Gagok adalah seni menyanyi lagu tradisional Korea.[1]
Gagok diciptakan pada periode Dinasti Joseon akhir (abad ke-16). Pada masa ini, para penikmat seni yang terdiri dari kaum bangsawan, sering berkumpul bersama-sama untuk menulis puisi dan menciptakan lagu. Pada mulanya seni menyanyi ini dinamakan Mandaeyeob, yang dikenal dengan tempo lambat. Mandaeyeob kemudian berkembang menjadi dua, Jungdaeyeob (tempo medium) dan Sakdaeyeob (tempo cepat). Pada akhir abad ke-17, Sakdaeyeob menjadi lebih populer dibanding 2 gaya menyanyi lain, sehingga sampai abad ke-19, hanya jenis Sakdaeyeob yang bertahan. Bersama musik Yeongsanhoesang, Sakdaeyeob menjadi hiburan musik terpopuler di pungnyubang, tempat hiburan eksklusif kaum bangsawan Joseon. Sakdaeyeob inilah yang menjadi dasar gagok yang dinyanyikan hingga kini. Sejarah gagok dapat ditelusuri lewat berbagai buku musik kuno yang ditulis antara tahun 1570-an sampai 1870-an.
Gagok dikategorikan sebagai jeongga ("lagu pantas") yang hanya dipentaskan oleh bangsawan pada masa Dinasti Joseon, baik oleh pria maupun wanita.[2]
Saat ini, masih tersisa 41 buah lagu gagok, yang terdiri dari 26 buah lagu untuk suara pria dan 15 untuk suara wanita.[3]
Walaupun berkembang dari tempo menyanyi Sakdaeyeob yang cepat, gagok termasuk genre musik Korea yang paling lambat. Gagok (歌曲) bermakna "lagu" dan dijuluki 歌永言 (gayeongeon), "menyanyi dengan berbicara lambat-lambat".
Lirik gagok adalah 3 baris puisi sijo yang dinyanyikan dalam dua buah nada, pyeongjo (atau ujo) dan gyemyeonjo. Ujo dan gyemyeonjo menyerupai mayor dan minor di musik barat.[3] Repertoar gagok dapat dibagi berdasarkan ketukan (jangdan). Beberapa lagu dinyanyikan dalam 16 ketukan dan lainnya 10 ketukan. Saat dinyanyikan, 3 baris puisi berubah menjadi lagu panjang 5 stanza.[3]
Setiap pementasan terdiri dari 5 babak (jang) yang diiringi musik. Awal pertunjukkan ditandai dengan musik pembuka (prelude/daeyeoeum). Lagu mulai dinyanyikan sampai 3 stanza pertama. Pada saat jeda, penyanyi akan istirahat sejenak sementara musik dimainkan (interlude/jungyeoeum). Setelah itu penyanyi akan membawakan 2 buah stanza terakhir yang diakhiri dengan permainan musik penutup. Berikut ini adalah salah satu lirik lagu pria yang berjudul Byeoksachang (벽사창):
碧紗窓이 어른어른 커늘 | Byeoksachangi eoreun eoreun kkeoneul |
임만여겨 펄떡 뛰어 나가보니 | Immanyeogyeo peoltteok ttwieo nagaboni |
임은 아니오고 | Imeun aniogo |
明月이 滿庭한데 | Myeongwori manjeonghande |
벽오동 젖은 잎에 | Byeokodong jeojeun ipe |
鳳凰이 와서 | Bonghwangi waseo |
긴 목을 휘어다가 | Gin mogeul hwieodaga |
깃 다듬는 그림자로다 | Git dadeumneun keurimjaroda |
마초아 밤일새 망정 | Machoa bamilsae mangjeong |
낮이런들 남우일변 하여라 | Najireondeul namuilbyeon hayeora |
Terjemahan bebas: Ketika ada bayang-bayang di jendela yang dilapisi kertas (byeoksachang), aku bergegas keluar untuk melihat apakah ia adalah kekasih yang telah lama kutunggu-tunggu. Namun, di bulan purnama, di dedaunan pohon paulonia, bertengger fenghuang sedang membersihkan bulu-bulunya. Untung pada saat itu malam, kalau tidak orang-orang akan menertawai perilaku anehku.
Musik yang mengiringi nyanyian gagok dimainkan dari alat musik tiup dan petik oleh pemusik yang duduk di bagian belakang penyanyi.[2] Alat musik yang dimainkan antara lain geomungo (kecapi 6 senar), gayageum (kecapi 12 senar), yanggeum (kecapi barat), sepiri (suling buluh kecil), daegeum (suling besar), danso (suling pendek), haegeum (rebab), dan janggu (gendang panjang).[2]
Saat ini, seniman-seniman yang mewarisi keterampilan menyanyi gagok tidak banyak. Masyarakat Korea Selatan pun banyak yang tidak mengetahui kesenian ini, padahal gagok adalah karya musik pertama Korea yang masuk nominasi Penghargaan Grammy. Pelestarian gagok dilakukan oleh organisasi musik tradisional National Center for Korean Traditional Performing Arts di Seoul dan berbagai sekolah musik di daerah-daerah. Tiga orang penyanyi senior yang mewariskan gagok adalah Kim Gyeong-bae, Kim Yeong-gi, dan Cho Sun-ja.
Pada tahun 2010, kesenian ini mendapat pengakuan internasional dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia oleh UNESCO.