Histosol

Histosol (berasal dari bahasa Yunani, yaitu "histos" bermakna "jaringan")[1] salah satu lapisan tanah dari 12 ordo tanah dalam sistem taksonomi tanah USDA 1975.[2] Histosol atau yang sering diketahui sebagai tanah gambut adalah jenis lapisan tanah yang di dalamnya lebih banyak terkandung bahan organik dengan keadaan kedalaman lebih dari 40 cm dari permukaan tanah, berbeda dengan tanah mineral lainnya. Histosol terbentuk dalam kondisi seperti di lahan basah. Sehingga jenis tanah ini sangat cocok untuk ditanami sayur-sayuran, buah-buahan, produksi pertanian, dan bahan bakar.[3][4] Histosol menempati sekitar 1% dari luas daratan global.

Histosol memiliki nama lain, seperti gambut (peat) atau muck. Dalam taksonomi tanah Australia, Histosol disebut sebagai Organosol. Histosol sering kali terjadi di daerah khatulistiwa, seperti di Amerika Utara bagian Utara, Eropa, dan Asia. Histosol banyak ditemukan di Kanada, Skandinavia, Dataran Siberia Barat, Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Di Amerika Serikat, paling tersebar luas di dataran rendah mulai dari wilayah danau-danau besar, laut timur, dataran Pesisir Atlantik dan Florida, Pacific Northwest, dan Alaska. Lahan histosol terbesar di dunia terjadi di dataran rendah Siberia Barat danTeluk Hudson di Kanada Tengah. Histosol terjadi terutama di Asia Tenggara dan Indonesia di lintang yang lebih rendah secara lokal di dataran pantai yang lembab. Histosol jarang digunakan untuk kebutuhan konstruksi karena struktur berat cenderung ambles di tanah basah. Histosol tidak memiliki horizon dan berwarna kroma (derajat kejenuhan suatu warna) atau meningkat sesuai dengan bertambahnya kedalaman.

Histosol/tanah gambut merupakan tanah yang bersifat hidrofilik, yaitu tanah yang mudah melarut, menyerap/bercampur dengan air. Namun, histosol juga memiliki sifat tanah yang hidrofobik (mengering tidak balik), yaitu terjadi ketika gambut mengering dengan kadar air kurang dari 100%, maka tidak dapat menyerap air lagi jika dibasahi sama halnya dengan kayu kering dan tidak dapat berfungsi lagi tanahnya. Jika gambut sudah mengering, maka mudah hanyut terbawa aliran air dan mudah terbakar. Sehingga ada potensi kebakaran hutan atau lahan disebabkan gambut yang terbakar karena menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu.[5] Secara ekologis, histosol berperan penting karena kandungan karbonnya cukup besar.

Histosol/tanah gambut terbentuk dari tumpukan bahan organik, maka dari itu, kandungan karbonnya cukup besar. Tanah gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang relatif tinggi dengan pH 3--4. Di Indonesia, sebagian besar tanah gambutnya bereaksi masam hingga sangat masam dengan pH kurang dari 4,0 yang berhubungan erat dengan asam-asam organik, yaitu asam humat dan asam vulvat. Pada umumnya, pH gambut yang berada di pantai (gambut topogen) lebih tinggi dan tanahnya lebih subur dibandingkan dengan gambut yang berada di pedalaman (gambut ombrogen) karena adanya pengayaan basa-basa (gambut oligotropik) dari air pasang surut. Gambut ombrogen sering ditemukan di Indonesia.[5]

Tingkat kesuburan histosol tergantung pada beberapa faktor, yaitu:

  1. Ketebalan lapisan tanahnya dan tingkat penguraian.
  2. Komposisi tanaman penyusunan gambut.
  3. Tanah mineral yang berada di lapisan bawahnya.

Banyak histosol dimanfaatkan sebagai sumber energi yang mudah terbakar karena kandungan C organiknya yang tinggi. Ketika dikeringkan/kering, bahan organik yang terkandung di dalamnya sangat rentan terhadap erosi angin, dan air. Sehingga ada kemungkinan sangat rapuh dan mengalami perubahan kondisi tanah. Pembentukan histosol dibentuk oleh iklim basah/dingin dengan menghambat penguraian dari bahan organik. Tidak hanya dibentuk oleh iklim, histosol juga dibentuk oleh kima tanah yang dihasilkan. Sebagian besar bahan organik tanah histosol berasal dari tumbuhan terestrial (tanaman yang hidup di daratan).[6]

Ciri-ciri Histosol

[sunting | sunting sumber]
  1. Tidak memiliki permafrost ataupun bahan gelik dalam 100% dari permukaan tanah.
  2. TIdak memiliki lapisan es dalam jarak 200 cm dari permukaan tanah.
  3. Tidak memiliki sifat tanah andik pada 60% atau lebih dari ketebalan antara permukaan tanah.
  4. Konsep utama tanahnya adalah pembentukan tanah dalam bahan tanah organik.[7]

Subordo Histosol

[sunting | sunting sumber]

Histosol memiliki 4 subordo, yaitu:

  1. Folist, histosol yang mengalami jenuh air untuk jangka waktu yang lama sepanjang tahun. Folist mudah dijumpai pada iklim yang lembab di daerah tropis, subtropis, dan daerah ketinggian. Folist dibagi menjadi 4, yaitu Cryofolist, Torrifolist, Ustifolist, dan Udifolist.
  2. Fibrist, histosol yang selalu tergenang air, bahan organik yang terkandung di dalamnya baru mulai melapuk, masih banyak mengandung serabut, dan dekomposisi rendah. Fibrist mudah dijumpai pada daerah yang mengalami depresi dan daerah datar yang luas sekitar pantai. Folist dibagi menjadi 3, yaitu Cryofibrist, Sphagnofibrist, dan Haplofibrists.
  3. Saprist, histosol yang memiliki kadar air cukup rendah, dekomposisi tinggi dan sempurna, dan kurang mengandung serabut. Saprist mudah ditemukan pada daerah yang mempunyai muka air tanah cenderung naik-turun. Saprist dibagi menjadi 4, yaitu Sulfosaprist, Sulfisaprist, Cryosaprist, dan Haplosaprists.
  4. Hemist, histosol yang memiliki kadar air banyak, dekomposisi sedang, dan masih banyak mengandung serabut. Hemist mudah dijumpai pada daerah RKT tanah lebih panas daripada cyrik dan tidak memliki horison sulfurik. Hemist dibagi menjadi 5, yaitu Sulfohemist, Sulfihemist, Luvihemist, Cryohemist, dan Haplohemist.[4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Histosols | Soil & Water Systems | University of Idaho". www.uidaho.edu. Diakses tanggal 2021-09-11. 
  2. ^ "Histosol | soil". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-09-09. 
  3. ^ Lukman Hakim, Dani (2019). Ensiklopedia Jenis Tanah di Dunia. Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia. hlm. 30. ISBN 978-623-7035-19-0. 
  4. ^ a b Fiantis, Dian. Morfologi dan Klasifikasi Tanah (PDF). Padang: Lembaga Pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Universitas Andalas. hlm. 78––89. 
  5. ^ a b Hartatik, Wiwik, dkk.. (2011). "Sifat Kimia dan Fisik Tanah Gambut" (PDF). Balai Penelitian Tanah. Diakses tanggal 08-09-2021. 
  6. ^ Kolka, Randall, dkk. (2011). "Properties and Processes Classificaion of Soils" (PDF). Forest Service (U.S. Departement of Agriculture): 8–39. 
  7. ^ Soil Survey Staff (1999). Soil Taxonomy (A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Surveys) (PDF). Washington, DC: United States Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service. hlm. 473––480. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-07-19. Diakses tanggal 2021-09-11. 

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]
  • IUSS Working Group WRB: World Reference Base for Soil Resources, fourth edition. International Union of Soil Sciences, Vienna 2022, ISBN 979-8-9862451-1-9. ([1]).
  • W. Zech, P. Schad, G. Hintermaier-Erhard: Soils of the World. Springer, Berlin 2022, Chapter 3.3.1. ISBN 978-3-540-30460-9