Kerajaan Tanete (atau kadang ditulis Tanette) adalah salah satu kerajaan lokal yang berada di Sulawesi Selatan, bekas wilayah kerajaan ini sekarang berada dalam administrasi Kabupaten Barru. Kerajaan ini didirikan pada pertengahan abad ke-16 dengan nama Kerajaan Agangnionjo, kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Tanete.
Pada awalnya di daerah tersebut sebelum terbentuknya Kerajaan Tanete bernama Agangnionjo, terdapat beberapa kerajaan kecil di Agangnionjo yang dipimpin masing-masing seorang raja atau arung, diantaranya Kerajaan Pangi dan Kerajaan Alekale. Perintis awal munculnya Kerajaan Agangnionjo adalah sepasang suami-isteri yang disebut sebagai To Sangiang.
To Sangiang memiliki tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Anak perempuan dari To Sangiang kemudian menikah dengan anak dari Arung Alekale. Suatu ketika anak laki-laki To Sangiang yang sulung berselisi paham dengan adik laki-lakinya yang bungsu tentang cara membajak sawah, bahkan perselisihannya menuju pada saling ingin membunuh. Ketika To Sangiang sudah merasa putus asa atas tingkah laku anaknya yang berselisih itu, akhirnya ia memutuskan untuk meminta bantuan kepada Raja Sigeri di Pangkep yang bergelar Karaeng Sigeri untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Karaeng Sigeri kemudian berangkat ke Agangnionjo dan menyelesaikan persoalan anak To Tosangiang. Atas jasanya, To Sangiang meminta kesediaan Karaeng Sigeri untuk menjadi raja. Karaeng Sigeri menerima tawaran itu dan iapun dilantik menjadi raja pertama Agangnionjo dengan gelar Datu Gollae.[1][2]
Di bawah pemerintahan Raja To Maburu Limmanna yang memerintah dari tahun 1597 sampai 1603, Agangnionjo berubah nama menjadi Tanete. Ketika To Maburu Limanna berkunjung untuk menyembah pada raja Gowa, datang pula Opu Tanete dari Selayar ke Gowa membawa peti mati yang berisi jenazah putra raja Luwu yang mati terdampar akibat perahu dagangnya tenggelam di perairan Selayar. Sehubungan dengan itu raja Gowa memohon kesediaan Petta To Maburu Limmanna kiranya bersedia menemani Opu Tanete untuk mengembalikan jenazah tersebut ke Luwu. Pengiringan jenazah yang dilakukan dua raja tersebut rupanya menumbuhkan rasa persaudaraan di antara mereka. Karena itu, sekembalinya dari Luwu, dua raja itu kemudian berikrar membentuk persekutuan dan persaudaraan. Sebagai tanda persaudaraan, To Maburu Limmanna kemudian mengganti nama Kerajaan Agangnionjo menjadi Kerajaan Tanete.[1]
Pada tahun 1928, Andi Baso Paddippung diangkat menjadi raja di Tanete. Andi Baso mengalami tiga zaman selama masa pemerintahannya (zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, dan zaman kemerdekaan). Dalam masa pemerintahannya yang unik itu, ia telah mengalami pengaruh kekuasaan Belanda yang semakin besar. Kewenangannya sudah sangat merosot dibanding dengan kewenangan yang pernah dinikmati oleh para pendahulunya. Ia tidak banyak menikmati hak-hak istimewa sebagaimana yang pernah dialami oleh raja sebelumnya. Unik memang karena ia mengalami puncak kekuasaan Belanda, tetapi ia juga menyaksikan/mengalami keruntuhan dan kehancuran kekuasaan Belanda.
Pengaruh gerakan kemerdekaan sampai juga di Tanete dalam masa pemerintahan Andi Baso. Salah seorang saudaranya, Andi Abdul Kadir mempelopori pembentukan Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII) di Tanete dalam tahun 1929. Pengaruh pembentukan partai politik pertama di Tanete ini membawa pengaruh pada pembentukan gerakan kebangsaan pada hari-hari pertama Proklamasi kemerdekaan. Pemuda Tanete mempelopori gerakan bersenjata yang terjadi di seluruh wilayah Onderafdeling Barru dibawah pimpinan Andi Abdul Kadir dan Andi Abdul Muis Tenridolong yang merupakan menantu Andi Baso.[3][4][5]
Andi Baso mengundurkan diri dari pemerintahan dalam tahun 1950, untuk menjaga kekosongan pemerintahan, Pemerintah Darurat Sulawesi Selatan menunjuk Andi Iskandar Oenroe sebagai pejabat Kerajaan Tanete. Walaupun Andi Iskandar telah memimpin pemerintaha di Tanete selama sepuluh tahun sebelum Swapraja Tanete dihapuskan dalam tahun 1960, tetapi situasi politik dan keamanan yang kacau di seluruh Sulawesi Selatan pada masa itu tidak banyak memberikan peluang untuk melakukan sesuatu yang berarti. Ia hanya memindahkan ibu kota Tanete dari Pancana ke Pekkae. Penghapusan Swapraja Tanete dan dilebur ke dalam Kabupaten Barru mengakhiri suatu masa yang cukup panjang dari Kerajaan Tanete.[6][7]