Cintamani[a] (Dewanagari: चिंतामणि; IAST: Cintāmaṇi ), adalah jenis permata atau mestika yang dapat mengabulkan harapan dalam kepercayaan Hindu dan Buddhis Mahayana, yang dapat dipadankan dengan batu filsuf dalam alkimia di Dunia Barat.[1] Cintamani merupakan salah satu dari beberapa mestika yang disebutkan dalam pustaka Buddhis.
Dalam kepercayaan Hindu, Cintamani berkaitan dengan Dewa Wisnu dan Ganesa. Dalam tradisi Hindu, Cintamani sering digambarkan sebagai mestika mulia milik Wisnu yang juga disebut Kostuba, atau melekat di dahi Nagaraja dan disebut pula Nagamani. Kitab Yogawasistha, yang pertama kali ditulis sekitar abad ke-10 Masehi, mengandung suatu cerita tentang Cintamani.[2] Kitab Wisnupurana mengandung kisah tentang suatu Cintamani yang disebut Syamantaka, memberikan kemakmuran bagi pemiliknya, merukunkan klan-klan bangsa Yadawa.[3]
Dalam kepercayaan Buddhis, Cintamani dibawa oleh para Bodhisatwa (makhluk suci dengan welas asih, kebijaksanaan, serta kekuatan yang agung), contohnya Awalokiteswara dan Ksitigarbha. Mestika itu juga diangkut oleh kuda angin (khiimori atau lung ta) yang tergambarkan dalam lambang Mongolia dan bendera doa di Tibet. Dengan merapalkan dharani (puji-pujian) tentang Cintamani, ajaran Buddha mengingatkan bahwa orang yang mencapai kebijaksanaan Buddha, memahami kebenaran Sang Buddha, dan mengubah penderitaan menjadi pencerahan. Dipercaya pula dapat membuat seseorang melihat para pengikut Amitabha pada saat menjelang ajal. Dalam tradisi Buddhisme di Tibet, Cintamani kadangkala digambarkan sebagai mutiara cemerlang dan dibawa oleh beberapa Buddha yang berbeda-beda.[4]
Di Jepang, kepercayaan Shinto mengasimilasi dewi Hindu Laksmi menjadi Kisshōten, dan biasanya digambarkan sedang membawa Cintamani.