Artikel ini membutuhkan judul dalam bahasa Indonesia yang sepadan dengan judul aslinya. |
Flameout mengacu pada kegagalan mesin jet yang disebabkan oleh sedikitnya nyala api di ruang bakar.
Hal ini dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk sedikitnya bahan bakar, kompresor stal, pasokan oksigen kurang cukup, kerusakan karena benda asing (seperti burung, hujan es atau bahkan abu vulkanik), cuaca buruk yang parah, dan kegagalan mekanik.[1] [2]
Fenomena engine flameout atau diterjemahkan harafiah dalam bahasa Indonesia adalah mesin mati, merupakan bagian dari kegagalan mesin (engine failure) tetapi bukan kegagalan akibat masalah teknis dan menjadi mimpi buruk bagi setiap penerbangan.Sejak diperkenalkan pertama kali awal 1940-an, mesin jet merupakan tonggak kemajuan dunia penerbangan. Tidak serta merta langsung meluas aplikasinya karena berteknologi lebih kompleks, tetapi segera disadari banyak keunggulan dibanding mesin piston baling-baling. Gaya dorong yang begitu besar dapat membuat pesawat terbang lebih cepat, lebih jauh, dan lebih tinggi.
Mesin jet memiliki prinsip kerja sesuai Hukum Newton III, aksi berupa gas bertekanan tinggi yang dibakar dan keluar melewati pipa pembuangan (exhaust) yang menimbulkan reaksi menggerakan pesawat maju. Cara kerja mesin jet adalah kompresor yang berada didepan menyedot udara lalu dimapatkan. Udara mampat bertekanan tinggi ini masuk kedalam ruang bakar (combustion chamber) untuk dicampur dengan uap bahan bakar, dibakar dengan loncatan listrik. Turbin yang terletak di bagian belakang akan berputar akibat tekanan campuran udara dan bahan bakar yang mengembang dan sangat panas. Turbin berada dalam satu poros dengan kompresor. Sehingga saat turbin berputar kompresor juga turut berputar untuk kembali menyedot udara.
Perbandingan udara dengan bahan bakar adalah kira-kira sebesar 14.7:1. Terlihat bahwa udara yang dibutuhkan jelas jauh lebih banyak. Mesin jet memang dikenal rakus dan rentan terhadap pasokan udara. Untuk dapat mesin jet tetap bekerja diperlukan tiga hal penting yaitu: bahan bakar, udara, dan panas. Jika salah satu tidak ada atau tidak seimbang entah terlalu banyak atau terlalu sedikit bahkan tidak ada sama sekali, maka mesin mengalami gangguan dan tidak ditanggulangi secepatnya dapat dipastikan akan flameout.
Kasus pendaratan darurat Flight 421 Boeing 737 Garuda Indonesia tahun 2002 di Sungai Bengawan Solo adalah kasus kebutuhan keseimbangan akan panas. Akibat hujan badai, mesin mengalami pendinginan ekstrem bahkan menimbulkan butir-butir es pada mesin. Mesin menjadi terlalu dingin dan tidak bisa bekerja dengan baik menghasilkan pembakaran yang sempurna sehingga akhirnya menyebabkan flameout pada kedua mesin. Satu crew meninggal tetapi seluruh penumpang sebanyak 59 orang selamat
Kasus berikutnya adalah melibatkan kebutuhan keseimbangan akan udara yaitu penerbangan malam hari, “Speedbird 9” Boeing 747 British Airways tahun 1982 saat terbang diatas Samudra Hindia. Tanpa disadari pesawat masuk ke gumpalan awan debu vulkanis Gunung Galunggung yang baru saja meletus beberapa hari sebelumnya. Udara bercampur dengan debu yang sangat pekat, apalagi saat itu terbang pada ketinggian 37,000 kaki, ketinggian dimana udara juga sangat tipis. Keempat mesin mengalami flameout. Beruntung pilot berhasil menyalakan kembali tiga dari empat mesin saat turun ke ketinggian 14,000 kaki dan mendarat darurat dengan mulus di Halim Perdanakusuma, Jakarta. Untuk kasus kebutuhan bahan bakar sangat jelas sama seperti mesin pada umumnya. Jika bahan bakar tidak cukup alias kehabisan bahan bakar maka mesin jet akan flameout. Kasus Flight 143 Air Canada Boeing 767 tahun 1983 dan kasus Flight 236 Air Transat Airbus A330 tahun 2001 adalah contohnya. Dua-duanya murni karena sebab teknis. Yang pertama akibat kecerobohan dalam pengisian bahan bakar, sedangkan yang terakhir kesalahan prosedur perawatan saluran bahan bakar. Pada kedua kasus ini tidak menimbulkan korban jiwa.
Mesin jet sekarang sangat handal jauh berbeda dengan pendahulunya saat pertama kali diperkenalkan. Ini adalah buah mahakarya penelitian bertahun-tahun dan memakan biaya sangat mahal. Banyak penelitian dilakukan mulai dari inovasi efisiensi bilah kompresor dan turbin, perbaikan sistem pembakaran bahkan termasuk riset material mengingat mesin beroperasi pada suhu sangat panas sekitar 1,000-2,000 derajat Celcius. Tidak heran produsen mesin jet di dunia sangat sedikit, jauh lebih sedikit dari produsen pesawat terbang.
Kejadian flameout sangat kecil terjadi pada pesawat komersial jika dibandingkan pada pesawat jet tempur. Mengapa ? Itu karena desain penempatan mesin yang berbeda. Mesin jet pesawat komersial biasa diletakkan pada pod yang tergantung entah pada sayap atau di ekor. Meskipun menimbulkan hambatan (drag), ini adalah sebuah kompromi agar badan pesawat maksimal dimanfaatkan tiap sudut ruangannya untuk angkut barang atau penumpang. Sedangkan mesin jet pada pesawat tempur diletakkan jauh di dalam dan di belakang badan pesawat agar kemampuan daya dorong tetap maksimum dan lebih aerodinamis. Untuk itu diperlukan saluran udara (air duct) yang bersiku dan cukup panjang agar dapat mencapai mesin. Udara menempuh perjalanan berliku sehingga bisa menimbulkan masalah jika pesawat melakukan maneuver ekstrem. Memang sudah sifatnya pesawat tempur melakukan maneuver ekstrem. Belum lagi jika tidak berhati-hati akan menimbulkan kompresor stall. Arti stall adalah kehilangan daya angkat akibat aliran udara tidak mengalir mulus, sebuah istilah yang biasa dipakai untuk aerofoil pada sayap. Bilah-bilah kipas kompresor juga berupa aerofoil sehingga kompresor stall mengacu pada ketidak mampuan kompresor menghisap udara dengan baik sehingga menyebabkan ketidakseimbangan pasokan udara ke mesin.
Belum lagi sifat pesawat tempur yang memiliki daya tanjak yang juga ekstrem, sanggup terbang dari ketinggian 0 feet sampai 50,000 feet dalam waktu kurang dari semenit. Tidak heran desain material mesin jet pesawat tempur dirancang khusus, berbeda dengan pesawat komersial agar tahan suhu ekstrem yang datang mendadak.
Fenomena flameout akibat ketidakseimbangan tiga faktor itu sudah diperingati sejak dini oleh penemunya Frank Whittle dan Hans von Ohain Mesin jet primitif berumur pendek seperti Jumo 004 yang dipakai pada pesawat tempur jet pertama Messerschmitt Me-262 dikenal sangat tempramental.
Pilot harus sangat berhati-hati untuk mengatur posisi tuas pengatur daya dorong mesin. Jika lambat bereaksi maka berpengaruh pada keseimbangan pasokan bahan bakar yang terlalu sedikit. Jika cepat bereaksi maka mesin akan cepat panas apalagi kualitas tahan panas material saat itu belum sebaik sekarang. Mesin jet bisa flameout atau lebih fatal, bisa terbakar dan meledak ! Tapi itu semua kisah masa lalu. Sekarang ini kualitas mesin jet jauh lebih baik. Belum lagi inovasi FADEC yang diperkenalkan satu dekade lalu. FADEC kepanjangan dari Full Authority Digital Engine Control adalah pengontrol mesin secara elektronik. Komputer akan mengatur dan mengawasi segala aspek mesin jet saat beroperasi setiap detik. Benar-benar sebuah alat yang sangat memanjakan pilot. Pilot dapat tenang mengatur tuas daya dorong mesin tanpa perlu mengawasi lekat-lekat kondisi mesin setiap saat ataupun khawatir akan mengalami gangguan. Walaupun demikian FADEC memang tidak bisa 100% menjamin mesin bebas flameout. Kejadian buruk bisa saja dapat terjadi dan pilot harus tetap waspada akan fenomena engine flameout ini yang selalu mengintai pada setiap penerbangan.