Kebebasan kognitif atau "hak untuk menentukan nasib sendiri secara mental", adalah kebebasan individu untuk mengontrol proses mental, kognisi, dan kesadaran diri mereka sendiri. Konsep ini telah menjadi bahan perdebatan sebagai perpanjangan dari prinsip yang mendasarinya, yaitu hak atas kebebasan berpikir.[1][2][3] Meskipun konsep ini relatif baru diperkenalkan, banyak ahli teori melihat kebebasan kognitif sebagai konsep yang semakin penting karena kemajuan teknologi dalam neurosains memungkinkan kemampuan yang terus berkembang untuk secara langsung memengaruhi kesadaran.[4] Kebebasan kognitif bukanlah hak yang diakui dalam perjanjian hak asasi manusia internasional mana pun, tetapi telah memperoleh tingkat pengakuan yang terbatas di Amerika Serikat, dan dianggap sebagai prinsip yang mendasari sejumlah hak yang diakui.[5]
Istilah "kebebasan kognitif" diciptakan oleh ahli neuroetika Dr. Wrye Sententia dan ahli teori hukum sekaligus pengacara Richard Glen Boire yang merupakan pendiri dan direktur lembaga nirlaba Center for Cognitive Liberty and Ethics (CCLE).[6] Sententia dan Boire menjelaskan kebebasan kognitif sebagai "hak setiap individu untuk berpikir secara mandiri dan otonom, untuk menggunakan segenap daya dari pikirannya, dan untuk terlibat dalam berbagai mode pemikiran."[1]
Sententia dan Boire memahami konsep kebebasan kognitif sebagai tanggapan terhadap peningkatan kemampuan teknologi yang dapat memantau dan memanipulasi fungsi kognitif, dan peningkatan dalam kebutuhan untuk memastikan otonomi kognitif dan privasi individu.[7] Sententia membagi penerapan praktis kebebasan kognitif menjadi dua prinsip:
Kedua aspek dari kebebasan kognitif ini mengingatkan pada "Dua Perintah untuk Zaman Molekuler" Timothy Leary dalam bukunya pada tahun 1968 yang berjudul The Politics of Ecstasy:
Oleh sebab itu, para pendukung kebebasan kognitif berusaha untuk memaksakan kewajiban negatif dan positif pada negara, supaya menahan diri dari campur tangan yang melibatkan proses kognitif individu secara non-konsensual, dan untuk mengizinkan individu menentukan sendiri "alam batin" mereka sendiri dan mengendalikan fungsi mental mereka sendiri.[10]
Kewajiban pertama, yaitu untuk menahan diri dari campur tangan yang melibatkan proses kognitif individu secara non-konsensual, bertujuan untuk melindungi individu dari proses pengubahan atau pemantauan mental seseorang tanpa persetujuan atau sepengetahuan orang tersebut sehingga nampak seperti "mendirikan tembok pertahanan terhadap gangguan yang tidak diinginkan".[10] Perkembangan yang berjalan pada neuroteknologi seperti stimulasi magnetik transkranial dan elektroensefalografi (atau "sidik jari otak"), dan farmakologi dalam bentuk selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) seperti Nootropika, Modafinil dan obat psikotropika lainnya yang secara berkelanjutan meningkatkan kemampuan untuk memantau dan secara langsung mempengaruhi kognisi manusia.[11][12][13] Sebagai akibatnya, banyak ahli teori yang kemudian menekankan pentingnya mengakui kebebasan kognitif untuk melindungi individu dari negara yang menggunakan teknologi semacam itu untuk mengubah proses mental individu tersebut. Dikatakan bahwa "negara harus dilarang menyerang lingkungan batin seseorang, dari mengakses pikiran mereka, memodulasi emosi mereka atau memanipulasi preferensi pribadi mereka."[14] Kekhawatiran etika secara khusus mengenai penggunaan teknologi ilmu saraf untuk mengganggu atau menyerang otak menciptakan bidang ilmu neuroetika dan neuroprivasi.[15]
Elemen kebebasan kognitif ini diangkat dalam kaitannya dengan sejumlah intervensi yang disetujui negara dalam kognisi individu, dari "pengobatan" psikiatri wajib terhadap kaum homoseksual di AS sebelum tahun 1970-an, hingga pemberian obat-obatan psikotropika non-konsensual kepada warga negara AS tanpa disadari selama Proyek MKUltra CIA, hingga pemberian paksa obat pengubah pikiran pada individu untuk membuat mereka mampu menjalani proses pengadilan secara sah.[16][17] Seorang futuris dan ahli bioetika George Dvorsky yang merupakan ketua Dewan Institute for Ethics and Emerging Technologies telah mengidentifikasi elemen kebebasan kognitif ini sebagai relevansi dengan perdebatan seputar penyembuhan kondisi spektrum autisme.[18] Profesor Fakultas Hukum Universitas Duke Nita A. Farahany juga mengusulkan dasar hukum untuk melindungi kebebasan kognitif sebagai jalan untuk memastikan adanya perlindungan seseorang dari tindakan yang memberatkan diri sendiri dalam proses pengadilan yang tertulis pada Amendemen Kelima Konstitusi AS. Hal ini diperlukan karena meningkatnya kemampuan untuk mengakses ingatan manusia yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk memberatkan terdakwa di pengadilan[19]
Meskipun elemen kebebasan kognitif ini sering didefinisikan sebagai kebebasan individu dari campur tangan negara dengan kognisi manusia, Jan Christoph Bublitz, Reinhard Merkel, dan pakar lain menyarankan bahwa kebebasan kognitif juga harus dapat mencegah entitas lain yang bukan negara untuk mengganggu "alam batin" mental individu.[20][21] Bublitz dan Merkel mengusulkan pengantar tindak pidana baru yang menghukum "intervensi yang sangat mengganggu integritas mental orang lain dengan merusak kontrol mental atau mengeksploitasi kelemahan mental yang sudah ada sebelumnya."[21] Intervensi langsung yang mengurangi atau merusak kapasitas kognitif seperti memori, konsentrasi, dan kemauan; mengubah preferensi, keyakinan, atau perilaku; memancing emosi yang tidak tepat; atau menimbulkan cedera mental yang dapat diidentifikasi secara klinis dinyatakan ilegal secara prima facie dan dapat dituntut pidana.[22] Sententia dan Boire juga telah menyatakan kekhawatirannya bahwa perusahaan dan entitas non-negara lainnya mungkin menggunakan teknologi saraf yang muncul untuk mengubah proses mental individu tanpa persetujuan individu tersebut.[7][20]
Apabila kewajiban pertama berusaha untuk melindungi individu dari campur tangan dengan proses kognitif oleh negara, perusahaan atau individu lain, kewajiban kedua ini berusaha untuk memastikan bahwa individu memiliki kebebasan untuk mengubah atau meningkatkan kesadaran mereka sendiri.[20] Seorang individu yang menikmati aspek kebebasan kognitif ini memiliki kebebasan untuk mengubah proses mental mereka dengan cara apa pun yang mereka inginkan; baik melalui metode tidak langsung seperti meditasi, yoga atau doa; atau melalui intervensi kognitif langsung melalui obat-obatan psikotropika atau neuroteknologi.
Karena obat-obatan psikotropika adalah metode yang ampuh untuk mengubah fungsi kognitif, banyak pendukung kebebasan kognitif juga merupakan pendukung reformasi hukum narkoba; mengklaim bahwa "perang melawan narkoba" sebenarnya adalah "perang melawan kondisi mental".[23] CCLE, serta kelompok advokasi kebebasan kognitif lainnya seperti Cognitive Liberty UK, telah melobi untuk pemeriksaan ulang dan reformasi undang-undang obat terlarang. Salah satu prinsip panduan utama CCLE adalah bahwa: "pemerintah tidak boleh melarang secara pidana peningkatan kognitif atau pengalaman kondisi mental apa pun".[24] Seruan untuk melakukan reformasi pembatasan penggunaan resep obat peningkatan kognitif (juga disebut obat pintar atau nootropika) seperti Prozac, Ritalin dan Adderall juga telah dibuat dengan dasar kebebasan kognitif.[25]
Elemen kebebasan kognitif ini juga sangat penting bagi para pendukung gerakan transhumanis, yang prinsip utamanya adalah peningkatan fungsi mental manusia. Dr Wrye Sententia telah menekankan pentingnya kebebasan kognitif dalam memastikan kebebasan untuk mengejar peningkatan mental manusia, serta kebebasan untuk memilih melawan peningkatan.[26] Sententia berpendapat bahwa pengakuan "hak untuk (dan tidak) mengarahkan, memodifikasi, atau meningkatkan proses berpikir seseorang" sangat penting untuk penerapan secara bebas neuroteknologi yang muncul untuk meningkatkan kognisi manusia; dan bahwa sesuatu di luar konsepsi kebebasan berpikir saat ini diperlukan.[27] Sententia mengklaim bahwa "kekuatan kebebasan kognitif adalah melindungi mereka yang memang ingin mengubah otak mereka, tetapi juga mereka yang tidak".[26]
Kebebasan kognitif saat ini tidak diakui sebagai hak asasi manusia oleh perjanjian hak asasi manusia internasional mana pun.[10] Sementara kebebasan berpikir diakui oleh Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR), kebebasan berpikir dapat dibedakan dari kebebasan kognitif di mana yang pertama berkaitan dengan melindungi kebebasan individu untuk berpikir apa pun yang mereka inginkan, sedangkan kebebasan kognitif adalah yang terkait dengan perlindungan kebebasan individu untuk berpikir bagaimana pun yang mereka inginkan.[28] Kebebasan kognitif berusaha untuk melindungi hak individu untuk menentukan keadaan pikiran mereka sendiri dan bebas dari kontrol eksternal atas keadaan pikiran mereka, daripada hanya melindungi isi pikiran individu.[29] Telah dikemukakan bahwa kurangnya perlindungan kebebasan kognitif dalam instrumen hak asasi manusia sebelumnya adalah karena relatif kurangnya teknologi yang mampu secara langsung mengganggu otonomi mental pada saat perjanjian inti hak asasi manusia dibuat.[20] Karena pikiran manusia saat itu dianggap kebal terhadap manipulasi, kontrol, atau perubahan langsung, maka dianggap tidak perlu secara tegas melindungi individu dari gangguan mental yang tidak diinginkan.[14] Namun, dengan kemajuan modern dalam ilmu saraf dan dalam mengantisipasi perkembangannya di masa depan, dikatakan bahwa perlindungan tegas semacam itu menjadi semakin diperlukan.[30]
Kebebasan kognitif kemudian dapat dilihat sebagai perpanjangan atau "pembaruan" hak atas kebebasan berpikir seperti yang dipahami secara tradisional.[26] Kebebasan berpikir sekarang harus dipahami termasuk hak untuk menentukan keadaan mentalnya sendiri serta isi pikirannya. Namun, beberapa orang malah berpendapat bahwa kebebasan kognitif sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka hak asasi manusia internasional sebagai prinsip yang mendasari hak atas kebebasan berpikir, berekspresi, dan beragama.[31] Kebebasan untuk berpikir dengan cara apa pun yang dipilih seseorang adalah "prasyarat yang diperlukan untuk kebebasan yang dijamin tersebut." [29] Daniel Waterman dan Casey William Hardison berpendapat bahwa kebebasan kognitif adalah dasar dari Kebebasan Berpikir karena mencakup kemampuan untuk memiliki jenis pengalaman tertentu, termasuk hak untuk mengalami keadaan kesadaran yang berubah atau tidak biasa.[32] Juga dikemukakan bahwa kebebasan kognitif dapat dilihat sebagai bagian dari martabat yang melekat pada manusia sebagaimana diakui oleh Pasal 1 UDHR.[31]
Namun, sebagian besar pendukung kebebasan kognitif setuju bahwa kebebasan kognitif harus secara tegas diakui (pengakuan terpisah dari hak kebebasan berpikir) sebagai hak asasi manusia untuk memberikan perlindungan yang tepat bagi otonomi kognitif individu.[20][33][34]
Richard Glen Boire dari Center for Cognitive Liberty and Ethics mengajukan amicus curiae ke Mahkamah Agung AS dalam kasus Sell v. Amerika Serikat, di mana Mahkamah Agung memeriksa apakah pengadilan memiliki kekuatan untuk membuat perintah untuk memberikan obat antipsikotik secara paksa kepada seseorang yang telah menolak pengobatan tersebut, dengan tujuan tunggal yaitu membuat mereka secara sah dapat diadili.[35][36]
Dalam kasus R v Hardison, terdakwa yang dijerat dengan delapan tuduhan berdasarkan Undang-Undang Penyalahgunaan Narkoba 1971 (MDA), termasuk produksi DMT dan LSD, mengklaim bahwa kebebasan kognitif dilindungi oleh Pasal 9 Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia.[37] Hardison berpendapat bahwa "kedaulatan individu atas lingkungan dalam diri seseorang merupakan inti dari jalan menuju kebebasan", dan bahwa karena obat-obatan psikotropika adalah metode ampuh untuk mengubah proses mental individu, larangan mereka di bawah MDA bertentangan dengan Pasal 9.[38] Namun pengadilan tidak setuju, menyebut argumen Hardison sebagai "pertahanan portmanteau" dan mengandalkan Konvensi Narkoba PBB serta kasus sebelumnya R v Taylor untuk menolak hak Hardison untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi.[39] Hardison dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara 20 tahun, meskipun ia dibebaskan pada 29 Mei 2013 setelah sembilan tahun penjara.[39]
Walau tidak banyak kritik yang dipublikasikan terhadap konsep kebebasan kognitif itu sendiri, reformasi kebijakan narkoba dan konsep peningkatan kemampuan manusia, keduanya terkait erat dengan kebebasan kognitif, tetap menjadi isu yang sangat kontroversial.[40] Perkembangan ilmu saraf baru-baru ini meningkatkan kemungkinan mengendalikan dan memengaruhi fungsi mental tertentu.[41] Risiko yang melekat dalam menghapus pembatasan obat-obatan peningkat kognitif terkontrol, termasuk memperlebar kesenjangan antara mereka yang mampu membayar perawatan tersebut dan mereka yang tidak mampu melakukannya, telah menyebabkan banyak orang tetap skeptis tentang kebijaksanaan mengakui kebebasan kognitif sebagai hak.[42] Filsuf politik dan profesor Universitas Harvard Michael J. Sandel, ketika memeriksa prospek peningkatan memori, menulis bahwa "beberapa orang khawatir tentang etika peningkatan kognitif karena adanya bahaya dari terciptanya dua kelas manusia, yaitu mereka yang memiliki akses ke teknologi peningkatan, dan mereka yang harus puas dengan ingatan yang tidak berubah yang memudar seiring bertambahnya usia."[43] Kebebasan kognitif kemudian menghadapi oposisi secara tidak langsung dalam perdebatan yang saling terkait ini. Namun keberatan terhadap peningkatan kognitif ini tidak hilang dan perdebatan masih berlanjut.[40]