Nama dalam bahasa asli | (ar) إبراهيم النظّام (ar) إبراهيم بن سيار بن هانئ البصري |
---|---|
Biografi | |
Kelahiran | (ar) إبراهيم بن سيار بن هانئ البصري 775 (Kalender Masehi Gregorius) Basra |
Kematian | 845 (69/70 tahun) Bagdad |
Data pribadi | |
Agama | Islam dan Mu'taziliyah |
Kegiatan | |
Spesialisasi | Filsafat dan Ilmu Kalam |
Pekerjaan | teolog, penyair, filsuf |
Bekerja di | Bagdad |
Murid dari | Muḥammad Ibn-al-Huḏail Abu-'l-Huḏail al-ʿAllāf (en) dan Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi |
Murid | Al-Jahiz |
Ibrahim an-Nazzam (c. 775 – c. 845) adalah seorang filsuf, penyair, dan teolog Mu'tazilah [1] Ia adalah keponakan teolog Mu'tazilah Abu al-Hudhayl al-'Allaf, dan al-Jahiz adalah salah satu muridnya. Al-Nazzam bertugas di istana Khalifah Abbasiyah pada masa kepemimpinan Al-Mamun.[2]
Berbeda dengan berbagai pandangan yang dianut pada masanya, dia terkenal karena penolakannya yang kuat terhadap qiyas, yang diterima oleh Hanafi dan Syafi'i; penolakannya terhadap preferensi hukum, yang merupakan pilar pemikiran Hanafi; doktrin konsensus yang mengikat, yang diterima oleh semua Islam Sunni ; dan catatan-catatan yang diyakini oleh banyak Muslim secara akurat menggambarkan tradisi-tradisi kenabian sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah.[3]
Seperti halnya para penganut Mu'tazilah awal lainnya, al-Nazzamm adalah seorang penganut skripturalisme yang tidak tertarik pada tradisi dan kisah yang konon diceritakan oleh Abu Hurairah, seorang perawi hadis paling produktif, yang dianggapnya penuh dengan kontradiksi. [3] Bagi al-Nazzam, apa yang disebut sebagai laporan dari satu sumber dan banyak sumber, seperti banyaknya narasi yang dikaitkan dengan Abu Hurairah, tidak bisa dipercaya.[3] Al-Naẓẓām memperkuat bantahannya terhadap penghargaan yang selama ini dipegang teguh terhadap riwayat-riwayat Abu Hurairah dan para sahabat Muhammad lainnya (terutama di kalangan Sunni) dengan klaim yang lebih besar bahwa riwayat-riwayat tersebut beredar dan berkembang terutama untuk mendukung dan melegitimasi tujuan-tujuan polemik berbagai mazhab teologis dan para ahli hukum dan bahwa tidak ada seorang perawi pun, baik yang sezaman dengan Muhammad atau tidak, yang dapat dengan sendirinya dibebaskan dari kecurigaan mengubah isi dari riwayat tunggal mana pun. Sikap skeptis Al-Nazzam melibatkan lebih dari sekadar mengesampingkan kemungkinan verifikasi suatu laporan yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, apakah laporan itu ditelusuri kembali ke satu sumber (wāḥid) atau banyak sumber (mutawātir). Ia juga mempertanyakan laporan-laporan yang diterima secara luas, yang terbukti penting bagi kriteria Mu’tazilah klasik yang dirancang untuk memverifikasi laporan tunggal tersebut, sehingga mendapat perhatian khusus atas kedalaman dan luasnya skeptisismenya.
Penolakan Al-Nazzam terhadap konsensus terutama disebabkan oleh kritik rasionalisnya terhadap sebagian generasi pertama Muslim, yang ia anggap memiliki kepribadian dan kecerdasan yang cacat. Para teolog Syiah al-Shaykh al-Mufīd dan Sharif al-Murtaza sangat menghargai Kitab al-Nakth (Kitab Pembongkaran) karya al-Naẓẓām, yang di dalamnya ia menolak validitas doktrin konsensus.