Gatot Soebroto

Gatot Soebroto
Gatot Soebroto saat berpangkat kolonel
Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jabatan ke-2
Masa jabatan
1956–1962
Sebelum
Pendahulu
Kolonel Inf Zulkifli Lubis
Polisi Militer Angkatan Darat Indonesia Jabatan ke-3
Masa jabatan
1948–1949
Sebelum
Pengganti
Kolonel CPM A.Y. Mokoginta
Informasi pribadi
Lahir(1907-10-10)10 Oktober 1907
Purwokerto, Banyumas, Hindia Belanda
Meninggal11 Juni 1962(1962-06-11) (umur 54)
Jakarta, Indonesia
Partai politikIPKI
Pendidikan
AlmamaterKNIL
Pekerjaan
  • Wakil Kepala Staff Angkatan Darat (1953)
  • Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro Semarang
  • Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya (1945—1950)
  • Panglima Corps. Polisi Militer (1945—1950)
  • Panglima Divisi II (1945—1950)
  • Komandan Batalyon
  • Komandan Kompi, Sumpyuh, Banyumas
  • Anggota KNIL (Tentara Hindia Belanda)
  • Pegawai pemerintah
Dikenal karenaPahlawan Nasional
Penghargaan sipilPahlawan Kemerdekaan Nasional [note 1]
Karier militer
Pihak
Dinas/cabang TNI Angkatan Darat
Masa dinas1925–1962
Pangkat Jenderal TNI
SatuanInfanteri
Pertempuran/perangRevolusi Nasional Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Jenderal TNI Gatot Soebroto (10 Oktober 1907 – 11 Juni 1962) adalah tokoh perjuangan militer Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan juga pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Banyumas. Ia dimakamkan di Ungaran, kabupaten Semarang.

Riwayat hidup

[sunting | sunting sumber]

Setamat pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Gatot Subroto tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tetapi memilih menjadi pegawai. Namun tak lama kemudian pada tahun 1923 memasuki sekolah militer het Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL) di Magelang. Sempat menjadi sersan kelas II saat dikirim di Padang Panjang selama lima tahun, Gatot Subroto kemudian dikirim ke Sukabumi untuk mengikuti pendidikan lanjutan, pendidikan masose. Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah bekerja sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia dianggap contoh seorang pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Bergabung dengan KNIL membuat Gatot Subroto paham dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak.

Setelah Jepang menduduki Indonesia, serta merta Gatot Subroto pun mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA), organisasi militer milik Jepang yang merekrut tentara pribumi untuk berperang, di Bogor. Di sanalah karier Gatot Subroto mulai merangkak naik. Selepas lulus dari pendidikan Peta, ia diangkat menjadi komandan kompi di Banyumas sebelum akhirnya ditunjuk menjadi komandan batalyon. Setelah kemerdekaan, Gatot Subroto memilih masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan kariernya berlanjut hingga dipercaya menjadi Panglima Divisi II, Panglima Corps Polisi Militer, dan Gubernur Militer Daerah Surakarta dan sekitarnya.

Gatot Subroto dikenal sebagai tentara yang solider terhadap rakyat kecil meski tengah bekerja sebagai tentara kependudukan Belanda dan Jepang. Ia dianggap contoh seorang pemimpin yang layak diapresiasi berkat jasa-jasanya. Bergabung dengan KNIL membuat Gatot Subroto paham dan mengerti bagaimana seorang tentara harus bertindak. Selama menjabat sebagai komandan kompi dan komandan batalyon, Gatot Subroto dinilai sering memihak kepada rakyat pribumi. Hal itulah yang sering kali membuat ia ditegur oleh atasannya.

Namun, bukan berarti sering mendapat teguran dari atasan membuat Gatot Subroto kapok dan patuh terhadap perintah. Justru hal itulah yang membuat Gatot Subroto mendapatkan angin segar untuk sekadar 'menakuti dan mengancam' pihak Jepang. Saat itu, ia mengancam bahwa dirinya mengundurkan diri sebagai komandan kompi dengan melemparkan atribut senjata perangnya. Melihat tindakan berani Gatot Subroto, atasannya kemudian meluluskan apa yang dikerjakan Gatot Subroto, yakni memihak pribumi terlebih rakyat kecil. Ia juga menentang Jepang jika berbuat semena-mena dan kasar terhadap anak buahnya.

Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil didapat, Gatot Subroto kemudian membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal nama Tentara Nasional Indonesia yang ada kini. TKR dipimpin oleh Kol. Sudirman di mana saat itu Gatot Subroto menjabat sebagai Kepala Siasat dan berganti menjadi Komandan Devisi dengan pangkat Kolonel setelah prestasinya yang dianggap gemilang dalam pertempuran Ambarawa.

Pada tahun 1948 terdapat Peristiwa Madiun atau Madiun Affairs yang melibatkan pihak Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Tentara Nasional Indonesia. Pemberontakan tersebut berada di wilayah Madiun, Jawa Timur, yang kemudian berakhir diatasi dengan baik oleh TKR di bawah pimpinan Gatot Subroto. Saat melawan PKI, Gatot Subroto melancarkan operasi militer agar dapat memulihkan keamanan. Di sebelah barat, Gatot yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobil Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.

Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat. Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.

Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.

Tak berbeda jauh dengan pemberontakan yang ada di Jawa, di Sulawesi Selatan juga terdapat pemberontakan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar pada tahun 1952. Lagi-lagi karena dinilai pandai dalam memasang strategi, Gatot Subroto diserahi untuk menumpas pasukan pemberontak dan kembali pulang dengan membawa kemenangan. Tak hanya sekadar kemenangan, para pemberontak pun juga berhasil dibujuknya agar kembali dalam barisan TKR. Berkat usahanya tersebut, Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro pada tahun yang sama.

Selama memimpin, Gatot Subroto dikenal sebagai pemimpin yang disiplin, tegas, berani, dan membela kaum yang tertindas. Maka, pada tahun 1953, ketika terjadi kerusuhan di istana negara akibat tuntutan rakyat atas pembubaran parlemen ditolak, Gatot Subroto yang dituduh sebagai dalang kerusuhan tersebut langsung mengundurkan diri dari jabatannya sekaligus dari dinas militer. Pada 1953, ia mengundurkan diri dari dinas militer, tetapi tiga tahun kemudian diaktifkan kembali sekaligus diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) pada tahun 1956. Melalui tangannya, ia berhasil melumpuhkan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Perdjuangan Rakjat Semesta (PRRI/Permesta) yang ada di Sumatra dan Sulawesi Utara.

Pada tanggal 11 Juni 1962, Gatot Subroto meninggal di usia 54 tahun. Pangkat terakhir yang disandangnya adalah Letnan Jenderal. Ia adalah penggagas akan perlunya sebuah akademi militer gabungan (Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut) untuk membina para perwira muda. Gagasan tersebut diwujudkan dengan pembentukan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tahun 1965.

Melengkapi pangkatnya, seminggu setelah ia dimakamkan di desa Mulyoharjo, Ungaran, Jawa Tengah, gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.283 tanggal 18 Juni 1962 disematkan kepadanya.[1]

Tanda Kehormatan[2]

[sunting | sunting sumber]

Selama berkarier di dunia militer dan memangku berbagai jabatan, atas jasa-jasanya beliau telah dianugerahkan tanda kehormatan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Baris ke-1 Bintang Mahaputera Utama (14 Agustus 1962)[3] Bintang Gerilya
Baris ke-2 Bintang Sakti Bintang Dharma Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia
Baris ke-3 Satyalancana Kesetiaan 16 Tahun Satyalancana Kesetiaan 8 Tahun Satyalancana Perang Kemerdekaan I
Baris ke-4 Satyalancana Perang Kemerdekaan II Satyalancana G.O.M I Satyalancana G.O.M II
Baris ke-5 Satyalancana G.O.M III Satyalancana G.O.M IV Satyalancana G.O.M VI
Baris ke-5 Satyalancana Sapta Marga First Rank of the Order of Military Merits with Great Star - Yugoslavia Commander of the Philippine Legion of Honor - Filipina

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Pada tahun 1962, Soebroto dinobatkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional menurut SK Presiden RI No.222 tanggal 18 Juni 1962.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Atiqoh Hasan. "Gatot Subroto". Merdeka.com. profil.merdeka.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-21. Diakses tanggal 5 September 2015. 
  2. ^ Dinas Sejarah TNI AD 1981, hlm. 501-502.
  3. ^ Daftar WNI yang Mendapat Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera tahun 1959 s.d. 2003 (PDF). Diakses tanggal 3 September 2021.