Keselamatan hayati (sering juga disebut sebagai keamanan hayati[1]; bahasa Inggris: biosafety) adalah serangkaian prinsip dan tindakan yang diterapkan untuk menurunkan risiko yang muncul saat seseorang menangani atau bekerja dengan bahaya hayati, terutama di lingkungan laboratorium. Keselamatan hayati berfokus untuk memastikan keselamatan personel dan memastikan bahwa bahaya hayati dikelola dengan aman, misalnya dengan mengenakan alat pelindung diri, menggunakan lemari keselamatan hayati atau biokontainmen lainnya, melakukan dekontaminasi limbah dan peralatan, mengikuti prosedur operasi standar, serta melaporkan kecelakaan kerja.[2] Dalam konteks yang lebih luas, keselamatan hayati juga mencakup manajemen risiko terhadap keamanan pangan dan organisme yang telah mengalami rekayasa genetik.[3][4]
Keselamatan hayati, keamanan hayati, dan ketahanan hayati merupakan istilah yang sering digunakan bersama-sama dan saling menggantikan. Semuanya merupakan usaha untuk menurunkan risiko yang terkait dengan bahaya hayati. Namun, ketahanan hayati biasanya merujuk pada upaya pencegahan masuk, tersebar, dan keluarnya bahaya hayati dan informasi hayati yang tidak diinginkan.[5]
Mikrobiologi modern yang muncul pada abad ke-19 memungkinkan para ilmuwan bereksperimen dengan berbagai mikroorganisme. Meskipun infeksi yang diperoleh di laboratorium telah ada sejak era Louis Pasteur dan Robert Koch, tetapi kesadaran untuk melindungi keselamatan orang-orang yang bekerja dengan mikroorganisme dan bahan biologis lainnya baru meluas pada abad ke-20.[6]
Pada tahun 1955, Konferensi Keselamatan Hayati diselenggarakan untuk pertama kalinya di Maryland untuk berbagi pengetahuan tentang isu-isu keselamatan hayati, kimiawi, radiologis, dan industrial di laboratorium. Konferensi ini kemudian menghasilkan pendirian Asosiasi Keselamatan Hayati Amerika (ABSA) pada tahun 1984 untuk mempromosikan keselamatan hayati bagi para pekerja profesional.[7] Keselamatan hayati di laboratorium mikrobiologi mulai diterapkan di Amerika Utara dan Britania Raya pada awal tahun 1970-an. Personel laboratorium menerima pelatihan tentang penggunaan alat pelindung diri yang benar dan metode pembatasan fisik untuk mencegah penyebaran agen biologis.[6][8] Konferensi Asilomar tentang DNA Rekombinan yang diselenggarakan pada tahun 1975 di California mendiskusikan potensi bahaya hayati dan mengatur penerapan bioteknologi agar tidak membahayakan kesehatan masyarakat.[9] Salah satu kecelakaan laboratorium dengan dampak yang besar adalah flu Rusia 1977. Beberapa temuan menunjukkan bahwa virus H1N1 dari laboratorium berhasil keluar dan menyebar luas di masyarakat.[10][11][12]
Sejumlah organisasi kemudian menerbitkan panduan tentang keselamatan hayati. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan Manual Keselamatan Hayati Laboratorium (LBM) pada tahun 1983 yang berisi panduan untuk mengelola bahan biologis dengan aman. Edisi keempat buku ini diterbitkan pada tahun 2020.[13] Pada tahun 1984, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menerbitkan Keselamatan Hayati dalam Laboratorium Mikrobiologis dan Biomedis (BMBL) yang pada tahun 2020 telah mencapai edisi keenam.[14]
Pada tahun 2000, berbagai negara menyepakati Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati, suatu traktat yang merupakan bagian dari Konvensi Keanekaragaman Hayati, yang mengatur perpindahan organisme hidup termodifikasi dari satu negara ke negara lain.[15][16] Sementara itu, Organisasi Standardisasi Internasional menerbitkan ISO 35001:2019 tentang Sistem Manajemen Biorisiko Laboratorium dan Organisasi terkait lainnya. Dalam standar ini, keselamatan hayati didefinisikan dengan "praktik dan pengendalian yang mengurangi risiko paparan atau pelepasan bahan biologis yang tidak disengaja".[17]