Dharanindra | |
---|---|
Srī Mahārāja Sanggrama Dhananjaya ( Menurut Prasasti Kelurak ) | |
Raja Sriwijaya ke-8 | |
Berkuasa | 784 - 802 |
Pendahulu | Maharaja Panangkaran |
Penerus | Samaratungga |
Kelahiran | Kalingga |
Pasangan |
|
Keturunan | |
Wangsa | Sailendra |
Agama | Buddha |
Dharanindra, atau kadang disingkat Indra, adalah seorang raja dari Keturunan Kerajaan Kalingga Jawa Wangsa Sailendra yang memerintah Sriwijaya sekitar tahun 782. Namanya ditemukan dalam prasasti Kelurak dengan disertai gelar Sri Sanggrama Dhananjaya. Tokoh ini dipercaya telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan Wangsa Sailendra sampai ke Semenanjung Malaya dan daratan Indocina.
- Pada tahun 784 M, Kota Kauthara direbut kembali oleh pasukan Champa yang dipimpin langsung oleh penguasanya, Maharaja Satyawarman. Armada Sriwijaya yang berjaga di sana pun mundur, namun dikejar terus oleh Satyawarman dan pasukannya hingga ke tengah Laut Champa (Laut Cina Selatan), dimana terjadi pertempuran sengit, yang dimenangkan oleh Champa. Satyawarman kemudian membangun kembali candi Po Nagar.
- Menyerang kembali kerajaan Champa. Dalam serangan tersebut pasukan Sriwijaya berhasil menduduki Panduranga, Salah satu kota pelabuhan terpenting di negeri tersebut. Namun tak berlangsung lama. (Prasasti Yang Tikuh, 787 M)
- Menggabungkan Provinsi Keling ke dalam provinsi Medang pada tahun 789 M.
- Menyelesaikan pembangunan Candi Sewu, pada tahun 792 M.
- Menaklukkan kerajaan Lavo, pada tahun 795 M.
- Mengadakan hubungan bilateral dengan kerajaan Nan Sarunai dan Tanjungpuri, pada tahun 800 M.
Nama Dharanindra terdapat dalam prasasti Kelurak tahun 782. Dalam prasasti itu ia dipuji sebagai Wairiwarawiramardana, atau "penumpas musuh-musuh perwira". Julukan yang mirip terdapat dalam Prasasti Nalanda, yaitu Wirawairimathana, dan Prasasti Ligor B yaitu Sarwwarimadawimathana.
Sejarawan Slamet Muljana menganggap ketiga julukan tersebut merupakan sebutan untuk orang yang sama, yaitu Dharanindra. Dalam prasasti Nalanda, Wirawairimathana memiliki putra bernama Samaragrawira, ayah dari Balaputradewa (raja Kerajaan Sriwijaya). Dengan kata lain, Balaputradewa adalah cucu Dharanindra.
Sementara itu Prasasti Ligor B yang memuat istilah Sarwwarimadawimathana menurut pendapat Sejarawan George Cœdès dikeluarkan oleh Maharaja Wisnu raja Sriwijaya. Prasasti ini dianggap lanjutan dari prasasti Ligor A, yang berangka tahun 775. Dalam hal ini Slamet Muljana berpendapat bahwa, hanya prasasti A saja yang ditulis tahun 775, sedangkan prasasti B ditulis sesudah Kerajaan Sriwijaya jatuh ke tangan Wangsa Sailendra.
Alasan Muljana adalah terdapat perbedaan tata bahasa antara prasasti A dan B, sehingga kedua prasasti itu menurutnya ditulis dalam waktu yang tidak bersamaan. Ia kemudian memadukannya dengan berita dalam Prasasti Po Ngar, bahwa Jawa pernah menjajah Kamboja (Chen-La) sampai tahun 802. Selain itu, Jawa juga pernah menyerang Campa tahun 787.
Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra sebagai raja Jawa telah berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya, termasuk daerah bawahannya di Semenanjung Malaya, yaitu Ligor. Prasasti Ligor B ditulis olehnya sebagai pertanda bahwa Wangsa Sailendra telah berkuasa atas Sriwijaya. Prasasti ini berisi puji-pujian untuk dirinya sebagai penjelmaan Wisnu. Daerah Ligor kemudian dijadikannya sebagai pangkalan militer untuk menyerang Campa tahun 787 dan juga Kamboja.
Penaklukan terhadap Sriwijaya, Ligor, Campa, dan Kamboja ini sesuai dengan julukan Dharanindra, yaitu "penumpas musuh-musuh perwira". Kamboja sendiri akhirnya berhasil merdeka di bawah pimpinan Jayawarman tahun 802. Mungkin saat itu Dharanindra telah meninggal dunia.
Dalam teorinya, George Coedes menganggap Maharaja Wisnu merupakan ayah dari Dharanindra. Sementara itu, Slamet Muljana menganggap Wisnu dan Dharanindra merupakan orang yang sama. Selain karena kemiripan julukan, juga karena kemiripan arti nama. Wisnu dan Dharanindra menurutnya sama-sama bermakna “pelindung jagad”.
Menurut George Coedes :
Didahului oleh: Maharaja Wisnu |
Raja Wangsa Sailendra ? – 782 - ? |
Diteruskan oleh: Samaratungga |
Menurut Van Naerrsen :
Menurut teori van Naerrsen, Rakai Panangkaran adalah anggota Wangsa Sanjaya yang menjadi bawahan raja Sailendra. Nama raja Sailendra itu kemudian ditemukan dalam prasasti Kelurak (782), yaitu Dharanindra. Dengan kata lain, Dharanindra adalah atasan Rakai Panangkaran.
Menurut Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto :
Didahului oleh: Sanjaya |
Raja Wangsa Sailendra ? – 782 - ? |
Diteruskan oleh: Samaratungga |
Menurut teori Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto, Wangsa Sanjaya tidak pernah ada karena tidak pernah disebutkan dalam prasasti mana pun. Sanjaya dan Rakai Panangkaran merupakan anggota Wangsa Sailendra namun berbeda agama. Sanjaya beragama Hindu Siwa, sedangkan Rakai Panangkaran adalah putranya yang berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahayana.
Teori ini menolak anggapan bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Wangsa Sailendra, karena ia sendiri dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) dalam prasasti Kalasan (778). Jadi, yang dimaksud dengan "para guru raja Sailendra" tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri. Prasasti Kalasan dan prasasti Kelurak hanya berselisih empat tahun, jadi kemungkinan besar dikeluarkan oleh raja yang sama. Dengan kata lain, Dharanindra adalah nama asli Rakai Panangkaran.
Menurut Slamet Muljana :
Didahului oleh: Rakai Panangkaran |
Raja Medang (periode Jawa Tengah) ? – 782 - ? |
Diteruskan oleh: Rakai Warak |
Menurut teori Slamet Muljana, Rakai Panangkaran bukan putra Sanjaya. Keduanya berasal dari dua dinasti yang berbeda. Rakai Panangkaran adalah anggota Wangsa Sailendra yang berhasil merebut takhta Kerajaan Medang dan mengalahkan Wangsa Sanjaya. Jika ia hanya menjadi raja bawahan saja, maka ia tidak mungkin bergelar maharaja dan dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka. Sementara itu, menurut prasasti Kalasan, nama asli Rakai Panangkaran adalah Dyah Pancapana, jadi tidak mungkin sama dengan Dharanindra. Dengan kata lain, Dharanindra adalah raja pengganti Rakai Panangkaran.
Dalam prasasti Mantyasih diketahui nama raja Kerajaan Medang sesudah Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan. Jadi, menurut teori Slamet Muljana, Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan.
Gabungan teori Pusponegoro – Notosutanto dan Slamet Muljana :
Didahului oleh: Maharaja Panangkaran |
( Raja Sriwijaya ke-8 ) 784 - 802 |
Diteruskan oleh: Samaratungga |