada tahun 2004 menjelaskan bahwa individu mendefinisikan diri mereka dalam hal identitas kelompok, dan hal ini dapat menyebabkan peningkatan kesadaran terhadap perbedaan antara kelompok yang kemudian dapat memunculkan bias antarkelompok.[4]
Identitas sosial memberikan pemahaman mengenai bagaimana individu membentuk konsep diri mereka dalam relasi dengan kelompok, sementara teori realistic conflict menyoroti peran persaingan nyata atau persepsi persaingan dalam menciptakan dan memperkuat konflik antarkelompok. Kedua teori menjelaskan bagaimana dan mengapa bias antarkelompok muncul di dalam interaksi sosial.
Keyakinan pada bias antarkelompok mencakup persepsi atau pandangan individu terhadap adanya preferensi atau perlakuan yang tidak adil terhadap kelompok tertentu, baik kelompoknya sendiri (in-group) maupun kelompok lain (out-group). Keyakinan ini mencerminkan kesadaran individu terhadap fenomena bias antarkelompok dan dapat dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, norma sosial, dan informasi yang diterima dari lingkungan sekitar.
Individu yang memiliki keyakinan pada bias antarkelompok umumnya sadar akan keberadaan stereotip, prejudice, atau diskriminasi yang mungkin terjadi di dalam masyarakat. Mereka mungkin mengenali adanya preferensi yang tidak adil terhadap kelompok tertentu.[5] Contohnya, seorang karyawan perempuan yang memiliki kualifikasi dan kinerja yang sama dengan rekan laki-laki merasa mendapatkan perlakuan yang tidak setara dalam hal penggajian atau peluang promosi. Kesadaran atas ketidaksetaraan ini mencerminkan recognition of bias gender di lingkungan kerja.
Keyakinan ini sering kali terkait dengan sikap individu terhadap keadilan sosial. Individu yang percaya pada adanya bias antarkelompok memiliki keinginan untuk mencapai keseimbangan dan keadilan dalam interaksi antarkelompok.[6] Contohnya, seorang karyawan memiliki sikap terhadap keadilan ketika dia mendukung ide bahwa semua karyawan, tanpa memandang jenis kelamin, etnisitas, atau latar belakang lainnya, seharusnya menerima pengupahan yang setara untuk pekerjaan yang setara.
Khawatir akan reputasi dapat menjadi pendorong munculnya perilaku favoritisme dalam kelompok, terutama ketika anggota kelompok secara strategis memperhatikan bagaimana tindakan prososial mereka dapat membangun reputasi positif terhadap anggota kelompok lainnya. Mereka percaya bahwa dengan menunjukkan perilaku positif kepada anggota kelompok tertentu, mereka dapat memperoleh dukungan, simpati, dan apresiasi dari kelompok tersebut sehingga memperkuat reputasi mereka sebagai individu yang prososial.[7]