Bus raya terpadu palsu merupakan fenomena kegagalan sistem bus raya terpadu (BRT) untuk memenuhi beberapa persyaratan "BRT sejati" akibat ketiadaan atau penghapusan fitur-fitur BRT yang dimilikinya. Layanan bus seperti ini seringkali dipasarkan sebagai sistem bus raya terpadu, tetapi pada kenyataannya hanyalah bus reguler yang memiliki sedikit kelebihan. ITDP telah memublikasikan beberapa pedoman untuk mendefinisikan istilah "BRT sejati", disebut sebagai Standar BRT, sebagai langkah untuk mencegah masalah seperti ini.
Pendukung istilah "Bus Rapid Transit" mendefinisikan BRT sebagai salah satu bentuk transportasi massal berbasis bus yang berjalan di jalur khusus, sehingga bus dapat berjalan dengan kecepatan dan kapasitas penumpang yang dapat bersaing dengan lintas rel terpadu. Salah satu keuntungan BRT ialah tidak perlunya pembangunan infrastruktur berskala besar, seperti jalur rel.
Fleksibilitas layanan BRT memiliki kelemahan tersendiri. Apabila dibandingkan dengan LRT atau MRT, sistem BRT lebih mudah untuk diturunkan kualitasnya dengan cara menghapus fitur-fitur yang mahal, seperti jalur khusus bus, tanpa menyebabkan layanan berhenti total.
Dampak paling ekstrem dari penghapusan fitur-fitur BRT ialah tidak lagi dianggapnya suatu sistem sebagai "Bus Raya Terpadu". Sebagai contoh, penilaian yang dilakukan oleh Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) menyimpulkan bahwa Lin Silver Boston sebaiknya diklasifikasikan sebagai "Bukan BRT" setelah pemegang kebijakan setempat secara perlahan menghapus fitur-fitur yang secara spesifik digunakan dalam sistem BRT.[2] Penelitian ini juga mengevaluasi layanan Select Bus Service di Kota New York (awalnya diharapkan berstandar BRT) sebagai "Bukan BRT".[2]
Beberapa sistem transportasi di Amerika dinilai memiliki sangat sedikit karakteristik penting untuk dapat disebut sebagai sistem BRT, hal ini mempersulit upaya pengembangannya di Amerika Serikat.
Khawatir terhadap terjadinya hal serupa, penulis asal Virginia, Kevin Beekman, mengajak masyarakat di wilayah yang rencananya dilewati oleh BRT untuk menggunakan standar penilaian ITDP (Standar BRT) sebagai alat penilaian.[3] Penulis lain dari wilayah Washington, Dan Reed, menjelaskan lebih rinci sentimen ini. Ia menulis bahwa apabila penurunan kualitas BRT terus dilakukan, hal tersebut akan "berdampak buruk bagi penumpang komuter, serta bagi pembayar pajak yang sebelumnya dijanjikan layanan kelas atas, tetapi hanya mendapatkan bus yang dicat menggunakan warna yang berbeda".[4]
Menurut Dan Malouff, perencana transportasi umum, pengurangan fasilitas BRT hingga menjadi "BRT palsu" bervariasi antarsistemnya. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan oleh The Washington Post, ia menulis bahwa "terdapat ribuan cara untuk menyunat fitur-fitur yang secara individual tidak begitu penting, tetapi secara kolektif merupakan pembeda antara bus BRT dan reguler". Penurunan kualitas layanan dapat ditandai dengan satu atau beberapa gejala, di antaranya bus yang tidak berjalan di jalur khusus bus, hanya menggunakan rambu tempat perhentian bus daripada halte berfasilitas lengkap, menghapus sistem prabayar, tidak menggunakan semua pintu yang tersedia sehingga menghambat alur naik penumpang, dan tidak memprioritaskan bus di persimpangan dengan lampu lalu lintas.[5]
Salah kaprah penggunaan istilah "BRT" di Indonesia dapat dikaitkan dengan usaha beberapa pemerintah daerah untuk mencontoh sistem BRT Transjakarta. Namun, layanan yang dijalankan belum memenuhi standar untuk dapat dikategorikan sebagai BRT, meskipun penyedia layanan memberi jenama BRT pada layanan mereka. Contoh layanan bus yang mengalami kasus ini, antara lain Trans Metro Bandung, Trans Semarang,[6] Buratas, Trans Cirebon,[7] dan Trans Tangerang Ayo.