Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Elang dan Burung Bulbul adalah salah satu fabel paling awal yang tercatat dalam bahasa Yunani dan muncul dalam berbagai variasi cerita sejak zaman Klasik. Versi aslinya diberi nomor 4 dalam Perry Index dan versi Aesop yang lebih baru, kisah ini kadang-kadang diberi judul "Elang, Burung Bulbul, dan Penangkap Burung", dan diberi nomor cerita 567. Kisah ini dimulai sebagai refleksi dari penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang dan akhirnya beralih menjadi sebuah kisah dengan pelajaran dalam penggunaan sumber daya dengan bijaksana.
Pada zaman Renaisans sejumlah penulis Neo-Latin mencatat versi alternatif dari fabel dengan interpretasi yang berbeda. Beberapa diantaranya seperti karya Laurentius Abstemius Accipiter et Luscinia cantum pollicens pada akhir abad ke-15,[1] puisi Hieronymus Osius De Accipitre et Luscinia (1574)[2] dan tiga puisi oleh Pantaleon Candidus dalam 150 Fabulae (1604).[3]
Dalam dongeng-dongeng ini, burung bulbul menawarkan untuk memberi balas budi kepada elang atas pengampunannya dengan bernyanyi. Tapi elang menjawab dengan pragmatis bahwa 'Aku lebih suka engkau mengenyangkan perutku, karena aku bisa hidup tanpa lagumu, tapi aku tak bisa hidup tanpa makanan.' Versi ini adalah versi yang diubah La Fontaine menjadi Le milan et le rossignol (Elang dan burung bulbul, Fabel IX.17),[4] yang berakhir dengan pepatah 'Perut kosong itu tak memiliki telinga'. Burung bulbul mempersembahkan sebuah lagu yang berdasarkan mitos aslinya membuatnya diampuni oleh elang, tetapi rayuan bulbul ditolak elang karena tidak bisa dimakan. Episode tersebut menjadikan fabel ini sebagai pernyataan terhadap ketidakberwujudan seni sebagai pelajaran akan kepraktisan hidup. Pepatah tersebut berasal dari zaman Klasik, yang dicatat oleh Erasmus dalam Adagia-nya yang berasal dari "Life of Cato" karya Plutarch.[5] Sudut pandang yang sama mendasari dongeng Aesop lainnya yang berhubungan dengan penggunaan kekuasaan secara tirani, seperti Serigala dan Anak Domba, di mana tipu daya dan rayuan ditolak di hadapan kelaparan.