Dunia Melayu atau Alam Melayu (Jawi: دنيا ملايو atau عالم ملايو) adalah sebuah konsep atau ungkapan yang telah digunakan oleh penulis dan kelompok yang berbeda dari waktu ke waktu untuk menunjukkan beberapa pengertian yang berbeda, yang berasal dari beragam interpretasi mengenai Kemelayuan, baik sebagai kelompok rasial, sebagai suatu kelompok linguistik, atau sebagai kelompok kultural politik. Penggunaan istilah "Melayu" di sejumlah besar konseptualisasi terutama didasarkan pada pengaruh budaya Melayu lazim, yang terwujud secara khusus melalui penyebaran bahasa Melayu di Asia Tenggara seperti yang diamati oleh kekuatan kolonial yang berbeda selama Zaman Penjelajahan.[1]
Sebagai alternatif, para sarjana modern memperbaiki gagasan dunia Melayu yang diperluas ini, alih-alih mendefinisikannya sebagai suatu area politik dan budaya. Dalam konteks ini, dunia Melayu direduksi menjadi suatu kawasan yang merupakan tanah air bagi orang-orang Melayu, yang secara historis diperintah oleh kesultanan-kesultanan Melayu yang berbeda, di mana berbagai dialek bahasa Melayu dan nilai budayanya adalah dominan. Daerah ini meliputi Semenanjung Malaya, daerah pesisir Sumatra dan Kalimantan, dan pulau-pulau kecil di antaranya.[4][5][6]
Penggunaan konsep ini yang paling menonjol adalah pada awal abad ke-20, yang dianut dengan gaya iredentis, oleh para nasionalis Melayu dalam bentuk "Indonesia Raya (politik)" (Melayu Raya), sebagai aspirasi untuk perbatasan "alami" atau yang diinginkan dari sebuah bangsa modern bagi ras Melayu. Istilah "Alam Melayu" tidak ada sebelum abad ke-20. Sastra-sastra Melayu klasik seperti Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah tidak menyebutkan istilah semacam ini. Istilah ini baru berkembang setelah tahun 1930, dengan contoh pertama yang tercatat berasal dari Majalah Guru, sebuah majalah bulanan negeri Malaya, dan koran Saudara, yang diterbitkan di Penang dan beredar di seluruh Negeri-Negeri Selat. Istilah "Alam Melayu" berkembang dan menjadi populer setelah munculnya gerakan nasionalisme Melayu pada perempat kedua abad ke-20.[7][8]
Amin Sweeney (2011), Pucuk Gunung Es : Kelisanan dan Keberaksaraan Dalam Kebudayaan Melayu-Indonesia, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), ISBN978-979-9103-65-9
Andaya, Leonard Y. (2008), Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaka, New York: University of Hawaii press, ISBN978-0-8248-3189-9
Barnard, Timothy P. (2004), Contesting Malayness: Malay identity across boundaries, Singapore: Singapore University press, ISBN9971-69-279-1
Benjamin, Geoffrey; Chou, Cynthia (2002), Tribal Communities in the Malay World: Historical, Cultural and Social Perspectives, Institute of Southeast Asian Studies, ISBN978-981-230-166-6
Bunnell, Tim (2004), "From nation to networks and back again: Transnationalism, class and national identity in Malaysia", State/Nation/Transnation: Perspectives on Transnationalism in the Asia Pacific, Routledge, ISBN0-415-30279-X