Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Dampak penyakit koronavirus 2019 sejauh ini berbeda antara laki-laki dan perempuan, baik dari segi tingkat fatalitas akibat infeksi maupun pengaruhnya terhadap masyarakat.[1] Penelitian epidemiologis juga menunjukkan bahwa jenis kelamin, bersama dengan faktor usia dan komorbiditas, berhubungan dengan tingkat keparahan COVID-19.[2] Kematian akibat COVID-19 secara signifikan lebih tinggi pada pria. Rasio antara pria dan wanita yang terinfeksi COVID-19 berbanding tipis antara 1: 0,9.[3] Perbedaan ini bisa jadi disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain genetika, sosial, dan perilaku.[1]
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyakit virus memengaruhi laki-laki dan perempuan secara berbeda, hal ini dibuktikan dari penelitian tentang dampak gender dari Ebola, HIV, virus influenza, MERS, dan SARS.[4] Jumlah kematian pria dari SARS, MERS, dan sepsis akibat penyakit apapun dilaporkan lebih tinggi.[5]
Penyebab perbedaan dampak ini belum dapat diketahui secara pasti. Namun, ada kemungkinan dipicu oleh perbedaan kerentanan yang diakibatkan jenis kelamin secara biologis dan perilaku kesehatan berbasis gender, misalnya perilaku merokok dan kurang mencuci tangan pada pria.[6] Gaya hidup yang tidak sehat dapat menimbulkan penyakit penyerta, misalnya penyakit kardiovaskular dan diabetes, yang akhirnya bisa menimbulkan kematian pada pasien pria. Di samping itu, pengaruh sosial juga dapat memengaruhi perbedaan gender dalam hal risiko paparan dan infeksi. Perempuan mungkin lebih banyak bekerja di sektor jasa/fasilitas kesehatan, sedangkan laki-laki lebih banyak bekerja di bidang-bidang pekerjaan yang berisiko tinggi.[7] Di tataran global, kondisi kesehatan pria umumnya memang lebih buruk.[8] Kondisi ini diperparah dengan keyakinan, norma, sikap, dan stereotipe tentang maskulinitas yang dapat membahayakan kesehatan laki-laki. Sikap dan keyakinan ini menjadi penghambat sosial yang mencegah laki-laki mencari layanan medis saat sakit dan akhirnya menghadapi risiko yang lebih besar.[8] Dari sisi biologis, perempuan secara umum memiliki ketahanan fisik yang lebih baik, terlepas di masa pandemi ataupun tidak.[9]
Perempuan di seluruh dunia melakukan pekerjaan perawatan tak berupah tiga kali lebih besar daripada laki-laki.[10] Laporan Oxfam menyebutkan lebih dari tiga perempat dari total pekerjaan perawatan tak berbayar dilakukan oleh perempuan.[11][12] Dari wabah-wabah yang sebelumnya terjadi, perawatan di rumah menjadi beban paling tinggi dan kebanyakan yang berperan melakukan pengasuhan di rumah ketika ada anggota keluarga yang sakit adalah perempuan. Hal ini membuat mereka lebih rentan tertular.[1] Penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa perempuan selama pandemi COVID-19 menghabiskan antara 1,5 hingga 2 jam tambahan untuk melakukan tanggung jawab pengasuhan yang cenderung meningkat.[13]
Selain berdampak pada kesehatan fisik, pandemi juga dapat memengaruhi kondisi mental. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Israel, perempuan cenderung menunjukkan perilaku berhati-hati dan merasakan emosi negatif dibandingkan laki-laki selama masa pandemi COVID-19.[14] Riset di Britania Raya terhadap masyarakat dengan risiko klinis tinggi dan rentan secara ekonomi menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami tekanan emosional dibandingkan laki-laki.[15] Penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa pandemi juga memengaruhi kesehatan mental LGBTQ/transgender dan non-biner. Kondisi psikologis mereka juga diperburuk dengan berkurangnya layanan pendukung selama masa pandemi.[16]
Di seluruh dunia, perempuan lebih banyak bekerja di sektor non formal dan pekerjaan paruh waktu. Saat krisis, termasuk pandemi, perempuan lebih riskan terhadap pemutusan hubungan kerja dan mengalami kesulitan mendapatkan kembali pekerjaan ketika pandemi usai.[17] Faktor fisik, budaya, keamanan, dan kebutuhan sanitasi yang berbeda antara pria dan wanita juga memberikan pengalaman berbeda saat menjalani karantina.[18]
Pandemi dan wabah juga berkontribusi pada peningkatan kasus kekerasan domestik yang telah berlangsung lama di hampir seluruh dunia.[19] Kekerasan ini biasanya diiringi dengan ketidakamanan ekonomi dan peningkatan konsumsi alkohol.[19] Pembatasan fisik dan karantina menyulitkan perempuan untuk melarikan diri dan mencari pertolongan saat terjadi kekerasan dalam rumah tangga.[20] Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan adanya kenaikan kasus kekerasan berbasis gender di Palestina. Mereka juga memperingatkan bahwa pandemi akan cenderung lebih memengaruhi perempuan, memperburuk risiko dan kerentanan gender, serta memperbesar ketidaksetaraan.[19] Penelitian kasus gender terkait wabah HIV/AIDS di Afrika menunjukkan bahwa perempuan miskin, muda, dan dari latar belakang minoritas lebih rentan terhadap kekerasan.[21]
|doi=
(bantuan).
|doi=
(bantuan).
|pmid=
(bantuan).
|pmid=
(bantuan).