artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia. |
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
|
Jenis | Agama asli Nusantara (Suku Dayak) |
---|---|
Kitab suci | Panaturan |
Teologi | Monoteisme |
Bentuk pemerintahan | |
Pemimpin | |
Wilayah | Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Kalimantan Timur |
Bahasa |
|
Kantor pusat | Kalimantan Tengah |
Pengakuan | |
Jumlah pengikut | ± 200.000 jiwa [2] [3] [4] |
Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Kalimantan Tengah : Kalimantan Selatan : Kalimantan Barat : Kalimantan Timur : | |
Kelompok etnik terkait | |
Artikel ini adalah bagian dari seri |
Agama asli Nusantara |
---|
Sumatra |
Ugamo Malim • Pemena • Arat Sabulungan • Fanömba adu • Melayu |
Jawa |
Sunda Wiwitan (Madraisme & Buhun) • Kapitayan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme |
Nusa Tenggara |
Hindu Bali • Halaika • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu • Koda Kirin • Makamba Makimbi |
Kalimantan |
Kaharingan • Momolianisme • Bungan |
Sulawesi |
Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi • Masade • Hindu Sulawesi |
Maluku dan Papua |
Naurus • Wor • Asmat |
Organisasi |
Portal «Agama» |
Kaharingan adalah agama asli suku Dayak di Pulau Kalimantan. Agama Kaharingan sudah ada sejak lama di Kalimantan bahkan sebelum agama-agama lainnya memasuki Kalimantan. Kaharingan bukan merupakan animisme atau dinamisme. Saat ini Kaharingan menjadi salah satu agama leluhur di Indonesia yang masih bertahan dan dianut oleh sebagian suku Dayak, khususnya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.[5][6]
Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan).[7] Penganut Kaharingan percaya terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau Pencipta Alam Semesta yang mempunyai sebutan berbeda-beda di tiap daerah (Ranying Hatalla Langit / Suwara / Yustu Ha Latalla), dianut secara turun temurun dan dihayati oleh para penganutnya di Kalimantan. Ucapan salam dalam agama Kaharingan adalah "Tabe Salamat Lingu Nalatai, Salam Sahujud Karendem Malempang" yang berasal dari bahasa Sangiang dan memiliki arti "Selamat bertemu, semoga dalam keadaan bahagia".[8] Namun kini ucapan salam tersebut disalah-artikan sebagai ucapan salam adat suku Dayak.
Agama Kaharingan mempunyai simbol tersendiri yang disebut Batang Garing, yang berarti pohon kehidupan dalam bahasa Sangiang. Simbol Batang Garing ini sudah tidak asing bagi masyarakat Dayak karena sering dijumpai pada banyak bangunan di Kalimantan bahkan menjadi motif pakaian batik suku Dayak. Akibat pemerintah Indonesia yang mewajibkan penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama resmi yang diakui oleh pemerintah Republik Indonesia, maka sejak 20 April 1980 agama Kaharingan akhirnya dikategorikan sebagai salah satu cabang dari agama Hindu (sebutannya menjadi Hindu Kaharingan).[9] Sehingga dalam pembuatan KTP, para penganut Kaharingan mencantumkan Hindu pada kolom agamanya. Seperti halnya agama Tolotang pada suku Bugis yang memiliki persamaan dengan Hindu dalam melaksanakan ritual pengorbanan hewan suci yang dalam agama Hindu disebut Yadnya, yang kemudian diresmikan menjadi Hindu Tolotang.[10]
Dahulu umat Kaharingan menjadi target para Misionaris dalam menyebarkan agama Kristen Protestan dan Katolik secara besar-besaran.[11] Dalam sejarahnya, Gereja Katolik muncul di tanah Borneo pada akhir abad ke-19. Sejarah ini dimulai dengan pembukaan sekolah misi di antara orang Dayak yang pada saat itu masih hidup komunal di dalam hutan tropis Pulau Kalimantan. Pada tahun 1835 penyebaran agama Kristen (Protestan) sudah masuk ke daerah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Upaya misionaris tersebut berhasil menjadikan sebagian rumpun suku Dayak sebagai mayoritas beragama Kristen, walau tidak secara menyeluruh dengan sebagian masih menganut kepercayaan lokal. Kegiatan pengkabaran injil masih berlaku sampai saat ini, terlebih dipedalaman Kalimantan. Ada beberapa golongan suku Dayak non-Kaharingan yang masih melakukan sebagian ritual kecil dalam agama Kaharingan sebagai tradisi adat, seperti ritual Nahunan dan ritual Hinting Pali. Dalam prosesinya, mereka akan mengundang pemuka agama Kaharingan yang mereka anggap sebagai pemuka adat Dayak untuk memimpin ritual tersebut.[12]
Meskipun begitu, masyarakat suku Dayak yang beragama samawi tidak bisa melaksanakan ritual-ritual besar dalam agama Kaharingan seperti ritual Tiwah, Wara, Ayah'an, Ijame, dan Dallok karena ritual-ritual tersebut merupakan ritual keagamaan Kaharingan. Tidak bisa dipungkiri bahwa hampir seluruh hal yang disebut sebagai adat budaya suku Dayak bersumber dari unsur ajaran agama Kaharingan. Seringkali ritual keagamaan Kaharingan disalahgunakan sebagai simbol tradisi adat kesukuan Dayak, tanpa mengetahui makna dari ritual yang dilakukan oleh para penganut Kaharingan.[13]
Gelar Pangkalima adalah gelar tertinggi bagi pemuka agama Kaharingan yang memiliki kekuatan spiritual tinggi, dan gelar "Pangkalima" ini tidak bisa diberikan kepada sembarang orang, apalagi kepada orang yang bukan penganut agama Kaharingan. Pada masa kini, pemuka agama Kaharingan yang bergelar "Pangkalima" jumlahnya lebih sedikit daripada Basir, Balian, dan Pisor. Salah satu Pangkalima umat Kaharingan yang terkenal pada masanya adalah Pangkalima Baiyoh, yang sudah meninggal dan sudah di-Tiwahkan, begitupun dengan istrinya.
Agama Kaharingan diperkenalkan kepada publik oleh Tjilik Riwut pada tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin.[14] Pada tahun 1945, pemerintah pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai nama agama Dayak. Bahkan agama Kaharingan mendapat penghargaan dan kedudukan yang terhormat, Jepang juga mengaitkan agama Kaharingan dengan agama Shinto (agama asli Jepang) untuk mencari dukungan rakyat Kalimantan untuk Perang Dunia II.[15]
Pemerintah Indonesia pada masa itu tidak menganggap Kaharingan sebagai sebuah agama sedangkan sebagai kepercayaan adat sebagai contoh animisme atau dinamisme, walaupun Kaharingan merupakan agama yang mengajarkan tentang adanya Ketuhanan.[16] Penganut Kaharingan yang tidak menerima keputusan pemerintah pada masa itu melakukan upaya untuk meresmikan agama Kaharingan sebagai agama yang diakui negara Indonesia, walau tidak berhasil. Ada banyak Agama asli Nusantara lain yang tidak diakui oleh pemerintah Indonesia, dan dikelompokkan sebagai aliran kepercayaan.[17]
Pasca tragedi G30SPKI pada tahun 1965, para penghayat agama lokal sering dituduh dan dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia atau PKI, bahkan dituduh tidak beragama sama sekali karena tidak diakui secara resmi oleh pemerintah.[18] [19] Tragedi mengenaskan sempat terjadi di Sulawesi Selatan dimana kelompok Darul Islam yang ingin membentuk Negara Islam Indonesia dalam kurun waktu 1959-1965 melakukan pembantaian besar-besaran kepada suku Bugis yang menganut agama Tolotang.[20] Kejadian ini menyebabkan banyak penganut agama Tolotang mati terbunuh dan dituduh sebagai anggota PKI.[21][22] Banyak dari penganut Tolotang yang dipaksa memeluk Islam atau jika tidak mereka akan dibunuh, namun sebagian berhasil menyelamatkan diri ke pelosok yang kemudian membentuk komunitas yang membuat kesepakatan bahwa agama Tolotang suku Bugis resmi digabungkan dengan Hindu pada 4 Juli 1966. Setelah tragedi G30SPKI itulah pemerintah Indonesia mengharuskan seluruh rakyat indonesia untuk memilih dan mencantumkan satu agama resmi pada kolom KTP, sehingga banyak penganut agama lokal yang harus rela berpindah agama dari agama leluhur ke agama resmi yang diakui negara demi tidak dituduh sebagai bagian dari PKI, juga supaya lebih mudah dalam mendapat pekerjaan. Adapula beberapa agama lokal yang digabungkan dengan Hindu oleh para penganutnya.
Mengikuti jejak penganut agama Tolotang dan agama lokal lainnya yang memilih bergabung dengan Hindu, akhirnya para penganut Kaharingan pun memilih untuk mengintegrasikan agama Kaharingan dengan Hindu pada 20 April 1980 supaya umat Kaharingan bisa memperoleh hak hidup dan hak beragama yang setara dengan masyarakat beragama lainnnya di Indonesia. Keputusan ini disepakati berdasarkan hasil pengamatan bahwa ajaran Hindu bisa disesuaikan dengan budaya lokal tanpa menghilangkan ritual serta ajaran inti Kaharingan. Contohnya seperti menghaturkan sesaji dan pengorbanan hewan suci, yang mana ajaran Hindu dan Kaharingan sama-sama melakukannya dalam banyak ritual dan upacara keagamaan. Alasan lainnya adalah karena agama Hindu merupakan salah satu agama tertua yang masuk ke Kalimantan dan dianut oleh Suku Kutai zaman dulu, dibuktikan sejak adanya Kerajaan Kutai Martadipura. Meskipun agama Kaharingan tergabung ke dalam Hindu, praktik keagamaan Kaharingan masih menjadi dominan dan diutamakan oleh penganutnya. Beberapa agama lokal di Nusantara yang resmi tergabung ke dalam Hindu meliputi :
• Agama Tirtha (agama asli Suku Bali, agama lokal pertama di Indonesia yang diakui sebagai agama Hindu, yang juga akhirnya membuat agama Hindu diakui sebagai agama resmi di Indonesia pada 1959)[7][23]
• Naurus (agama asli Suku Manusela & Suku Nuaulu, tergabung ke dalam Hindu sejak 1962).
• Tolotang (agama asli Suku Bugis, tergabung ke dalam Hindu sejak 1966)
• Aluk To Dolo (agama asli Suku Toraja, tergabung ke dalam Hindu sejak 1970)
• Pemena (agama asli Suku Karo, tergabung ke dalam Hindu sejak 1978)[24]
• Kaharingan (agama asli suku Dayak, tergabung ke dalam Hindu sejak 1980).
Kitab suci agama Kaharingan adalah Panaturan, adapun buku-buku keagamaan Kaharingan lainnya seperti Kidung Kandayu, Talatah Basarah(Kumpulan Doa), Tawur(petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya. Penganut Kaharingan di Kalimantan Tengah mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Perguruan tinggi yang menyediakan pelajaran tentang agama Kaharingan adalah IAHN Tampung Penyang yang terletak di kota Palangka Raya. Umat Kaharingan di Kalimantan Tengah setiap tahunnya akan menggelar suatu festival keagamaan yang disebut Festival Tandak Intan Kaharingan yang mana kegiatannya mencakup beberapa perlombaan keagamaan Kaharingan seperti lomba melantunkan Karungut, lomba membaca kitab suci Panaturan, lomba melantunkan kidung Kandayu, lomba tari tradisional Dayak, dan masih banyak lagi. Penutup kepala atau topi tradisional umat beragama Kaharingan saat melaksanakan ritual keagamaan di Kalimantan Tengah disebut Lawung, yang kini dikira sebagai topi adat Suku Dayak oleh banyak orang awam. Suku Dayak Ngaju pada zaman dulu pernah mendirikan kerajaan dengan corak agama Kaharingan yang bernama Kerajaan Tanjung Pematang Sawang dengan dipimpin oleh seorang ratu yang terkenal bernama Nyai Undang. Dan kini sisa peninggalan kerajaan tersebut masih bisa dijumpai pada beberapa daerah di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Gunung Mas, seperti situs "Kuta Bataguh" (benteng Bataguh) yang berada di Kabupaten Kapuas, dan situs Pasah Patahu "Tambun Bungai" serta Sandung milik "Tamanggung Sempung"(ayah Nyai Undang) yang berada di Kabupaten Gunung Mas.
Penganut Kaharingan di Kalimantan Selatan, khususnya Suku Dayak Meratus, Suku Dayak Deah, Suku Dayak Halong, dan Suku Dayak Pitap juga mempunyai tempat ibadah yang disebut Balai Adat Agama Kaharingan. Beberapa upacara keagamaan Kaharingan yang sering dilakukan di Kalimantan Selatan meliputi :
• Aruh Adat
• Aruh Baharin
• Aruh Bawanang
• Aruh Buntang, dan masih banyak lagi.
Upacara Aruh tersebut bertujuan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas penganugerahan hasil panen padi yang melimpah, dan sekaligus penghormatan terhadap arwah para leluhur yang diyakini senantiasa melindungi mereka dari malapetaka. Suku Dayak Maanyan pada zaman dulu juga pernah mendirikan kerajaan dengan corak agama Kaharingan yang bernama Nan Sarunai yang terletak di Kalimantan Selatan.
Suku Dayak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara sudah banyak menganut Islam dan Kristen, dan tersisa sebagian kecil masyarakat Suku Kutai di Kalimantan Timur yang masih menganut Kaharingan.
Ada sebagian penganut Kaharingan yang masih memperjuangkan hak, yaitu menuntut pemerintah Indonesia khususnya Mahkamah Konstitusi supaya mengakui agama Kaharingan sebagai agama resmi di Indonesia. Upaya ini dilakukan karena ada beberapa kelompok suku Dayak penganut agama samawi yang melaksanakan ritual agama Kaharingan dengan mengubah beberapa prosesi ritual yang dianggap musyrik oleh ajaran agama tersebut. Sehingga dimodifikasi supaya bisa disebut sebagai adat dan bisa dilaksanakan secara umum.[25] Hal ini ditakutkan akan menggeser identitas penganut agama Kaharingan. Masih ada banyak hal yang menyebabkan sebagian penganut Kaharingan memperjuangkan agamanya, alasan lainnya karena sejatinya agama Kaharingan adalah agama asli Kalimantan yang termasuk ke dalam wilayah Negara Indonesia, namun tidak diakui sebagai agama.
Ketika membuat E-KTP, banyak masyarakat Dayak Meratus penganut agama Kaharingan yang memilih mengosongkan kolom agamanya, namun sebagian lainnya memilih mencantumkan Hindu. Sejak adanya keputusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2017 yang memperbolehkan penganut agama leluhur untuk mencantumkan agama nya pada KTP, kini sudah ada beberapa masyarakat Dayak Meratus yang memilih agama Kaharingan ke dalam kolom agama, sehingga tertulis "Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa".
Organisasi keagamaan Hindu Kaharingan adalah Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan (MBAHK) yang pusatnya di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Dan sebagian penganut Kaharingan yang menentang integrasi dengan agama Hindu dan berpaham Kaharingan sebagai agama mandiri akhirnya mendirikan Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) di Kalimantan Tengah[26][27][28][29][30] serta Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan (MUKK) di Kalimantan Selatan.[31][32][33]
Kerajaan ini diperkirakan sudah ada pada abad ke-8 sampai abad ke-14 Masehi dengan ratu yang terkenal akan kecantikannya yaitu Ratu Nyai Undang, didampingi oleh dua rekannya yang juga terkenal yaitu Pangeran Tamanggung Tambun yang merupakan anak dari Tamanggung Sarupoi (Raja Kerajaan Suku Ot Danum), serta Pangeran Tamanggung Bungai yang merupakan adik kandung Nyai Undang. Tambun dan Bungai mendapat gelar dari Nyai Undang Raja di Pematang Sawang yaitu gelar “Tamanggung Tambun Terjun Ringkin Duhung” dan “Tamanggung Bungai Andin Sindai” karena keberanian mereka berdua dalam berperang mempertahankan kerajaan. Kini nama Tambun dan Bungai diabadikan sebagai julukan bagi Provinsi Kalimantan Tengah, julukannya yaitu "Bumi Tambun Bungai".
Kerajaan Nan Sarunai adalah pemerintahan masa lampau yang muncul dan berkembang di wilayah yang sekarang termasuk dalam daerah administratif Provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia, tepatnya di antara wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong. Daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai adalah meliputi sebagian besar tempat yang sekarang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Diperkirakan, wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai terbentang luas dari Tabalong hingga ke daerah Paser. Orang-orang Suku Dayak Maanyan, ketika sudah mendirikan Kerajaan Nan Sarunai, sering berpindah-pindah tempat bermukim, namun masih berlokasi di sekitar Sungai Tabalong dan dekat dengan Pegunungan Meratus. Beberapa tempat yang pernah menjadi wilayah permukiman orang-orang Suku Dayak Maanyan sekaligus sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Nan Sarunai antara lain: Tumpuk Lalung Kuwung Gumi Rarak Ransai, Tumpuk Pupur Purumatung, Tumpuk Sida Matung, Tumpuk Laliku Meah, Pulau Hujung Tanah, Kuripan, Margoni, Sinobala, dan Lalung Nyawung.
Ketuhanan
Masyarakat Dayak yang masih memegang teguh agama Kaharingan percaya adanya Tuhan tunggal yang mempunyai beberapa sebutan berbeda antara satu suku Dayak dan suku Dayak lainnya, namun mayoritas umat Kaharingan menyebut Tuhan dengan sebutan "Ranying Hatalla Langit". Walaupun penyebutannya berbeda, tetap saja memiliki arti sebagai 'Tuhan Yang Maha Esa' atau Pencipta Alam Semesta. Beberapa penyebutan Tuhan dalam agama Kaharingan diantaranya : "Ranying Hatalla Langit" (bahasa Sangiang), "Suwara" (bahasa Dayak Meratus), "Yustu Ha Lattala" (bahasa Dayak Dusun), "Lahtala" (bahasa Dayak Benuaq), "Moho Tara Danum Diang" (bahasa Dayak Siang dan Bahasa Ot Danum/Kadorih), "Talamana Tuah Hukat" (bahasa Dayak Maanyan), "Jubata" (bahasa Dayak Kanayatn), "Petara" (bahasa Dayak Kenyah), "Penompa" (bahasa Dayak Jangkang), dan masih banyak lagi. Kemudian penganut Kaharingan percaya bahwa ada penguasa lain dibawah kekuasaan Tuhan seperti: Raja Sangiang (Dayak Ngaju), Raja Sangen, Puyang Gana (Dayak mualang) sebagai penguasa tanah , Raja Juata (penguasa Air), Kama”Baba (penguasa Darat), Apet Kuyan'gh (Dayak Mali), Uwokng (Dayak Benuaq), dan masih banyak lagi.
Konsep Kepercayaan
Ada banyak sekali konsep kepercayaan yang dihayati oleh penganut Kaharingan, dengan penyebutan Tuhan yang berbeda, hal ini terjadi karena bahasa yang digunakan pun berbeda-beda pula di tiap daerah Kalimantan.
1. Konsep Kepercayaan Kaharingan dalam bahasa Dayak Meratus meliputi :
2. Konsep Kepercayaan Kaharingan dalam bahasa Dayak Sangiang disebut Lime Sarahan, artinya "lima pengakuan" yang meliputi :
Istilah persembahyangan dalam agama Kaharingan yang sering terdengar di kalangan suku Dayak adalah Basarah, khususnya suku Dayak di Kalimantan Tengah. Basarah artinya berserah diri kepada Ranying Hatalla (Tuhan). Terdapat 3 macam Basarah, yakni:
Dalam melaksanakan Basarah umum dan Basarah keluarga, sarana persembahyangan yang wajib disediakan adalah Sangku Tambak Raja, yang meliputi :
Adapun kidung suci yang di nyanyikan saat Basarah Umum dan Basarah Keluarga, yaitu :
Basarah Umum diawali dengan mensucikan Sangku Tambak, disebut dengan Manggaru Sangku Tambak Raja. Sangku Tambak yang sudah lengkap akan diangkat dan disucikan secara memutar di atas Parapen sembari melantunkan kidung Tandak, yaitu doa untuk mensucikan Sangku yang dinyanyikan dengan nada dan cengkok yang khas. Manggaru Sangku dilakukan oleh Mantir Basarah atau bisa juga salah satu umat yang bersedia atas permintaan Mantir Basarah, hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan kesempatan pada semua umat Kaharingan untuk percaya diri dan semangat dalam beribadah. Karena Tandak dan Karungut adalah seni suara yang diwariskan melalui umat agama Kaharingan.
Setelah Manggaru Sangku, kemudian dilanjutkan dengan do'a Tamparan Basarah(memulai Basarah) yang dipimpin oleh Mantir Basarah, setelah itu dilanjut dengan melantunkan Kandayu Manyarah Sangku Tambak Raja yang dinyanyikan secara massal. Tahapan selanjutnya adalah pembacaan kitab suci Panaturan oleh Mantir Basarah, disusul dengan menyanyikan Kandayu Mantang Kayu Erang bersama-sama. Di pertengahan basarah, tibalah saatnya mendengarkan Pandehen(wejangan/ceramah) dari Mantir Basarah yang berlandaskan isi dari kitab suci Panaturan maupun peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, lalu dilanjutkan dengan menyanyikan Kandayu Parawei bersama-sama. Mendekati akhir peribadahan, Mantir Basarah akan memimpin do'a penutup Basarah, lalu mengucapkan Sahey sebanyak 3 kali di akhir do'a. Sahey adalah mantra penutup do'a dalam agama Kaharingan, memiliki makna yang sama dengan "Amin" dalam agama lain.
Dan tahapan Basarah yang paling akhir adalah menyanyikan Kandayu Mambuwur Behas Hambaruan yang diiringi dengan pemberian berkat kepada semua yang beribadah menggunakan 4 sarana yang diambil dari Sangku Tambak Raja, yaitu:
Pemberian berkat ini dilakukan oleh empat orang kepada seluruh orang yang Basarah, termasuk keempat pemberi berkat itu sendiri. Tahapan Pemberian berkat dilakukan secara berututan, diawali dari menabur beras Hambaruan pada pucuk kepala, kemudian memercikan air Tampung Tawar pada pucuk kepala maupun telapak tangan, kemudian mengoleskan telur ayam mentah pada dahi menggunakan uang koin atau bulu ekor burung tingang, dan yang terakhir adalah mengoleskan minyak kelapa pada rambut. Kandayu Mambuwur Behas Hambaruan tidak boleh berhenti dinyanyikan jika semua orang yang beribadah belum diberikan ke-empat berkat tersebut.
Masyarakat Dayak sangat menjunjung tinggi keberadaan burung Enggang badak atau Rangkong badak karena burung ini dianggap sebagai lambang kebesaran, perdamaian, dan persatuan. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Dayak, burung Enggang senantiasa ada dalam bentuk patung keramat tempat ibadah umat Kaharingan, lukisan, pakaian adat, bangunan rumah, balai desa, monumen, pintu-pintu gerbang, bahkan digunakan sebagai hiasan antik di rumah maupun ukiran patung di kuburan.[34]
Dalam agama Kaharingan, burung Enggang memiliki makna yang luas. Berdasarkan mitologi agama Kaharingan, di Lewu Batu Nindan Tarung (alam atas), Tingang Rangga Bapantung Nyahu(burung Tingang/Enggang/Rangkong) adalah salah satu manifestasi Ranying Hatalla melalui perubahan wujud Luhing Pantung Tingang (Lawung/penutup atau ikat kepala) yang dipakai oleh Raja Bunu ketika ia menerima Danum Nyalung Kaharingan Belum(air suci kehidupan).
Seperti yang terdapat pada ayat-ayat kitab suci Panaturan, yaitu pasal 27 ayat 21 :
"Hayak auh nyahu batengkung ngaruntung langit,
Homboh malentar kilat basiring hawun
Luhing pantung tingang basaluh manjari Tingang Rangga Bapantung Nyahu."
Artinya :
"Bersama bunyi guntur menggemuruh memenuhi alam semesta
Petir halilintar menggetarkan buana
Luhing Pantung Tingang berubah menjadi Tingang Rangga Bapantung Nyahu (burung Tingang/Enggang/Rangkong)."
Kemudian burung Tingang tersebut tinggal dan menempati Lunuk Jayang Tingang Sempeng Tulang Tambarirang (pohon beringin). Sehingga pada saat umat Kaharingan melakukan upacara Balian Balaku Untung, wujud burung Enggang/Tingang yang ada dalam pohon beringin akan memberkati kehidupan manusia melalui perjalanan Banama Tingang(perahu). Oleh karena itu umat Kaharingan tidak boleh bersikap sembarangan di depan pohon beringin, dan jika ingin menebang pohon beringin haruslah melakukan ritual terlebih dahulu. Oleh karena itu pula dalam ibadah rutin Basarah yang dilakukan umat Kaharingan, diharuskan adanya Dandang Tingang(bulu ekor burung Tingang/Enggang) sebagai sarana wajib di dalam Sangku Tambak Raja supaya umat yang beribadah mendapatkan Bulau Untung Aseng Panjang(berkat dan karunia-NYA).
Dari filsafat agama Kaharingan, warna dari Dandang Tingang(bulu ekor Enggang) memiliki makna simbolis dalam kehidupan umat Kaharingan, yaitu :
Jenis atau istilah adat rukun kematian agama Kaharingan dalam suku Dayak Maanyan meliputi Ngalangkang, Nambak, Ngatet Panuk, Wara, Wara Myalimbat, Ijambe, Bontang, Kedaton, Manenga Lewu, dan Marabia "Hanya boleh dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan September setiap tahun". Kecuali upacara kematian agama Kaharingan suku Dayak Lawangan, upacara kematiannya hanya Wara.
Ketentuan waktu lamanya upacara adat rukun kematian agama Kaharingan meliputi: