Eksodus Palestina 1967 mengacu pada larinya sekitar 280.000 hingga 325.000 orang Palestina[1] keluar dari wilayah-wilayah yang direbut oleh Israel selama dan setelah Perang Enam Hari, termasuk penghancuran desa-desa Palestina di Imwas, Yalo, dan Bayt Nuba, Surit, Beit Awwa, Beit Mirsem, Shuyukh, Al-Jiftlik, Agarith, dan Huseirat dan "pengosongan" kamp-kamp pengungsi Aqabat Jaber dan ʿEin as-Sultan.[2] Sekitar 145.000 orang dari pengungsi Palestina tahun 1967 merupakan pengungsi dari Perang Palestina 1948.[3] Pada Desember 1967, 245.000 orang telah melarikan diri dari Tepi Barat dan Jalur Gaza selanjutnya menuju Yordania, 11.000 orang telah melarikan diri dari Jalur Gaza selanjutnya menuju Mesir dan 116.000 orang Palestina dan Suriah telah melarikan diri dari Dataran Tinggi Golan selanjutnya menuju Suriah.[3]
Sebuah Komite Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa memperoleh kabar dugaan penghancuran lebih dari 400 desa Arab, tetapi tidak ada bukti yang menguatkan yang diberikan kepada Komite Khusus untuk menyelidiki praktik-praktik Israel yang berdampak pada hak asasi manusia dari penduduk wilayah yang diduduki.[4]
Hingga tahun 1967, kira-kira separuh dari seluruh warga Palestina masih hidup dalam batas-batas bekas Mandat Palestina, tetapi mayoritas tinggal di luar wilayah tersebut sejak tahun 1967.[3]
Sebuah laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1971 menyatakan bahwa: "Berdasarkan kesaksian yang ditemukan atau diperoleh dalam penyelidikannya, Komite Khusus telah sampai pada kesimpulan bahwa Pemerintah Israel dengan sengaja melaksanakan kebijakan yang ditujukan untuk mencegah penduduk dari wilayah yang diduduki untuk kembali ke rumah mereka dan memaksa mereka yang berada di rumah mereka di wilayah yang diduduki untuk pergi, baik dengan cara langsung seperti deportasi atau secara tidak langsung melalui upaya untuk merusak semangat mereka atau melalui tawaran bujukan khusus, semua dengan sasaran akhir untuk pencaplokan dan pemukiman wilayah yang diduduki. Komite Khusus menganggap tindakan Pemerintah Israel dalam dukungannya terhadap kebijakan-kebijakan ini merupakan pelanggaran paling serius terhadap hak asasi manusia yang menjadi perhatiannya. Bukti menunjukkan bahwa situasi ini telah memburuk sejak misi terakhir dari Komite Khusus pada tahun 1970".[5]
Setelah unit peperangan psikologis mendatangi Qalqilya dan banyak penduduk telah mengungsi, perwakilan PBB Nils-Göran Gussing mencatat bahwa 850 dari 2.000 rumah di kota itu dihancurkan.[6]