Orang-orang interseks menghadapi stigmatisasi dan diskriminasi sejak lahir, khususnya saat variasi interseks terlihat jelas. Di beberapa negara (khususnya di Afrika dan Asia), ada yang dibunuh saat masih kecil, ditinggalkan atau distigmatisasi oleh keluarganya sendiri. Ibu-ibu di Afrika Timur dapat dituduh sebagai penyihir, dan kelahiran anak interseks dianggap sebagai kutukan.[2][3][4]
Balita dan anak interseks (seperti mereka yang punya bentuk kelamin yang ambigu) sering kali menjadi korban operasi dan/atau terapi hormon dengan tujuan agar mereka memiliki karakter jenis kelamin yang diterima oleh masyarakat. Salah satu tindakan yang mungkin juga dilakukan adalah sterilisasi. Tindakan ini ditentang oleh kelompok interseks dan tidak ada bukti bahwa tindakan-tindakan tersebut akan berdampak positif.[5] Beberapa hak yang dilanggar oleh intervensi medis secara paksa pada anak-anak interseks adalah:
Isu-isu ini mulai diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh badan-badan PBB,[9][13] parlemen Australia,[7] serta institusi etika Jerman dan Swiss.[8] Organisasi-organisasi interseks juga telah mengeluarkan pernyataan gabungan dalam beberapa tahun terakhir, seperti Deklarasi Malta yang dikeluarkan oleh Forum Interseks Internasional ketiga.
Pada tahun 2011, Christiane Völling berhasil memenangkan tuntutan pertama terhadap seorang ahli bedah yang telah melakukan bedah tanpa persetujuan dari pasien.[14] Pada tahun 2015, Dewan Eropa mengakui hak interseks untuk tidak dipaksa mengikuti terapi penentuan kelamin.[6] Pada April 2015, Malta menjadi negara pertama yang melarang intervensi medis tanpa persetujuan dari pasien untuk mengubah anatomi kelamin.[11][15]