Imamat am (umum) orang percaya atau imamat am umat beriman adalah sebuah konsep yang diidentikkan dengan Martin Luther ketika melakukan ia memulai gerakan Reformasi Gereja pada abad ke-16, serta mempelopori gerakan Protestantisme.[1] Kata 'imamat' ditemukan di dalam dua kitab dari Perjanjian Baru, yakni di dalam 1 Petrus 2:5 dan 2:9, serta di dalam Wahyu 1:6, 5:10, 20:6.[2] Teks-teks ini merupakan dasar dari konsep imamat am umat beriman menurut pengertian Perjanjian Baru, sedangkan Luther sendiri mendasarkan pemikirannya dari teks 1 Petrus 2:9.[1]
Di dalam Surat Ibrani terdapat pemahaman yang khas mengenai Yesus Kristus sebagai Imam Besar Agung, yang menjadi dasar dari konsep Imamat Am orang percaya.[3] Di dalam kitab ini, hukum Yahudi digambarkan sebagai hukum yang tidak sempurna, serta gagal untuk menempatkan manusia di hadapan Allah.[3] Ketidakmampuan perjanjian yang lama ini bahkan sudah disadari oleh para nabi di dalam Perjanjian Lama sehingga mereka memprediksikan bahwa Allah akan menetapkan suatu perjanjian baru yang akan berhasil.[3] Perjanjian baru ini digambarkan sebagai bayang-bayang melalui Musa dan menjadi nyata di dalam karya Yesus.[3] Yang lama telah berlalu dan kini para pengikut Kristus harus memegang yang baru.[3]
Perlu diperhatikan bahwa Yesus sendiri tidak pernah memakai sebutan imam bagi dirinya sendiri.[4] Dalam pengajaranNya, Yesus tidak pernah memakai gambaran imam dan juga kehidupan peribadahan.[4] Sebaliknya, pengajaranNya malah menggunakan gambaran dunia sekuler di sekitarnya dan beberapa kali mengkritik institusi keimaman, misalnya dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:25–37).[4] Murid-muridnya juga tidak pernah disebut sebagai imam.[4] Karena itu, teologi dari Kitab Ibrani adalah refleksi iman akan pengalaman pekerjaan dan kematian Yesus yang menunjukkan ketaatan dan pelayanan yang amat mendalam dan unik pada Allah dan sesama, sehingga kematian Yesus dipandang sebagai pengorbanan kultis.[4] Di sinilah dipadankan antara darah Yesus dengan signifikansi darah anak domba dalam persembahan kurban, dan bahkan Yesus sendiri dipahami sebagai imam besar.[4]
Penulis Ibrani melihat rencana penyelamatan Allah seperti di dalam Perjanjian Lama telah tergenapi dalam Yesus serta hidupNya, dan inti seluruh karya Allah adalah pertemuan Allah dengan manusia berdosa.[2] Di dalam Perjanjian Lama, pertemuan ini terjadi lewat ibadat kurban yang dipimpin oleh Imam Besar, namun semua itu hanya bayangan dari realita yang tergenapi dalam Yesus Kristus.[2] Dengan demikian ada dua tahap dalam sejarah penyelamatan yaitu kurban dalam Perjanjian Lama dan Yesus dalam Perjanjian Baru, dan kemudian hal itu dipikirkan dengan cara dunia dua tingkat tegak lurus dalam pemikiran Plato, sehingga seolah ada dua dunia: dunia Perjanjian Lama dan dunia Perjanjian Baru.[2] Dunia Perjanjian Lama adalah bayangan, cerminan, lambang, dari dunia Perjanjian Baru, dunia yang nyata dan abadi.[2] Yesus, melalui kematian, telah berpindah dari dunia lama ke dunia baru, dan setiap orang yang percaya dan berpegang teguh pada Yesus akan ikut serta asalkan yakin (Ibrani 3:6, 3:14) dan berpengharapan (Ibrani 10:24).[2] Peralihan dari dunia yang lama ke dunia yang baru itulah yang merupakan ‘ibadat kurban’ yang diselenggarakan oleh Yesus sang Imam Besar Agung.[2]
Kemudian Yesus juga dipandang lebih besar dari keimaman Yahudi sebab para imam masih berdosa dan perlu mempersembahkan kurban bagi dirinya sendiri, sedangkan Yesus tidak berdosa dan menjadi kurban yang sekali untuk selamanya pula.[3] Yesus juga lebih tinggi dari imamat Lewi, sebab Yesus hanya sekali untuk selamanya untuk mempersembahkan kurban (Ibrani 10:1–18).[3] Menurut penulis Ibrani, Yesus menjadi satu-satunya mediator manusia dengan Allah dan tak perlu lagi institusi keimaman yang lama dan hanya merupakan bayangan dari yang sejati dalam Yesus Kristus sang Imam Besar Agung.[3]
Teks 1 Petrus 2:9 dikutip dari Keluaran 19:5–6 di dalam Perjanjian Lama.[5] Di sini ada keserupaan, yakni kata ‘kamu’ ditujukan kepada orang-orang, meski menggunakan kata ganti personal tunggal.[5] Di antara kedua teks tersebut ada perbedaan subyek yang berbicara, di mana di dalam Keluaran 19: 5–6 Allah menjadi subyek yang berbicara, sedangkan dalam 1 Petrus 2:9 yang berbicara adalah seorang rasul.[5] Akan tetapi, perbedaan ini tidaklah masalah sebab tokoh Petrus tidak berbicara atas namanya sendiri melainkan selaku orang yang menyampaikan perkataan Allah.[5]
Yang perlu dibedakan antara dua teks tersebut adalah perubahan waktu pengucapan, perubahan pembaca, dan perubahan dalam konteks.[5] Frasa dari Keluaran menggambarkan sesuatu yang akan terjadi pada masa depan, dengan kaum Israel yang dikontraskan dengan kaum non-Israel sebagai pembacanya, serta bersifat kondisional.[5] Sedangkan di dalam Surat 1 Petrus, teks tersebut menunjuk ke masa kini, dialamatkan pada orang-orang yang berasal dari latar belakang non-Yahudi, dan tidak bersifat kondisional.[5] Di dalam Surat 1 Petrus, apa yang diharapkan terjadi pada masa depan oleh teks Keluaran 19:5-6 dilihat telah tergenapi, di mana orang-orang non-Yahudi yang tadinya bukan umat Allah kini menjadi umat Allah.[5] Untuk lebih mengeksplisitkan aspek pemenuhan ini, penulis Surat 1 Petrus meluaskan teks Keluaran dengan menambahkan dari Kitab Yesaya suatu frasa: “Umat yang telah Kubentuk bagi-Ku akan memberitakan kemashyuran-Ku” (Yesaya 43:21).[5] Akan tetapi, kemuliaan tersebut tidak berkaitan dengan kehebatan pribadi, melainkan karena kasih Allah belaka (1 Petrus 2:10).[5]
Dengan demikian, di dalam teks 1 Petrus 2:5 dan 2:9 telah ditegaskan bagaimana umat yang percaya pada Yesus telah dianugerahi untuk menjadi imam secara komunal, bukan secara individual.[5] Keimaman jemaat bukanlah keimaman pribadi-pribadi.[5] Selain itu, keimaman tidak lagi ditentukan dari garis keturunan darah seperti di dalam Perjanjian Lama, melainkan menurut iman sehingga keimaman tersebut terbuka untuk semua orang dari segala bangsa.[5]
Teks-teks Wahyu 1:6, 5:10, 20:6 menyebutkan hal yang serupa dengan Surat 1 Petrus bahwa orang-orang percaya adalah imam-imam Allah yang diangkat oleh Allah karena Yesus Kristus.[4] Gambaran eskatologis di dalam Kitab Wahyu dipakai untuk memberi kekuatan pada jemaat yang sedang teraniaya bahwa mereka adalah imam-imam Allah yang memiliki tugas dan panggilan yang khusus pula.[4]
Gambaran mengenai keimaman jemaat tidak dapat dilepaskan dari gambaran Kristus sebagai Imam Besar Agung sebagai satu-satunya perantara dengan Allah.[4] Karena Kristus merupakan Imam Besar Agung dan mediator antara manusia dengan Allah, maka semua manusia yang percaya pada Yesus mendapatkan akses kepada Allah melalui Dia.[4] Dan melalui Yesus pula semua anggota jemaat memberikan kurban pada Allah, namun makna kurban telah berubah secara radikal, bukan lagi kurban yang diberikan sesuai kekuatan manusia melainkan karena mediasi Kristus.[4] Yang dituju dari kurban juga bukan lagi pengampunan dosa melainkan kurban syukur dan penyembahan atas apa yang Yesus telah sempurnakan, dan yang dipersembahkan bukan lagi persembahan barang melainkan persembahan diri.[4] Dengan demikian, jika semua orang percaya harus mempersembahkan kurban melalui Kristus, maka ini berarti semua orang percaya memiliki fungsi keimaman.[4]
Konsep imamat am orang percaya terdapat di dalam salah satu karangan Luther yang ditulis pada tahun 1520 dengan judul "Kepada kaum Bangsawan Kristen Jerman tentang perbaikan Masyarakat Kristen".[1] Di dalam karangan ini, Luther mengkritik kekuasaan Paus, pada waktu itu, yang mutlak terhadap kaum awam (kaum non-rohaniwan).[1] Menurut Luther, secara hakiki tidak ada pemisahan hierarkis antara kaum klerus (kaum rohaniwan) dengan kaum awam, sebab jabatan Imam di dalam Perjanjian Lama telah disempurnakan sekaligus diakhiri oleh Yesus Kristus.[6] Karena itu, manusia tidak lagi memerlukan perantaraan apapun lagi dalam berhubungan dengan Tuhan, baik dalam berdoa ataupun mempersembahkan kurban.[6] Yesus Kristus telah menjadi Imam Besar Agung sekaligus korban yang paling sempurna, sekali untuk selamanya.[6] Kemudian berdasarkan imamat dan pengorbanan Kristus inilah, semua orang yang percaya menjadi imam, sehingga disebut imamat am orang percaya.[6]
Implikasi konsep imamat am orang percaya tersebut adalah konsep baru mengenai jabatan gerejawi, di mana "imam" bukan lagi jabatan khusus bagi orang-orang tertentu melainkan fungsi pelayanan.[6] Tentu diperlukan ada pembagian tugas dan jabatan, serta pembedaan bidang pelayanan, namun pada hakikatnya semua orang sederajat; antara pejabat gereja dengan warga gereja tidak ada perbedaan derajat melainkan perbedaan fungsi pelayanan.[6]