Ungkapan "budaya kehidupan" adalah suatu istilah yang digunakan dalam pembahasan mengenai teologi moral, terutama dalam Gereja Katolik. Para pendukung "budaya kehidupan" mendeskripsikannya sebagai cara hidup berdasarkan kebenaran teologis bahwa kehidupan manusia pada setiap tahapannya, sejak konsepsi (pembuahan) sampai wafatnya secara alami, adalah sakral. Dengan demikian, "budaya kehidupan" bertentangan dengan praktik-praktik yang menghancurkan kehidupan manusia, yang umumnya meliputi aborsi, eutanasia, studi dan pengobatan terkait sel punca embrionik, kontrasepsi, hukuman mati, perang yang tidak dapat dibenarkan, penghinaan sadistis, narsisisme, serta keegoisan yang berlebihan.
Dalam politik Amerika Serikat, kalangan konservatif sosial sering menggunakan istilah "budaya kehidupan" dalam perlawanan mereka terhadap aborsi dan penelitian sel punca embrionik.[1] Pada tahun 2005, dilaporkan bahwa 68% kaum kulit putih Protestan evangelis di Amerika Serikat menentang aborsi, 58% menentang eutanasia, dan 15% menentang hukuman mati.[2]
Meskipun berbagai penulis menggunakan istilah ini dari waktu ke waktu, ungkapan "budaya kehidupan" menjadi bahasa yang populer karena Paus Yohanes Paulus II, yang pertama kali menggunakannya dalam acara tur Hari Orang Muda Sedunia tahun 1993 di Amerika Serikat. Saat berbicara kepada para jurnalis di Bandar Udara Internasional Stapleton di dekat Denver, Colorado, Sri Paus mengecam praktik aborsi dan eutanasia dengan menyatakan bahwa, "Budaya kehidupan berarti rasa hormat pada alam dan perlindungan karya cipta Allah. Secara khusus, itu berarti rasa hormat pada kehidupan manusia dari awal mula konsepsi sampai berakhirnya secara alami."[3] Kardinal Bernard Law menegaskan kembali tema ini, mendesak rakyat Amerika untuk "menyebarluaskan budaya kehidupan pada budaya kematian".[butuh rujukan]
Selain Kitab Suci, salah satu kemungkinan sumber atas filosofi ini adalah Didache, sebuah dokumen Kristen dari abad pertama yang memaparkan doktrin ini melalui dua cara: jalan kehidupan dan jalan kematian. Karya ini termasuk bagian dari Magisterium Gereja Katolik, dan para paus sering mengutipnya.
Paus Yohanes Paulus II kembali ke tema ini pada bulan April 1995 melalui ensiklik Evangelium vitae ("Injil Kehidupan"):
Dalam konteks sosial kita sekarang, yang ditandai denan suatu pergulatan dramatis antara budaya kehidupan dan budaya kematian, terdapat kebutuhan untuk mengembangkan suatu perasaan kritis mendalam yang mampu membedakan nilai-nilai sejati dan kebutuhan-kebutuhan otentik.
Isu-isu yang termasuk dalam deskripsi Gereja Katolik mengenai budaya kehidupan misalnya:
Setelah dikeluarkannya ensiklik Paus Yohanes Paulus II, para pendukung budaya kehidupan mendirikan Culture of Life Foundation (CLF) di Amerika Serikat untuk memajukan konsep-konsep yang terkandung dalam Evangelium vitae. Paus Yohanes Paulus II memberikan pengakuan dan berkatnya pada organisasi tersebut pada tahun 1997.[8] "Budaya kehidupan" memasuki arus utama politik Amerika Serikat pada tanggal 3 Oktober, pada saat kampanye pemilu presiden Amerika Serikat. Gubernur Texas George W. Bush mengutip istilah ini pada suatu acara debat di televisi melawan Wakil Presiden Al Gore; Bush menyatakan keprihatinannya kalau Mifepriston, yang baru disetujui di A.S. sebagai pil abortifasien, akan menyebabkan lebih banyak wanita menggugurkan kehamilan mereka, sedangkan Bush bermaksud menurunkan tingkat aborsi dan "memajukan suatu budaya kehidupan". Bush mengatakan:
Tentunya bangsa ini dapat turut bersama-sama memajukan nilai kehidupan. Tentunya kita dapat menyingkirkan hukum-hukum yang akan mendorong para dokter atau memungkinkan para dokter untuk mengambil kehidupan kaum lansia kita. Tentu, kita dapat bekerja sama untuk menciptakan suatu budaya kehidupan sehingga beberapa anak muda ini yang merasa seolah-olah mereka dapat mengambil kehidupan sesamanya dengan sepucuk senjata api akan memahami bahwa bukan itu yang dimaksud sebagai cara Amerika.[9]
Paus Yohanes Paulus II menggunakan istilah lawannya, "budaya kematian", dalam Evangelium vitae (April 1995):
12. Pada kenyataannya, sementara iklim ketidakpastian moral yang menyebar luas dapat dijelaskan dengan cara tertentu melalui keragaman dan keseriusan masalah-masalah sosial masa kini, dan hal ini terkadang dapat mengurangi tanggung jawab individu-individu, benarlah kenyataan bahwa kita berhadapan dengan suatu realitas yang bahkan lebih besar, yang dapat dideskripsikan sebagai suatu struktur dosa yang sesungguhnya. Kenyataan ini ditandai dengan timbulnya suatu budaya yang menolak solidaritas dan dalam banyak kasus mengambil rupa suatu 'budaya kematian' yang sesungguhnya. Budaya ini secara aktif dipupuk oleh arus politik, ekonomi, dan kultural yang kuat, yang mendorong suatu gagasan masyarakat yang secara berlebihan memperhatikan efisiensi. Melihat situasi tersebut dari sudut pandang ini, adalah mungkin berbicara dalam arti tertentu tentang suatu perang antara yang kuat melawan yang lemah: suatu kehidupan yang membutuhkan perhatian, cinta, dan penerimaan yang lebih besar dipandang tidak berguna, atau dianggap sebagai suatu beban yang tak tertahankan, dan karenanya ditolak dengan satu atau lain cara. Seorang pribadi yang, karena sakit, cacat, atau, secara lebih sederhana, hanya dengan keberadaannya, menghambat kesejahteraan atau gaya hidup mereka yang lebih diunggulkan cenderung dipandang sebagai musuh yang harus dilawan atau disingkirkan. Dengan cara ini dilancarkan suatu jenis 'konspirasi melawan kehidupan'. Konspirasi ini tidak hanya melibatkan individu dalam hubungan keluarga, kelompok, atau pribadi mereka, tetapi jauh melampaui, hingga titik yang merusak dan mendistorsi, pada tingkat internasional, hubungan antara bangsa-bangsa dan Negara-Negara.[10]
Kardinal Cormac Murphy-O'Connor menegaskan kembali Evangelium vitae, misalnya dalam perkataannya yang menyebutkan bahwa, tanpa moralitas, "adalah yang kuat yang memutuskan nasib yang lemah", dan "oleh karena itu manusia menjadi alat manusia lainnya. ... Kita telah berada di jalan tersebut: untuk apa lagi pengakhiran jutaan kehidupan di dalam rahim sejak Undang-Undang Aborsi diluncurkan, dan pemilihan embrio berdasarkan jenis kelamin dan gen?"[11]
Para pendukung "budaya kehidupan" berpendapat bahwa "budaya kematian" menyebabkan pembunuhan karena faktor eugenika, ekonomi, ataupun politik. Mereka menunjuk peristiwa-peristiwa historis seperti Pembersihan Besar-Besaran yang dilakukan Uni Soviet, Holokaus yang dilakukan Nazi, Lompatan Jauh ke Depan yang dilakukan Tiongkok, dan Khmer Merah pimpinan Pol Pot sebagai contoh-contoh devaluasi kehidupan manusia yang dibawa menuju suatu akhir yang ekstrem. Istilah "budaya kematian" digunakan oleh mereka yang tergabung dalam gerakan pro-kehidupan untuk menunjuk para pendukung penelitian sel punca embrionik, legalisasi aborsi dan eutanasia.[12][13][14][15][16][17] Sebagai penganjur pro-kehidupan, para pedukung "budaya kehidupan" terkadang membandingkan para penentang mereka dengan para pelaku genosida Nazi.[18] Mereka mengklaim bahwa para penentang mereka itu berbagi ketidakpedulian yang sama atas kehidupan manusia.[19][20][21][22]
Gereja Katolik membela hak hidup semua pribadi sejak dari pembuahan sampai wafatnya yang wajar. Konsekuensinya, Gereja tidak menyetujui prosedur medis tertentu yang dapat membahayakan ataupun membunuh janin, yang diyakini Gereja sebagai pribadi dengan hak hidup yang tidak dapat diganggu gugat. Sejumlah lembaga kesehatan dan rumah sakit Katolik secara berkala menolak prosedur tersebut. Gereja Katolik juga senantiasa menentang kontrasepsi dan aborsi. Hal ini dapat diverifikasi dalam Humanae vitae, ensiklik yang ditulis pada tahun 1968 saat kepemimpinan Paus Paulus VI.[23]