Epidemiologi genetik adalah studi mengenai peran faktor genetik dalam menentukan kesehatan dan penyakit di dalam keluarga dan populasi, dan interaksi faktor genetik tersebut dengan faktor lingkungan. Epidemiologi genetik berusaha untuk memperoleh analisis statistik dan kuantitatif tentang bagaimana peran genetika dalam sampel kelompok yang besar.[1]
Penggunaan istilah Epidemiologi genetik muncul pada pertengahan 1980-an sebagai bidang ilmu baru.
Dalam bahasa formal, epidemiologi genetik didefinisikan oleh Newton Morton, salah satu pelopor bidang ilmu ini, sebagai "ilmu yang berhubungan dengan etiologi, distribusi, dan pengendalian penyakit dalam kelompok yang berkerabat dan dengan penyebab penyakit yang diturunkan di dalam populasi".[2] Bidang ilmu ini terkait erat dengan epidemiologi molekuler dan genetika statistik, tetapi bidang yang tumpang tindih ini masing-masing memiliki penekanan, komunitas ilmiah, dan jurnal yang berbeda.[1]
Salah satu definisi bidang ilmu ini mengikuti definisi genetika perilaku, mendefinisikan epidemiologi genetik sebagai "disiplin ilmiah yang berurusan dengan analisis distribusi sifat-sifat familial, dengan maksud untuk memahami kemungkinan penyebabnya secara genetik", dan yang "berusaha memahami faktor genetik dan lingkungan dan bagaimana mereka berinteraksi hingga menyebabkan berbagai penyakit dan karakter pada manusia".[3] BMJ mengadopsi definisi serupa, "Epidemiologi genetik adalah studi tentang etiologi, distribusi, dan pengendalian penyakit dalam kelompok yang berkerabat dan penyebab penyakit yang diturunkan dalam populasi."[4]
Pada awal abad ke-4 SM, Hippocrates menyarankan dalam esainya "On Airs, Waters, and Places" bahwa faktor-faktor seperti perilaku dan lingkungan mungkin berperan dalam pembentukan penyakit. Epidemiologi memasuki fase yang lebih sistematis dengan terbitnya karya John Graunt, yang pada tahun 1662 mencoba menghitung angka kematian di London menggunakan pendekatan statistik, mentabulasi berbagai faktor yang menurutnya berperan dalam angka kematian. John Snow dianggap sebagai bapak epidemiologi, dan merupakan orang pertama yang menggunakan statistika untuk menemukan dan membasmi penyebab penyakit, khususnya wabah kolera pada tahun 1854 di London. Dia menyelidiki kasus kolera dan memplotnya ke peta yang mengidentifikasi penyebab kolera yang paling mungkin, yang terbukti merupakan sumur air yang terkontaminasi.
Genetika modern dimulai dengan berbasis karya Gregor Mendel. Begitu hasil karyanya diketahui secara luas, ilmunya mendorong sebuah revolusi dalam studi hereditas di seluruh kerajaan hewan; dengan studi yang menunjukkan transmisi genetik dan kontrol atas karakteristik dan sifat. Karena variasi gen terbukti mempengaruhi penyakit, upaya dimulai pada kuantifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit, dan pada abad ke-20 upaya tersebut semakin dipercepat. Periode yang dimulai sejak perang dunia kedua melihat kemajuan terbesar di bidang ini, dengan ilmuwan seperti Newton Morton membantu membentuk bidang epidemiologi genetik seperti yang dikenal sekarang, dengan penerapan genetika modern pada studi statistik mengenai penyakit, serta pembentukan studi epidemiologi skala besar seperti Framingham Heart Study.[5]
Pada tahun 1960-an dan 1970-an, epidemiologi berperan dalam strategi pemberantasan cacar yang terjadi secara alami di seluruh dunia.[6]
Secara tradisional, studi tentang peran genetika dalam penyakit berkembang melalui perancangan studi berikut ini, yang masing-masing menjawab pertanyaan yang sedikit berbeda:[7]
Pendekatan tradisional ini terbukti sangat berhasil dalam mengidentifikasi gangguan monogenik dan menemukan gen yang bertanggung jawab.
Baru-baru ini, ruang lingkup epidemiologi genetik telah diperluas untuk mencakup penyakit umum dimana banyak gen masing-masing memberikan kontribusi yang lebih kecil (gangguan poligenik, multifaktorial atau multigenik). Bidang ilmu ini telah berkembang pesat pada dekade pertama abad ke-21 setelah selesainya Proyek Genom Manusia, karena kemajuan dalam teknologi genotipe dan berkurangnya biaya terkait teknologi ini telah memungkinkan untuk dilakukannya studi asosiasi genom skala besar yang genotipenya sebanyak ribuan polimorfisme nukleotida tunggal dalam ribuan individu. Semua ini telah menyebabkan penemuan banyak polimorfisme genetik yang mempengaruhi risiko berkembangnya banyak penyakit umum. Epidemiologi genetik juga dapat dipengaruhi oleh adanya tekanan evolusioner yang menginduksi seleksi negatif selama evolusi molekuler. Seleksi negatif ini dapat ditentukan dengan melacak kecondongan distribusi mutasi dengan efek yang diduga parah dibandingkan dengan distribusi mutasi dengan efek yang diduga ringan atau tidak ada.[8]