Jalan Malioboro, dengan kompleks pertokoan batik dan kerajinan | |||
Nama lokal | ꦢꦭꦤ꧀ꦩꦭꦶꦪꦧꦫ (Jawa) | ||
---|---|---|---|
Bagian dari | Sumbu Filosofis Yogyakarta | ||
Tipe | Jalan protokol | ||
Panjang | 2 km (1 mi) | ||
Lebar | 25 m (82 ft) | ||
Lokasi | Kota Yogyakarta, Indonesia | ||
Koordinat | 7°47′34″S 110°21′57″E / 7.7926455°S 110.365846°E | ||
Utara | Jalan Margo Utomo | ||
Timur |
| ||
Selatan | Jalan Margo Mulyo | ||
Barat |
| ||
Pembangunan | |||
Diresmikan | 1755 | ||
Lain-lain | |||
Perancang | Hamengkubuwana I |
Jalan Malioboro (bahasa Jawa: ꦢꦭꦤ꧀ꦩꦭꦶꦪꦧꦫ, translit. Dalan Maliabara) adalah salah satu kawasan jalan dari tiga jalan di Kota Yogyakarta yang membentang dari Tugu Yogyakarta hingga ke persimpangan Titik Nol Kilometer Yogyakarta.
Secara keseluruhan, kawasan Malioboro terdiri atas Jalan Margo Utomo, Jalan Malioboro, dan Jalan Margo Mulyo.
Jalan ini menghubungkan Tugu Yogyakarta hingga menjelang kompleks Keraton Yogyakarta. Di sisi utara adalah Jalan Margo Utomo, yang terbentang dari selatan kawasan Tugu hingga sisi timur Stasiun Yogyakarta. Antara Jalan Margo Utomo dan Jalan Malioboro dipisahkan dengan perlintasan kereta api yang cukup unik, di mana perlintasan ini menggunakan palang pintu berjenis geser.[1]
Pada masa lalu, perlintasan ini dapat dilintasi oleh kendaraan umum sebagai penghubung Jalan Margo Utomo menuju Malioboro. Namun karena meningkatnya volume kendaraan yang melintas, membuat perlintasan ini hanya boleh dilintasi oleh kendaraan-kendaraan kecil seperti becak atau sepeda, sedangkan kendaraan lain harus memutar terlebih dahulu ke arah timur melewati Jembatan Kewek, kemudian berbelok ke arah barat melalui Jalan Abu Bakar Ali, barulah sampai di Jalan Malioboro.
Jalan Malioboro sebenarnya hanya terbentang dari sisi selatan rel kereta api, di depan Hotel Grand Inna hingga berakhir di Pasar Beringharjo sisi timur. Dari titik ini, nama jalan berubah menjadi Jalan Margo Mulyo hingga Titik Nol Kilometer Yogyakarta. Jalan Malioboro menjadi batas antara Kemantren Gedongtengen dan Kemantren Danurejan, di mana sisi barat Malioboro adalah wilayah dari kemantren Gedongtengen, dan sisi timur Malioboro adalah wilayah dari kemantren Danurejan. Sedangkan seluruh sisi jalan Margo Utomo adalah wilayah dari Kemantren Jetis, dan sisi jalan Margo Mulyo adalah wilayah dari Kemantren Gondomanan.
Terdapat beberapa objek bersejarah di kawasan ini, antara lain Tugu Yogyakarta, Stasiun Yogyakarta, Gedung Agung, Pasar Beringharjo, Kantor DPRD DIY, Benteng Vredeburg, Hotel Grand Inna, Komplek Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Monumen Serangan Umum 1 Maret.
Jalan Malioboro terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual kuliner Jogja seperti gudeg. Jalan ini juga terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekspresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, happening art, pantomim, dan lain-lain.
Setidaknya ada empat teori terkait asal usul nama Jalan Malioboro:
Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, jalan ini sempat berubah nama menjadi "Margaraja", yang berarti jalan bagi tamu-tamu kerajaan menuju kediaman raja (keraton). Nama tersebut diberikan sesuai fungsi awal dari Malioboro yang menjadi jalan utama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.[4]
Sebagai rajamarga atau jalan kerajaan, Malioboro berfungsi sebagai jalan seremonial yang sesuai dengan tradisi India, terutama pada hari perayaan, dihiasi dengan untaian bunga. Jalan ini menjadi saksi bisu prosesi kedatangan para gubernur jenderal dan pejabat Eropa, baik sipil maupun militer serta tamu kerajaan lain ketika mengunjungi Yogyakarta yang disambut oleh sultan dan prajurit kraton bersenjata.[5]
Awalnya Jalan Malioboro ditata sebagai sumbu imaginer Utara-Selatan Pantai Parangkusumo - Kraton Yogya - Gunung Merapi. Jalan Malioboro dimulai di dekat area keraton menuju ke arah utara hingga Tugu Yogya. Jalan salah satu elemen terpenting sebagai garis imajiner yang menghubungkan keraton dengan Gunung Merapi yang dianggap sakral sesuai dengan sumbu filosofi kota Yogyakarta.
Jalan Malioboro berfungsi sebagai jalan utama kerajaan (rajamarga) untuk kegiatan seremonial kesultanan. Saat sultan keluar dari istana dalam dan duduk di Sitinggil pada upacara publik, ia dapat melihat langsung Jalan Malioboro hingga Tugu di kejauhan. Antara Jalan Malioboro dan keraton terdapat dua pohon beringin yang diberi pagar persegi (waringin kurung) di Alun-alun Utara. Beringin kembar ini menyimbolkan penyatuan dua hal yang bertolakbelakang (loroning atunggal).[2][6] Adanya tugu di sebelah utara dan beringin kembar di antara jalan utama ibu kota kesultanan memiliki arti simbolis dan filosofis yang kuat yang diciptakan oleh Hamengkubuwana I.[2]
Selain itu, jalan ini juga digunakan saat kunjungan resmi pejabat kolonial Belanda dan Inggris, seperti gubernur jenderal, untuk memasuki keraton Yogyakarta. Jalan ini punya dua fungsi penting: pertama, sebagai bentuk penghormatan kepada pejabat yang berkunjung. Kedua, sebagai cara untuk menetralisir kekuatan pejabat yang berkunjung dengan melewati tugu dan beringin kurung, mengingat pejabat akan lewat dari arah utara jalan ini. Arah utara dalam filosofi Jawa diasosiasikan dengan kegelapan, kematian, dan ilmu hitam.[2]
Pada abad ke-18 di jalan ini bermukim orang-orang dari berbagai etnis, seperti Jawa, Tionghoa, dan Belanda.[7] Menurut Sasmito, sejak 1765 orang-orang Belanda dan Tionghoa menghuni bagian utara kota Yogyakarta, sementara orang Jawa menghuni sisanya. Hal ini terlihat dari bentuk arsitektur pemukiman di dekat bagian selatan Malioboro yang mendapat pengaruh dari arsitektur Tiongkok. Sementara pemukiman di dekat bagian utara Malioboro mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa dan Belanda, sehingga di sekitar Jalan Malioboro dapat terlihat gabungan gaya arsitektur Jawa-Tionghoa-Belanda.[7]
Malioboro mulai ramai pada era kolonial 1790 saat pemerintah Belanda membangun Benteng Vredeburg pada tahun 1790 di ujung selatan jalan ini. Selain membangun benteng, Belanda juga membangun Dutch Club tahun 1822, Kediaman Gubernur Belanda tahun 1830, Bank Java dan Kantor Pos tak lama setelahnya. Setelah itu, Malioboro berkembang kian pesat karena perdagangan antara orang Belanda dengan pedagang Tionghoa. Pada 1887 Jalan Malioboro dibagi menjadi dua dengan didirikannya tempat pemberhentian kereta api yang kini bernama Stasiun Tugu.
Saat pandemi flu Spanyol pada Oktober-November 1918 dan wabah penyakit pada 1932, Jalan Malioboro digunakan untuk arak-arakan keliling kota membawa pusaka kerajaan, Kangjeng Kyai Tunggul Wulung dan Kangjeng Kyai Pare Anom.[2]
Pengaruh Belanda semakin kuat sejak dibangun Benteng Vredeburg hingga 1936 ketika orang Belanda mendominasi pemukiman di dekat benteng dan di sisi selatan stasiun.[7] Pengaruh Tionghoa juga meningkat ketika etnis Tionghoa mendominasi pemukiman di hampir sepanjang jalan ini sekitar tahun 1936.[7]
Jalan Malioboro juga memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di sisi selatan Jalan Malioboro pernah terjadi pertempuran sengit antara pejuang tanah air melawan pasukan kolonial Belanda yang ingin menduduki Yogya. Pertempuran itu kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yakni keberhasilan pasukan merah putih menduduki Yogya selama enam jam dan membuktikan kepada dunia bahwa angkatan perang Indonesia tetap ada. Setelah kemerdekaan, jalan ini juga digunakan untuk pawai tahunan pasukan garnisun Yogya saat peringkatan Hari Angkatan Bersenjata pada 5 Oktober.[2]
Jalan itu selama bertahun-tahun dua arah, namun pada tahun 1980-an menjadi satu arah saja, dari jalur kereta api (di mana ia memulai) ke selatan - ke pasar Beringharjo, di mana ia berakhir. Hotel terbesar dan tertua di Yogyakarta, Hotel Garuda, terletak di ujung utara jalan, di sisi timur yang berdekatan dengan jalur kereta api. Di sini terdapat bekas kompleks perdana menteri (kepatihan) di sisi timur.
Selama bertahun-tahun pada tahun 1980-an dan kemudian, sebuah iklan rokok ditempatkan di bangunan pertama di sebelah selatan jalur kereta api - atau secara efektif bangunan terakhir di Malioboro, yang mengiklankan rokok Marlboro, tidak diragukan lagi menarik bagi penduduk setempat dan orang asing yang akan melihat kata-kata dengan nama jalan dengan produk asing sedang diiklankan. Jalan ini menjadi pusat komersial yang dipenuhi toko-toko di sepanjang jalan.
Jalan Malioboro punya arti penting sebagai salah satu pusat perekonomian, hiburan, wisata, dan kuliner kota Yogyakarta. Penggunaan jalan ini pada umumnya dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima (PKL), pertokoan, penduduk lokal, dan wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.[7]
Pada tanggal 20 Desember 2013 oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X nama dua ruas jalan Malioboro dikembalikan ke nama aslinya, Jalan Pangeran Mangkubumi menjadi jalan Margo Utomo, dan Jalan Jenderal Achmad Yani menjadi jalan Margo Mulyo.[8]
Pada 2019, pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membuat grand design untuk melakukan penataan Jalan Malioboro sebagai kawasan semi pedestrian.[9] Pada 2021 pemerintah provinsi DIY telah membangun 37 sarana prasarana dengan total biaya Rp 78 miliar untuk penataan kawasan agar meningkatkan minat wisatawan. Selain itu, pemerintah juga merelokasi PKL di Jalan Malioboro ke Pusat UMKM di depan Pasar Beringhargo dan bekas gedung Dinas Pariwisata DIY yang ditargetkan dimulai Januari 2022.[10]
Pada tanggal 18 September 2023, kawasan Malioboro bersama dengan Tugu Yogyakarta, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Panggung Krapyak ditetapkan menjadi situs warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Sidang Luar Biasa ke-45 Komite Warisan Dunia di Riyadh, Arab Saudi, pada 10 hingga 25 September 2023.
Sebagai jalan legendaris, Malioboro juga menjadi daya tarik bagi seniman untuk mengekspresikan karya mereka. Beberapa karya seni terinspirasi dari jalan ini.
Media tentang Jalan Malioboro, Yogyakarta di Wikimedia Commons