Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Desember 2022. |
Inflasi imajinasi (Inggris: Imagination inflation) ialah suatu distorsi memori dalam bentuk keyakinan atas suatu peristiwa yang belum pernah terjadi setelah membayangkan peristiwa tersebut.[1]
Sejumlah faktor terbukti meningkatkan efek inflasi imajinasi. Dengan membayangkan peristiwa palsu, maka akan terjadi peningkatan keeratan atas peristiwa tersebut. Keeratan ini ditafsirkan secara keliru oleh individu sebagai bukti bahwa mereka telah mengalami peristiwa tersebut.[2][3] Inflasi imajinasi juga bisa terjadi karena kekeliruan sumber atau pemantauan sumber. Saat membayangkan peristiwa palsu, seseorang menghasilkan informasi yang disimpan dalam ingatan. Kemudian, orang itu mungkin mengingat isi memorinya, tetapi bukan sumbernya. Sehingga, orang tersebut secara keliru akan mengaitkan informasi yang diingatnya dengan pengalaman nyata mereka.[2]
Bias ini relevan dengan studi memori dan kognisi, khususnya memori palsu. Bias ini kerap terjadi saat terapi pemulihan ingatan, khususnya selama proses mengingat memori yang terpendam (repressed memories). Proses ini yang lantas menghasilkan ingatan yang keliru atau terdistorsi.[4] Dalam peradilan pidana, inflasi imajinasi tercermin dalam bentuk pengakuan palsu. Hal ini terjadi akibat praktik interogasi polisi yang mengharuskan tersangka untuk dapat membayangkan dirinya telah melakukan atau merencanakan kejahatan.[1][5]
Pada tahun 1996, Elizabeth Loftus, Maryanne Garry, Charles Manning, dan Steven Sherman, menyelidiki inflasi imajinasi. Studi ini mempelajari efek membayangkan peristiwa masa kecil dalam memori masa kecil.[1] Studi ini merupakan studi perdana yang mengulas efek membayangkan kejadian palsu pada memori tanpa adanya faktor penganggu, seperti tekanan sosial.[1][4] Studi tersebut menunjukan bahwa tindakan membayangkan peristiwa yang belum pernah dialami di masa kecil (misal, diselamatkan oleh penjaga pantai atau memecahkan jendela dengan satu tangan) terbukti meningkatkan keyakinan bahwa peristiwa tersebut telah terjadi. Pada awalnya, orang tidak yakin atas peristiwa yang belum pernah dialaminya. Namun, setelah mereka membayangkan peristiwa palsu tersebut, mereka akan lebih yakin pernah mengalaminya dibandingkan orang yang tak membayangkan peristiwa itu.[1][6]
Mengingat memori bersifat unreliable, maka pemastian bahwa seseorang telah mengalami peristiwa tertentu tidak semata-mata hanya didasarkan pada pengakuan pribadi.[7] Kondisi tersebut memicu kemungkinan bahwa imajinasi tak berpengaruh secara nyata atas kekeliruan memori masa lalu. Sebaliknya, kondisi ini justru memulihkan memori aktual individu atas pengalaman nyata. Lyn Goff dan Henry Roediger (1998) menggunakan metode yang berbeda untuk mengetahui efek inflasi imajinasi pada peristiwa yang dapat dikonfirmasi. Studi ini juga melihat efek imajinasi berdasarkan rekoleksi daripada memeringkat keyakinan. Dalam studi ini, peserta diminta melakukan tindakan tertentu (seperti mematahkan tusuk gigi), tetapi tidak yang lain. Mereka kemudian diminta membayangkan melakukan tindakan lain dalam keseluruhan set, Selanjutnya, mereka diberi daftar tindakan lama (di dua bagian pertama percobaan) dan tindakan baru. Hasil menunjukkan bahwa peserta lebih cenderung keliru mengatakan bahwa mereka telah melakukan tindakan yang dibayangkan dibandingkan dengan tindakan yang tidak dibayangkan.[7]
Studi lebih lanjut menggunakan metode serupa dengan cara melakukan pra-tes memeringkat serangkaian peristiwa, tes intervensi kognitif tentang peristiwa, dan pasca-tes untuk memeringkat keyakinan akan suatu peristiwa. Studi tersebut menunjukkan bahwa ketika efek inflasi imajinasi muncul, orang hanya akan menjelaskan bagaimana peristiwa bisa terjadi[8] atau memparafrasekannya.[9] Temuan ini membuktikan bahwa "inflasi imajinasi" tidak selalu disertai dengan imajinasi yang jelas. Justru improvisasi ulang imajinasi akan membuat peristiwa palsu lebih mengalir dan erat, tanpa adanya gambaran rinci yang dihasilkan.[9]
Studi lain meneliti jenis peristiwa yang dapat menimbulkan efek inflasi imajinasi. Studi ini menggunakan metode yang mirip dengan Goff dan Roediger,[7] di mana peserta diminta melakukan beberapa tindakan dan membayangkan beberapa di antaranya. Hasil studi ini menunjukkan bahwa mereka keliru dalam mempercayai bahwa tindakan yang mereka bayangkan itu pernah terjadi dan mereka tidak menghiraukan peristiwa yang tidak mereka bayangkan. Contoh kasus efek inflasi imajinasi yang serupa dalam penelitian Goff dan Roediger adalah tindakan "pecahkan tusuk gigi" dan versi yang diubah dari tindakan tersebut "cium kaca pembesar".[10] Inflasi imajinasi juga dijumpai saat orang membayangkan hal yang tidak biasa, seperti mencium mesin penjual otomatis atau berbaring di sofa dan berbicara dengan Sigmund Freud.[11] Beberapa orang mendapati keyakinan yang keliru bahwa mereka melakukan tindakan aneh [11] atau mengalami peristiwa yang lazim, bahkan setelah membayangkan orang lain daripada diri mereka sendiri yang melakukannya.[4]
Penyebab dari efek inflasi imajinasi masih diperdebatkan. Sejumlah bukti menyebutkan bahwa kerangka pemantauan sumber, teori misatribusi keeratan peristiwa, dan efek elaborasi sensorik menyebabkan pembentukan ingatan palsu melalui inflasi imajinasi. Faktor tersebut dan faktor lain yang belum diketahui kemungkinan berkontribusi dalam kemunculan efek inflasi imajinasi.[12][13]
Thomas dkk dalam teori kerangka pemantauan sumber, menyatakan bahwa ingatan tidak digolongkan sebagai sesuatu yang nyata atau imajiner. Oleh sebab itu, setelah membayangkan suatu peristiwa akan sulit untuk membedakan apakah memori itu nyata atau tidak.[12]
Dalam teori misatribusi keeratan, efek inflasi imajinasi diduga muncul sebagai akibat membayangkan suatu peristiwa sehingga meningkatkan keeratan dengan peristiwa tersebut. Keeratan ini kemudian disalahartikan sebagai bukti bahwa peristiwa itu nyata terjadi.[14]
Thomas dkk berargumen bahwa elaborasi dalam proses membayangkan peristiwa telah mengecoh memori sebenarnya. Saat peserta memasukkan detail sensorik sembari mengingat peristiwa yang dibayangkan, peserta akan lebih condong untuk salah mengingat peristiwa yang dibayangkan. Peserta menjadi keliru atas peristiwa yang dibayangkannnya dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi karena sifat imajinasi mereka yang spesifik dan terperinci. Hasil studi menyimpulkan bahwa elaborasi (dalam bentuk detail sensorik yang jelas) mengarah pada peningkatan pembentukan ingatan palsu.[15]
Inflasi imajinasi berimplikasi pada sistem peradilan pidana, khususnya yang terkait dengan prosedur interogasi dan wawancara. Tindakan interogator yang meminta terdakwa untuk membayangkan dirinya melakukan kejahatan secara berulang akan membuat terdakwa mempercayai bahwa dirinya adalah pelakunya. Hal tersebut selanjutnya akan menghasilkan pengakuan palsu dari terdakwa yang tidak bersalah.[1] Dalam sebuah kasus di Amerika Serikat pada 1990-an misalnya, setelah dilakukan interogasi polisi yang intens, seorang pria yang awalnya menyangkal tuduhan pemerkosaan atas putrinya mengakui kejahatan yang bahkan dibantah oleh penuduhnya. Ia didakwa telah melecehkan anak-anaknya dan memimpin sekte setan yang mengorbankan bayi. Richard Ofshe selaku psikolog berpendapat bahwa pengakuan itu adalah ingatan palsu yang diciptakan oleh sugesti berulang.[16][17]
Dalam teknik interogasi lain, interogator meminta terdakwa untuk menjelaskan bagaimana suatu kejahatan mungkin telah dilakukan atau bagaimana mereka sendiri dapat melakukannya. Praktik seperti ini dianggap menjadi penyebab pengakuan palsu, di mana terdakwa didorong untuk menciptakan narasi yang dapat dipercaya tentang kesalahan yang bahkan tak diperbuatnya.[5][8] Hal ini didukung oleh sebuah studi yang menemukan betapa kenangan masa kanak-kanak palsu bisa tercipta dan bahkan meningkatkan keyakinan orang-orang bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi setelah mereka membayangkannya.
Sebuah kritik tahun 2001 berargumen bahwa temuan studi inflasi imajinasi tahun 1996 sebetulnya tidak mencerminkan perubahan keyakinan akan memori masa lalu melalui imajinasi, melainkan hanyalah hasil dari regresi ke mean.[4] Kritik itu menyatakan bahwa peristiwa dengan peringkat keyakinan pada skala ekstrim (rendah atau tinggi) terjadi karena kesalahan pengamatan, sehingga skor yang muncul pasca-tes terlihat lebih moderat.[4] Peneliti studi tahun '96 tidak setuju dengan interpretasi ini[18] dan menunjukkan beberapa isu yang muncul atas penjelasan Pezdek. Secara khusus, mereka setuju bahwa regresi ke mean muncul dalam data mereka sendiri dan berkontribusi pada perubahan tingkat keyakinan peserta pada tes kedua. Namun, regresi ke mean tidak dapat menjelaskan temuan bahwa tindakan membayangkan peristiwa yang rendah tingkat keyakinannya akan menyebabkan peningkatan peringkat yang lebih besar daripada peristiwa yang tidak terbayangkan. Hal ini dilandasi karena regresi ke mean harus mempengaruhi semua peristiwa secara berimbang.[18]