Diskriminasi kehamilan

Diskriminasi kehamilan adalah salah satu tipe diskriminasi terhadap pekerja perempuan yang sedang hamil, perempuan hamil yang hendak melamar kerja, atau perempuan yang hendak merencanakan kehamilan.

Penelitian menyebutkan bahwa diskriminasi terhadap ibu yang sedang hamil secara tidak langsung dapat mengakibatkan penurunan kesehatan fisik dan mental. Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita menyatakan pelarangan terhadap segala bentuk pemutusan kerja yang didasari atas alasan kehamilan dan memastikan penjaminan terhadap hak sosial termasuk di antaranya cuti berbayar.

Diskriminasi Kehamilan di Tempat Kerja

[sunting | sunting sumber]

Diskriminasi kehamilan di tempat kerja yang paling sering ditemukan antara lain:

  • Pemutusan hubungan kerja karyawan dengan alasan kehamilan.
  • Penolakan saat hendak melamar kerja dalam kondisi hamil,
  • Diberhentikan atau mendapat perlakuan kurang menyenangkan setelah memberitahukan kehamilan pada pemberi kerja,
  • Diberhentikan setelah cuti melahirkan.[1]
  • Penolakan terhadap kenaikan pangkat atau pemindahan dengan menjadikan kehamilan sebagai alasan.
  • Penolakan penyediaan akomodasi memadai pada pekerja perempuan yang hamil.
  • Tidak menyediakan ruang laktasi terhadap ibu menyusui.

Cara Mengatasi

[sunting | sunting sumber]

Diskriminasi kehamilan dapat dicegah dengan:[2]

  • Mengajukan pengaduan ke EEOC; dan bekerja melalui konsiliasi (pertemuan perdamaian) untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kesepakatan damai dapat mencakup kompensasi uang, surat permintaan maaf, penerapan aturan kesetaraan kesempatan oleh dunia usaha, atau penghentian perlakuan yang tidak diinginkan.
  • Dalam hal konsiliasi (pertemuan perdamaian) gagal, meminta bantuan hukum.

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Perempuan Hamil di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Hukum di Indonesia yang khusus melindungi hak-hak perempuan hamil dan ibu menyusui dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 antara lain:

  • Perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap ibu hamil dan menyusui. Diatur dalam Pasal 153 ayat (1) huruf e.
  • Perusahaan wajib memberikan cuti hamil sekurang-kurangnya tiga bulan. Diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2013. [3]
  • Perusahaan wajib membayarkan upah secara penuh selama karyawan mengambil hak cuti hamil. Diatur dalam Pasal 84 UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ M.H, Nafiatul Munawaroh, S. H.; Hukumonline (2018-07-07). "Bolehkah PHK Karyawan Cuti Melahirkan karena Efisiensi?". www.hukumonline.com. Diakses tanggal 2024-05-11. 
  2. ^ "Diskriminasi Kehamilan" (PDF). Equal Opportunities Commission. 
  3. ^ M.H, Nafiatul Munawaroh, S. H.; Hukumonline (2018-07-07). "Hak dan Perlindungan bagi Pekerja yang Hamil". www.hukumonline.com. Diakses tanggal 2024-05-11.