Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |
Undang-undang yang membatasi, mengatur, atau melarang khitan/sunat, beberapa di antaranya dapat ditelusuri kembali hingga ke zaman kuno, telah diberlakukan di berbagai negara dan komunitas. Di sejumlah negara-negara modern, khitan dianggap sah secara hukum, tetapi hukum yang berkaitan dengan penyerangan atau hak asuh anak telah diterapkan dalam kasus-kasus yang melibatkan khitan. Dalam kasus khitan non-terapi pada anak-anak, para pendukung undang-undang yang mendukung prosedur khitan sering menunjuk kepada hak-hak orang tua atau para praktisi khitan, yaitu mengenai hak kebebasan dalam beragama. Orang-orang yang menentang pelaksanaan khitan menggunakan hak kebebasan bagi khususnya anak laki-laki dalam beragama. Pada beberapa kasus pengadilan, hakim telah menunjuk pada sifat ireversibel undang-undang,[1] perihal yang membahayakan tubuh anak laki-laki,[2] dan hak untuk menentukan nasib sendiri, serta integritas tubuh.[3]
Terdapat agama-agama yang mensyaratkan melakukan khitan. Alkitab ibrani memerintahkan orang-orang Yahudi untuk mengkhitan anak laki-laki mereka pada hari kedelapan dari kehidupan, dan untuk mengkhitan pula budak laki-laki mereka ([[{{{buku}}}|{{{buku}}}]] Genesis:17:11–12-HE).
Undang-undang yang melarang khitan juga sudah ada sejak masa kuno. Yunani kuno menghargai kulup dan tidak menyetujui kebiasaan Yahudi melakukan khitan.[4] 1 Makabe, 1:60-61 menyatakan bahwa Raja Antiokhos IV Epiphanes dari Suriah, kekuatan yang menduduki Yudea pada 170 SM, melarang khitan dengan hukuman mati.[5] Hukum tersebut merupakan salah satu penyebab yang mengarah pada terjadinya pemberontakan Makabe.[6]
Berdasarkan Historia Augusta, Kaisar Romawi Hadrianus mengeluarkan dekrit yang melarang khitan di dalam kekaisaran,[7] dan beberapa peneliti berpendapat bahwa hal ini adalah penyebab utama dari pemberontakan Bar Kokhba oleh Yahudi pada 132 CE.[8] Sejarawan Romawi Cassius Dio, tetapi demikian, tidak menyebutkan hukum seperti itu, dan justru menyalahkan pemberontakan Yahudi, bukan pada keputusan Hadrian untuk membangun kembali Yerusalem sebagai Aelia Capitolina, sebuah kota yang didedikasikan untuk Jupiter.
Antoninus Pius mengizinkan orang Yahudi untuk mengkhitan anak-anak mereka sendiri. Namun, ia melarang khitan orang yang bukan Yahudi, baik budak yang merupakan orang asing atau anggota rumah tangga lain yang bukan Yahudi, bertentangan dengan [[{{{buku}}}|{{{buku}}}]] Genesis:17:12-HE. Ia juga membuat ilegal bagi seorang pria untuk berpindah ke agama Yahudi.[9] Namun demikian, Antoninus Pius mengecualikan imamat Mesir dari larangan universal khitan tersebut.
In a decision cheered by foes of routine circumcision for boys, a judge ruled on Tuesday that a 9-year-old need not be circumcised as his mother wanted....In granting the boy's father an injunction blocking the procedure, the judge said the boy could decide for himself whether to be circumcised when he turns 18.
Ritual circumcision of boys is a durable tradition. Jews of ancient times refused to abandon the practice despite enormous pressure to do so. In 167 BCE the Seleucid emperor Antiochus IV, as part of a campaign to Hellenise the Jews, condemned to death every Hebrew who allowed a son to be circumcised. The Jews responded with the Maccabean revolt, a campaign of guerrilla warfare that resulted in major victories for the rebels and, eventually, a peace treaty that restored Jewish ritual prerogatives.
![]() | Artikel ini tidak memiliki kategori atau memiliki terlalu sedikit kategori. Bantulah dengan menambahi kategori yang sesuai. Lihat artikel yang sejenis untuk menentukan apa kategori yang sesuai. Tolong bantu Wikipedia untuk menambahkan kategori. Tag ini diberikan pada Februari 2023. |