Ca-bau-kan | |
---|---|
Sutradara | Nia Dinata |
Produser | Nia Dinata |
Skenario | Nia Dinata Puguh P. S. Admaja |
Berdasarkan | Novel: Remy Sylado |
Pemeran | Ferry Salim Lola Amaria Niniek L. Karim Irgi Ahmad Fahrezi Alex Komang Robby Tumewu Tutie Kirana Henky Solaiman Alvin Adam Maria Oentoe |
Penata musik | Andi Rianto Sekar Ayu Asmara |
Sinematografer | German G. Mintapradja |
Penyunting | Sastha Sunu |
Distributor | Kalyana Shira Film |
Tanggal rilis |
|
Durasi | 120 menit |
Negara | Indonesia |
Bahasa | Bahasa Indonesia |
Anggaran | Rp 5 Miliar |
Ca-bau-kan (Internasional: The Courtesan) adalah film drama romantis tahun 2002 dari Indonesia yang diangkat dari novel Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa karya penulis Indonesia Remy Sylado. Film ini mengangkat budaya Tionghoa Peranakan di Hindia Belanda dan Indonesia, dengan latar cerita yang mencakup zaman kolonial Belanda pada tahun 1930-an, pendudukan Jepang pada 1940-an, hingga pasca-kemerdekaan tahun 1960. Istilah Ca-bau-kan sendiri adalah Bahasa Hokkian yang berarti "perempuan", yang saat zaman kolonial diasosiasikan dengan pelacur, gundik, atau perempuan simpanan orang Tionghoa. Pada zaman kolonial Hindia Belanda, banyak Ca-bau-kan yang sebelumnya bekerja sebagai wanita penghibur sebelum diambil sebagai selir oleh orang Tionghoa.
Ca-bau-kan dianggap cukup kontroversial saat pertama kali dirilis, karena beberapa hal, selain karena dibesut sutradara wanita yang masih jarang di perfilman Indonesia pada masa itu. Pertama karena film ini adalah film Indonesia pertama yang menggunakan judul bahasa asing (Hokkian) yang tidak akan boleh digunakan pada era Orde Baru. Dan juga karena film ini adalah film Indonesia pertama yang sarat dengan tema budaya dan bahasa Tionghoa Peranakan yang kental pada zaman kolonial Hindia Belanda. Film ini juga adalah film Indonesia pertama yang menggambarkan peran orang Peranakan dan etnis Tionghoa dalam perang kemerdekaan 1945-1949.[1]
Film ini disutradarai oleh Nia Dinata, dan dimainkan antara lain oleh Niniek L. Karim, Ferry Salim dan Lola Amaria. Film ini didistribusikan oleh Kalyana Shira Film dan dirilis 7 Februari 2002 di Jakarta, Indonesia. Ca-bau-kan pertama kali ditayangkan di dunia perfilman internasional dalam Asia Pacific Film Festival tahun 2002 dan kemudian dalam Palm Springs International Film Festival tahun 2003.
Pada awal cerita, saat zaman kolonial Belanda di Batavia, diceritakan latar belakang seorang wanita betawi muda. Dia kehilangan suaminya tak lama setelah menikah dan diusir dari keluarga mendiang suaminya saat sedang mengandung. Tragedi tersebut bertambah parah dengan gugurnya kandungan wanita tersebut yang diikuti dengan masuknya Dia ke dalam dunia prostitusi Ca-bau-kan atas dorongan Bibinya, Saodah (Lulu Dewayanti).
Cerita berlanjut ke tahun 2000, dimulai dari pulangnya Giok Lan (Niniek L. Karim), seorang wanita lanjut usia yang dulu dipungut anak dan tinggal di Belanda, ke Indonesia. Ia kembali ke Indonesia untuk mencari tahu asal usul dan latar belakang hidupnya dan keluarganya yang sebenarnya. Ia akhirnya tahu bahwa Ibu kandungnya adalah wanita betawi pribumi tadi yang bernama Siti Noerhajati, yang kerap dipanggil "Tinung" (Lola Amaria), seorang Ca-bau-kan yang sering menghibur orang Tionghoa pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. Ayah kandungnya adalah Tan Peng Liang, seorang pedagang tembakau Tionghoa Peranakan dari Semarang. Mereka berdua adalah orang tua kandung dari Giok Lan, sang narator film.
Cerita berpindah ke masa lalu, pada tahun 1933. Tinung menjadi seorang Ca-bau-kan di daerah Kalijodo, Batavia, dan tak lama kemudian Tinung pun menjadi sangat populer dan terkenal karena kecantikannya. Karena kecantikannya tersebut, Tinung sempat dijadikan wanita simpanan oleh seorang tauke (juragan) pisang berperangai kasar yang bernama Tan Peng Liang (Moeljono). Tinung hidup dengan nyaman dan bahkan mengandung anak lagi. Namun kemudian Tinung melarikan diri karena tidak tahan dengan lingkungan rumah Tan Peng Liang yang diwarnai kekerasan.
Tinung kemudian melanjutkan profesinya sebagai wanita penghibur di Kalijodo, tetapi tak bertahan lama karena kondisinya yang berbadan dua. Saodah yang juga bekerja sebagai penari cokek kemudian membawa Tinung dan memperkenalkan Tinung ke dunia tari dan nyanyi cokek di bawah naungan Njoo Tek Hong (Chossy Latu), seorang musisi Tionghoa. Dalam sebuah festival, dia bertemu dengan Tan Peng Liang (Ferry Salim), seorang pengusaha tembakau Kiau-Seng (Tionghoa Peranakan) dari Semarang yang berkarakter sangat berbeda dengan Tan Peng Liang sebelumnya, dan mereka berdua pun saling menyimpan perasaan.
Cerita berpindah ke Tan Peng Liang kedua yang namanya cepat melejit sebagai pengusaha tambakau sukses dan kaya di Batavia. Konflik persaingan pun mulai timbul antara Tan Peng Liang dengan Kong Koan, sebuah dewan pengusaha Tionghoa besar di Batavia yang beranggotakan antara lain oleh Oey Eng Goan (Joseph Ginting), Thio Boen Hiap (Robby Tumewu), Lie Kok Pien (Stanley Worotikan), Kwee Tjwie Sien (Yongki Komaladi), Timothy Wu (Alvin Adam) dan pengacara Liem Kiem Jang (Henky Solaiman).
Tinung akhirnya menjadi seorang penari cokek dan sering menghibur di festival gambang kromong Betawi. Dia bertemu dengan Tan Peng Liang lagi dan akhirnya menerima tawarannya untuk menjadi wanita simpanan Tan Peng Liang, sementara perseteruan Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan semakin memanas. Tinung dan Tan Peng Liang pun memulai jalinan kasih yang dilandasi cinta, walaupun mereka tak menikah secara resmi, karena di balik hubungan mereka, anak dan istri Tan Peng Liang di Semarang menentang keras hubungan berbeda kelas tersebut. Yang mendukung hubungan mereka hanyalah Ibu Tan Peng Liang (Maria Oentoe), seorang wanita Jawa yang bijaksana.
Cerita berpindah ke perseteruan Tan Peng Liang dan Dewan Kong Koan, di mana Tan Peng Liang dan tangan kanannya, Tan Soen Bie (Irgi Ahmad Fahrezi) menipu Thio Boen Hiap untuk menjual tembakaunya ke Tan Peng Liang. Cerita kemudian mengungkap bahwa Giok Lan lahir di tengah-tengah perseteruan bisnis Tan Peng Liang dengan Dewan Kong Koan tersebut. Tindakan penipuan Tan Peng Liang akhirnya diketahui oleh Thio Boen Hiap yang karena amarahnya akhirnya merencanakan untuk membakar gudang tembakau Tan Peng Liang. Rencana tersebut berhasil dihentikan oleh Tan Soen Bie yang menangkap basah orang suruhan Thio Boen Hiap, tetapi siapa sangka, karena dibakar amarahnya Tan Peng Liang malah menyuruh Tan Soen Bie untuk membunuh orang suruhan tersebut dan membakar gudang tembakaunya beserta isinya.
Kasus pembakaran tersebut diselidiki oleh kepolisian Hindia Belanda dan pers. Tan Peng Liang pun mulai menyogok mereka dengan uang suapan untuk menjebak Thio Boen Hiap. Tak lama setelah sidang, Thio Boen Hiap pun akhirnya dinyatakan bersalah, tetapi situasi justru berbalik menyudutkan Tan Peng Liang setelah wartawan Max Awuy (Ananda George) bersama Tjia Wan Sen (Billy Glenn) mengungkap pemalsuan uang yang dilakukan Tan Peng Liang. Tan Peng Liang pun akhirnya ditangkap dan dipenjara di Cipinang. Dalam penjara terungkap bahwa Tan Peng Liang ternyata terlibat perjuangan kemerdekaan bersama Rahardjo Soetardjo (Alex Komang), sepupunya yang adalah orang Jawa pribumi.
Cerita berpindah ke masa ini, di mana Giok Lan bertemu dengan Oey Eng Goan tua dan bertanya mengenai riwayat Tan Peng Liang. Oey Eng Goan ternyata masih membenci Tan Peng Liang walaupun sudah lama mati. Dia bercerita bahwa tak lama setelah dipenjara, Tan Peng Liang melarikan diri ke Makau, Tiongkok, dan menjadi semakin disegani dalam dunia bisnis, tetapi juga bercerita bahwa Tinung lah orang yang sebenarnya membuat Tan Peng Liang orang yang disegani.
Cerita berpindah lagi ke masa lalu, di mana Tinung menolak ajakan banyak pria untuk menjadi wanita simpanan mereka karena cintanya pada Tan Peng Liang. Dilanda kemiskinan, Tinung tidak dapat mengurus anak-anaknya. Dia terpaksa menyerahkan anak pertamanya dan Giok Lan kecil untuk diadopsi dan dibawa ke negeri Belanda dengan imbalan uang, walau dilanda perasaan bersalah sebagai seorang Ibu. Terungkap bahwa tak lama setelah diadopsi, anak pertamanya, Kakak Giok Lan, telah meninggal di Belanda, tetapi Tinung tidak mengetahui karena Ia buta huruf dan tak dapat membaca surat tentang kabar tersebut. Cerita kemudian mengungkap bahwa Tinung diculik oleh orang suruhan Tan Peng Liang pertama yang ternyata masih menyimpan perasaan kepada Tinung. Namun kisah penculikan tersebut tidak bertahan lama karena campur tangan Tan Soen Bie yang diakhiri dengan tewasnya Tan Peng Liang pertama di tangan Tjia Wan Sen yang dendam kepadanya. Kematian Tan Peng Liang pertama tersebut menjadi keuntungan bagi Tan Peng Liang kedua yang dapat memalsukan kematiannya sendiri.
Cerita berpindah ke kedatangan pasukan Jepang tahun 1942, di mana anggota Dewan Kong Koan akhirnya ditangkap dan Rahardjo Soetardjo bersama Max Awuy menjadi rekan seperjuangan bawah tanah dalam pasukan Jepang. Di negeri Siam, Tan Peng Liang telah mengganti namanya menjadi Simon Chen. Dia memulai hubungan asmara disertai bisnis menyelundupkan senjata dengan seorang pejuang bawah tanah komunis merangkap pengusaha bernama Jeng Tut (Tutie Kirana). Cerita kemudian berpindah ke masa ini, di mana Oey Eng Goan tua bercerita bahwa untuk membebaskan anggota Kong Koan dari tangkapan Jepang, Thio Boen Hiap menghadiahkan Tinung yang cantik ke tentara Jepang sebagai seorang jugun ianfu di Rumah Panjang, Sukabumi. Kembali ke masa lalu, hilangnya Tinung memancing kemarahan Tan Soen Bie yang kemudian mengabarkan berita tersebut ke Tan Peng Liang.
Tan Peng Liang pulang dan berlabuh di Sunda Kelapa, Batavia, lalu bertemu dengan Rahardjo Soetardjo. Tan Peng Liang marah besar saat Rahardjo Soetardjo mengabarkan nasib Tinung dan perbuatan Thio Boen Hiap kepadanya. Dia kemudian berjanji akan membantu perjuangan pasukan Rahardjo Soetardjo asalkan dibantu untuk mendapatkan Tinung kembali. Tinung pun akhirnya dibebaskan keluar dari Rumah Panjang oleh Rahardjo Soetardjo. Dalam penantiannya di sebuah Rumah Sakit, Tinung menjadi hancur dilanda oleh perasaan bersalah dari peristiwa-peristiwa hidupnya selama itu, tetapi akhirnya pertemuan dengan Tan Peng Liang mengubah hidupnya kembali ke normal. Cerita kemudian berpindah ke peran Tang Peng Liang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tan Peng Liang akhirnya bergabung dengan Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy sebagai pemasok senjata dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perannya tersebut ditentang oleh Dewan Kong Koan yang mengetahui bahwa Tan Peng Liang masih hidup, dan dipersulit hubungannya dengan Jeng Tut yang mulai sulit karena pandangan ideologi mereka yang berbeda.
Di sisi lain, hubungan Tang Peng Liang dengan Tinung juga semakin renggang. Tinung merasa bahwa Ia tidak berguna untuk Tan Peng Liang karena tidak bisa mengandung anak lagi. Hal tersebut akhirnya memicu Tan Peng Liang untuk melampiaskan dendam lamanya kepada Thio Boen Hiap yang menyerahkan Tinung kepada pasukan Jepang sebelum kemerdekaan. Tan Peng Liang pun akhirnya menyerbu rumah Thio Boen Hiap dan dalam kemarahannya akhirnya mengeksekusi Thio Boen Hiap dengan tembakan ke kepala. Cerita berpindah ke Batavia yang sekarang bernama Jakarta pada tahun 1960, di mana Tan Peng Liang menjadi seorang pengusaha yang sangat kaya dan sukses, dibantu oleh teman seperjuangannya, Rahardjo Soetardjo dan Max Awuy yang kini mendapat posisi di pemerintahan Indonesia. Di sini Tan Peng Liang kembali menyatakan cintanya yang tulus kepada Tinung. Namun dibalik layar, anggota Dewan Kong Koan yang telah bubar masih menyimpan dendam pada Tan Peng Liang, karena mereka tahu siapa yang membunuh Thio Boen Hiap.
Hidup Tan Peng Liang akhirnya berakhir tak lama kemudian. Dia meninggal setelah memakan durian beracun yang dibawakan oleh Jeng Tut dalam sebuah pertemuan bisnis di rumahnya. Terungkap bahwa tak lama setelah meninggalnya Tan Peng Liang, Tinung pun akhirnya juga meninggal.
Tak ada yang mencurigai bahwa Tan Peng Liang sebenarnya mati dibunuh, tetapi akhirnya Oey Eng Goan tua bercerita pada Giok Lan, bahwa dia lah yang sebenarnya merencanakan pembunuhan tersebut. Kini, dia satu-satunya yang masih hidup di antara anggota dewan Kong Koan. Giok Lan sangat marah setelah mengetahui perbuatan tersebut, tetapi akhirnya memutuskan untuk memaafkan Oey Eng Goan dan melupakan kejadian tersebut, walau ditentang oleh saudaranya.
Film diakhiri dengan kedatangan Giok Lan ke sebuah kuburan Tionghoa, untuk berziarah ke makam kedua orang tuanya, Tan Peng Liang dan Siti Noerhajati yang diakhiri dengan pembelaan dan pembenarannya atas pekerjaan Ibunya sebagai seorang Ca-bau-kan.
Setelah mendapat izin dari Remy Sylado, Nia Dinata memulai proses pembuatan Ca-bau-kan dengan melakukan riset serius untuk penataan artistik. Tim risetnya memulai riset pada Maret 2000 dengan melibatkan pengajar program studi bahasa Tionghoa di Universitas Indonesia, Eddy Prabowo, yang melakukan penelitian berdasarkan dokumentasi foto kebudayaan Tionghoa periode 1930-1950. Dari riset ditemukan sejumlah lokasi, antara lain Gedung Arsip Nasional di kawasan Kota Jakarta, Cileungsi di Jonggol, pelabuhan Sunda Kelapa, Lasem, Klenteng Tionghoa Tay Kak Sie di gang Lombok dan gedung Lawang Sewu di Semarang, Rumah Sakit di Magelang, dan stasiun kereta api lama di Ambarawa.
Pembuatan film Ca-bau-kan mengonsumsi dana sebesar kurang lebih 5 miliar rupiah. Film Ca-bau-kan adalah proyek perdana Kalyana Shira Film di mana banyak kru dan Nia Dinata sendiri memiliki pengalaman nyaris nol di dunia film. Film ini mengalami banyak kendala dalam masalah dana. Banyak dana yang habis untuk keperluan syuting berpindah-pindah di daerah pecinan di Lasem, Semarang, Ambarawa, Bantir, Tuntang dan Magelang. Menurut Nia Dinata di Koran Tempo, pencarian dana untuk film Ca-bau-kan adalah proses yang sulit.
"Tabungan saya dan teman-teman terkuras," "Ini film independen. Kita cari uang sendiri, bukan untuk kita, tapi untuk biaya film." Tutur Nia Dinata[2]
Menurut Koran Tempo, Film ini menggunakan 3.000 kostum dan melibatkan tokoh-tokoh fashion Indonesia saat itu. Untuk menampilkan detail ambisius untuk pakaian dengan setting Indonesia pada 1918–1951, Nia Dinata mendapat kontribusi penuh dari sejumlah perancang yang di antaranya juga turut berakting dalam film Ca-bau-kan. Desainer seperti Chossy Latu, Robby Tumewu, dan Yongki Komaladi tampil sebagai aktor dalam film tersebut sembari mengenakan pakaian desain mereka sendiri.
"Untuk menyiasati dana membengkak, inilah peran para donatur dan sponsor", kata Nia Dinata.[2]
Kain untuk kostum dan Props disediakan dari Texmaco. Desainer seperti Anton Diaz dan Sebastian Gunawan menangani penggunaan kostum sarung, kebaya, dan aneka kemeja seperti yang dikenakan Jeng Tut. Sepatu dalam film didesain oleh Yongki Komaladi. Pakaian, aksesori dan perhiasan yang dikenakan Tinung dalam film disediakan oleh Thomas Sigar. Hutama Adhi serta Usaha Tailor mendesain dan menyediakan kostum untuk Tan Peng Liang dan anggota Kong Koan. Kebaya yang digunakan Tinung dan sarung yang dipakai tuan-tuan Tionghoa dan Belanda antara lain: kebaya taman teratai, terang bulan, buketan, pucuk rebung. Sari Ayu bertanggung jawab untuk make-up para pemeran saat syuting film.
Menurut Koran Tempo, Nia Dinata cukup selektif dalam tim yang terlibat dalam pembuatan film Ca-bau-kan. Fotografi ditangani oleh German G. Mintapradja, yang biasa menangani fotografi bersama Garin Nugroho dalam Anak Seribu Pulau dan juga juara ketiga The Best Short Breda Film Festival Belanda tahun 1996. Posisi penata artistik dipegang oleh Iri Supit, yang pernah menangani Art, kostum dan make-up beberapa film Teguh Karya.
Untuk menyamakan arah cerita dan agar cerita film bisa dipahami, Nia Dinata mewawancarai semua tim yang akan terlibat dan selalu memberikan buku Ca-Bau-Kan: Hanya Sebuah Dosa untuk dibaca lebih dulu sebagai petunjuk bagaimana karakter tokoh yang akan diperankan. Nia Dinata membaca buku tersebut sampai delapan kali sebelum pembuatan film Ca-bau-kan. Film Ca-bau-kan melibatkan 100 kru produksi, 30 pemain utama dan 500 figuran. Menurut Nia Dinata, kru produksi film juga diisi banyak personel wanita. Mulai dari posisi produser, asisten manajer produksi, sampai still photo. Ada 45 perempuan dari 100 kru produksi.
Nia Dinata menggunakan filter biru untuk malam dan oranye untuk siang pada kamera. Kalijodo untuk syuting ditata berkelap-kelip menggunakan lampion-lampion merah dengan kaligrafi Tionghoa. Untuk lokasi syuting, tim artistik Ca-bau-kan mencari rumah-rumah kuno di Lasem, Ambarawa, Tay Kak Sie di Gang Lombok, Semarang. Perabotan dan Props untuk syuting, meja-meja dan kursi antik, dipinjam dari kolektor di Rembang, Lasem, dan juga Semarang untuk menambah keakuratan lokasi. Satu hal yang juga diingat dari pembuatan film ini adalah penggunaan kereta api tua yang masih sempat dijalankan lagi dalam adegan kedatangan Tan Peng Liang dan Tinung di Stasiun Semarang Tawang. Koran Tempo menulis bahwa film tersebut dikejar masa syuting 60 hari. Walaupun akhirnya tepat waktu, banyak lokasi syuting tidak memiliki fasilitas akomodasi memadai sehingga ditemui banyak kutu busuk dan kutu air.
Penggunaan musik tempo doloe juga diutamakan seperti adanya gambang kromong dan cokek, seperti lagu Dayung Sampan yang menggunakan lirik Tionghoa. Untuk bagian musik Nia Dinata berkonsultasi dengan sang penulis cerita, Remy Sylado, dan dengan Tan Beh Seng, ahli gambang kromong berusia 70 tahun lebih yang menguasai versi asli alat musik tersebut. Lagu akhir film ini, "Waktu Kan Menjawab" dan "Berakhir Di Cintamu" ditulis oleh Andi Rianto dan Sekar Ayu Asmara, di mana lagu pertama dibawakan oleh grup musik Warna.[3]