Katsuobushi (鰹節 ) adalah makanan awetan berbahan baku ikan cakalang (katsuo). Katsuobushi diserut menjadi seperti serutan kayu untuk diambil kaldunya yang merupakan bahan dasar masakan Jepang, ditaburkan di atas makanan sebagai penyedap rasa, atau dimakan begitu saja sebagai teman makan nasi.
Katsuobushi yang sudah diserut tipis, berwarna coklat muda hingga merah jambu sedikit bening umumnya dijual dalam kemasan plastik. Katsuobushi sebagai penyedap makanan biasanya ditaburkan di atas hiyayako (tahu dingin), okonomiyaki dan takoyaki. Katsuobushi yang sudah diserut disebut kezuribushi.
Pengawetan ikan cakalang menjadi katsuobushi umum dilakukan di beberapa negara seperti Jepang dan kepulauan Maladewa. Teknik pengawetan ikan menjadi katsuobushi sudah dikenal di Jepang sejak sebelum zaman Edo. Katsuobushi disebut juga ikan kayu karena ikan cakalang yang sudah diolah menjadi sangat keras seperti kayu, sehingga sebelum digunakan harus diserut dengan alat ketam.
Ikan dibelah menjadi 2 bagian untuk membuang bagian tulang, menyisakan bagian daging ikan berbentuk lengkungan seperti kapal yang disebut fushi (節 ). Daging ikan kemudian diproses sehingga produk akhirnya disebut katsuobushi.
Pemrosesan terdiri dari berbagai tahap, sebutan untuk ikan cakalang yang hanya direbus dan dikeringkan adalah namaribushi. Tahap selanjutnya adalah memproses namaribushi dengan cara pengasapan atau pengapangan untuk menumbuhkan berjenis-jenis kapang di atas permukaannya. Produk akhir yang sering digunakan dalam masakan Jepang adalah katsuobushi yang mengalami pengapangan dan namaribushi.
Katsuobushi kaya dengan vitamin B kompleks dan banyak mengandung inosine dan unsur umami sehingga selalu digunakan di Jepang sebagai bumbu dapur atau penyedap. Dalam istilah orang Jepang, umami adalah rasa "lezat" yang merupakan rasa tambahan dari empat rasa utama yang umum: manis, asam, asin, dan pahit.
Katsuobushi hasil pengapangan disebut karebushi (枯節 ) yang mengandung lebih banyak unsur umami dan vitamin B dibandingkan katsuobushi biasa.
Ikan cakalang adalah ikan yang sudah dikonsumsi orang Jepang sejak zaman kuno. Dari beberapa situs penggalian seperti di Hachinohe (Prefektur Aomori) berhasil ditemukan sisa-sisa ikan cakalang bekas dimakan orang zaman Jomon. Walaupun ada kemungkinan teknik pengeringan ikan cakalang sudah dikuasai orang Jepang sejak abad ke-5, hasil akhirnya mungkin sangat berbeda dengan katsuobushi yang dikenal sekarang. Berdasarkan catatan zaman kuno juga diketahui teknik pengolahan ikan cakalang yang sesudah jadi lebih mirip ikan kering.
Menurut kitab hukum Fuyakuryō (賦役令 , fuyakuryō atau buyakuryō) dan Kitab Undang-Undang Taihō terbitan tahun 701 (zaman Asuka), ikan cakalang kering ditetapkan sebagai upeti atau barang persembahan, bersama-sama dengan ikan cakalang, ikan cakalang masak nimono, dan air kaldu ikan cakalang. Pada zaman dulu, ikan cakalang adalah upeti yang dikirimkan dari provinsi seperti Izu, Suruga, Shima, Sagami, Awa (安房 ), Kii, Awa (阿波 ), Tosa, Bungo, dan Himuka.
Pengolahan ikan cakalang dari zaman Muromachi mempunyai hasil akhir yang mirip dengan katsuobushi yang dikenal sekarang. Hanakatsuo (花鰹 ) disebut-sebut dalam buku masak terkenal dari zaman Muromachi yang berjudul Shijōryū Hōchōsho (四条流包丁書 ). Kemungkinan besar hanakatsuo yang disebut dalam buku masak zaman Muromachi adalah produk awetan ikan cakalang yang sangat keras, sehingga harus diserut dengan alat ketam dan bukan berupa ikan cakalang kering.
Teknik pengasapan baru dikenal pada zaman Edo. Teknik menghilangkan air dari dalam daging ikan dengan cara pengasapan kemungkinan mulai dilakukan pengolah ikan bernama Jintarō dari wilayah Kishu (Kumano). Kabibushi (かび節 ) adalah jenis katsuobushi yang dimatangkan dengan cara pengapangan. Teknik pembuatan kabibushi yang kemudian meluas ke seluruh Jepang kabarnya diciptakan oleh Tosano Yoichi yang juga berasal dari Kishu. Pada zaman dulu, pengolahan ikan cakalang di Jepang berpusat di daerah-daerah pantai Samudra Pasifik seperti Satsuma, Tosa, Awa, Kii, Shima, Ise, dan Izu.
Pada zaman Edo peringkat kualitas katsuobushi dibuat seperti peringkat pesumo. Kualitas atas yang disebut kelas gyoji (行司 , gyōji, wasit) ditempati asobushi dari Ise, namikiribushi dari Shima. Sementara itu, shimizubushi dari Shizuoka dan yakushimabushi dari Satsuma menempati peringkat nomor dua atau kelas Ozeki. Masakan berkelas khas Kyoto yang disebut kyōryōri banyak menggunakan katsuobushi kelas gyōji. Namikiribushi dan karebushi banyak dipakai dalam masakan chagaisekiryōri, hidangan kuil agama Buddha dan Shinto di Kyoto. Kemajuan transportasi laut pada zaman Edo memungkinkan katsuobushi yang berasal dari Kyushu dan Shikoku untuk diangkut sampai ke Edo.
Sesudah zaman Meiji, pengolahan ikan cakalang juga dilakukan di Pulau Uotsuri yang terletak di Kepulauan Senkaku, dan di pulau-pulau di sebelah selatan Samudra Pasifik yang ditetapkan Liga Bangsa-Bangsa sebagai wilayah mandat Jepang. Pengolahan ikan cakalang dari kepulauan Samudra Pasifik ini berkembang dengan pesat karena harga-harga lokal yang murah, tetapi kemudian industri ini tamat akibat Perang Dunia II.
Katsuobushi adalah bahan dasar kaldu yang disebut dashi dan merupakan bumbu dapur masakan Jepang yang paling utama. Dalam bahasa Jepang, sanmai oroshi (三枚おろし , tiga potong, belah) adalah cara membelah ikan menjadi 3 bagian, yang terdiri dari 2 bagian daging dan 1 bagian tulang yang tidak digunakan.
Jenis-jenis katsuobushi menurut bagian ikan hasil sanmai oroshi:
Pada zaman dulu, katsuobushi hanya diserut seperlunya sebelum digunakan untuk memasak, sehingga alat ketam merupakan peralatan dapur yang harus dimiliki oleh semua rumah tangga di Jepang. Alat ketam untuk menyerut katsuobushi mirip dengan alat ketam yang digunakan tukang kayu, hanya saja letak mata pisau berada di atas dan bukan di bawah. Sebuah kotak kecil menyerupai laci yang bisa dibuka dan ditutup dipakai untuk mengumpulkan hasil serutan. Nama resmi untuk alat ketam katsuobushi adalah ogura shiki katsuobushi kezuriki (小倉式鰹節削り器 , alat serut katsuobushi cara Ogura) yang diciptakan oleh warga Tokyo bernama Ogura.
Pada zaman sekarang, katsuobushi dijual dalam keadaan sudah diserut dalam kemasan kedap udara berisi nitrogen. Katsuobushi yang dijual dalam sudah diserut tidak berbau seharum aroma katsuobushi yang baru diserut. Rumah makan tradisional Jepang (ryotei) umumnya memilih untuk menyerut sendiri.
Katsuobushi digunakan pada masakan Jepang yang dibuat dengan cara nimono (merebus dengan kecap asin dan mirin), dimakan begitu saja dengan sedikit kecap asin (o-kaka), atau digunakan sebagai isi onigiri. Katsuobushi yang umum digunakan untuk memasak adalah Hanakatsuo yang merupakan serutan Arakezuri. Rumah makan tradisional Jepang (ryotei) lebih memilih menggunakan karebushi yang harganya mahal namun berkualitas tinggi dan jauh lebih enak.
Cara pembuatan yang sama (biasanya sampai tahap arabushi) juga sering dilakukan terhadap berjenis-jenis ikan lain.