Kho Ping Hoo | |||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Lahir | 1926 Sragen, Hindia Belanda | ||||||||||||
Meninggal | 22 Juli 1994 Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia | (umur 67–68)||||||||||||
Nama lain | Asmaraman Sukowati | ||||||||||||
Pekerjaan | Penulis | ||||||||||||
Tahun aktif | 1950-an – 1994 | ||||||||||||
Dikenal atas | Novel seni bela diri | ||||||||||||
| |||||||||||||
Kho Ping Hoo (1926 – 22 Juli 1994), juga dikenal dengan nama pena Asmaraman Sukowati, dulu adalah seorang penulis karya fiksi berlatar belakang Tionghoa Indonesia. Ia terutama menulis cerita seni bela diri yang terinspirasi oleh genre wuxia, tetapi ia juga menulis cerita romansa dan bencana.
Lahir di Sragen pada seorang pialang gula, Kho menghabiskan sebagian besar masa kecilnya sebagai pedagang keliling. Pada dekade 1950-an, setelah menghabiskan sebagian waktunya di kamp pengungsian, Kho menetap di Tasikmalaya. Setelah banyak membaca, ia mulai menulis cerita pendek dan menerbitkan majalah sastra. Untuk majalahnya, ia juga mulai mengerjakan serial pertamanya, Pek Liong Po Kiam (1959). Ia lalu membeli sebuah mesin cetak, dan setelah pindah ke Surakarta pada tahun 1963, ia mendirikan Penerbit Gema. Setelah mengalami sejumlah kekerasan berbasis rasial, ia pun mempromosikan asimilasi terhadap Tionghoa Indonesia dan pernikahan dengan pribumi Indonesia.
Pada saat meninggal, Kho telah memproduksi lebih dari 130 judul. Sebagian besar judul tersebut diterbitkan secara bulanan, dengan rata-rata 34 volume per judul. Kho hampir selalu menulis dalam bahasa Indonesia, tetapi ia juga menggunakan kata serapan dari bahasa Hokkien dan menerbitkan satu judul dalam bahasa Jawa. Kecuali satu judul, seluruh karyanya merupakan karya asli yang terinspirasi dari terjemahan bahasa Indonesia dari novel wuxia Tiongkok. Dalam karya fiksi seni bela dirinya, karakter yang ia angkat terutama adalah ksatria yang meninggalkan istana untuk mencari kesenangan, pengetahuan, atau balas dendam. Novelnya juga diadaptasi menjadi pertunjukan, siaran radio, dan film.
Kho lahir di Sragen, Hindia Belanda, pada tahun 1926 pada sebuah keluarga Tionghoa peranakan.[a][1] Ia adalah salah satu dari 12 anak yang lahir kepada Kho Kiem Po, seorang pialang gula, dan Sri Welas Asih.[b][2][3] Sejumlah nenek moyangnya, termasuk nenek dari ibunya dan ibu dari ayahnya, adalah keturunan Jawa. Sejak kecil, ia belajar bahasa Jawa dan aksara Jawa, serta terekspos dengan mistisme Jawa.[4] Sementara itu, ayahnya mempelajari seni bela diri di waktu luangnya.[3]
Kho lalu bersekolah di sebuah sekolah Belanda. Namun, keluarganya bukan keluarga yang kaya, sehingga ia tidak dapat melanjutkan sekolahnya.[4][5] Pada usia 14 tahun,[3] Kho menjadi pedagang keliling.[4] Ia bepergian ke sejumlah kota, seperti Kudus dan Surabaya, di mana ia menjual obat-obatan saat Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda pada tahun 1941. Selama Revolusi Nasional Indonesia, Kho tinggal di Kudus dan Sragen, di mana ia menjual rokok.[3]
Setelah Operasi Kraai menyebabkan Sragen kembali jatuh ke tangan Belanda, pada tahun 1949, Kho mengungsi ke sebuah kamp di dekat Surakarta.[3] Pasca perang, Kho menetap di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di sana, ia bekerja pada sebuah perusahaan transportasi. Ia juga mulai mempelajari bahasa Mandarin agar dapat berbincang dengan sesama etnis Tionghoa, yang masih sangat dekat dengan budaya Tiongkok.[4] Pada saat itu, ia telah mahir berbicara dalam bahasa Belanda dan Melayu.[6]
Pasca ratifikasi Perjanjian Kewarganegaraan Ganda Indonesia-Tiongkok pada tahun 1955, Kho pun diwajibkan untuk memilih antara kewarganegaraan Tiongkok atau Indonesia. Kho lalu memilih Kewarganegaraan Tiongkok, dan setelah sebuah aturan yang diterbitkan pada tahun 1959 melarang pedagang keturunan Tiongkok untuk bekerja di kawasan rural, ia pun berencana untuk keluar dari Indonesia. Namun, karena satu dan lain hal, ia akhirnya tetap tinggal di Indonesia.[4] Pada saat yang sama, ia juga mulai belajar bahasa Inggris. Ia lalu mendapat sertifikasi dari British Council, dan sempat bekerja sebagai guru.[7]
Pada tahun 1959, Kho mulai menerbitkan majalah sastra Teratai bersama sejumlah kawannya.[2] Mereka awalnya berupaya untuk mengajak Oey Kim Tiang, seorang penerjemah cerita Tiongkok, untuk menjadi kontributor rutin di majalah tersebut,[8] tetapi Oey menolak. Saat masih tinggal di Tasikmalaya, Kho telah menulis sejumlah cerita pendek, yang diterbitkan di majalah seperti Selecta, Pancawarna, dan Star Weekly.[2][1] Ia kemudian mulai menulis cerita seni bela diri. Pada tahun 1959, ia mulai menulis novel pertamanya, Pek Liong Po Kiam, [9] di Teratai. Setelah majalah tersebut kolaps karena sejumlah masalah, serial tersebut diambil oleh Analisa asal Jakarta.[3]
Selama kerusuhan terhadap Tionghoa Indonesia pada tahun 1963, rumah dan mesin cetak Kho dihancurkan,[7] sehingga ia akhirnya pindah ke Surakarta.[9] Kho kemudian mendirikan Penerbit Gema untuk menerbitkan karyanya, serta sebuah perusahaan percetakan untuk mencetak karyanya.[10][1] Kekerasan terhadap Tionghoa Indonesia kembali terjadi di Surakarta selama pembantaian pasca gagalnya kudeta Gerakan 30 September pada tahun 1965, dan Kho kembali mempertimbangkan untuk pindah ke Tiongkok.[9] Akhirnya, karena anaknya masih kecil, ia memutuskan untuk tetap tinggal di Indonesia.[6] Pada dekade 1970-an, Kho resmi menjadi warga negara Indonesia. Ia pun mulai mempromosikan asimilasi terhadap Tionghoa Indonesia, dengan berpendapat bahwa pernikahan antara keturunan Tionghoa dan pribumi akan menumbuhkan harmoni rasial.[9]
Kho lalu tetap menulis dan menerbitkan karyanya dengan sejumlah nama, seperti Kho Ping Hoo, Asmaraman S., dan Asmaraman S. Kho Ping Hoo.[6] Ia memproduksi sejumlah karya dalam genre silat (diturunkan dari genre wuxia di sastra Tiongkok), seperti Darah Mengalir di Borobudur (1960), Kilat Pedang Membela Cinta (1982), dan Sang Megatantra.[9] Sejumlah karya tersebut diterbitkan secara serial di majalah seperti Selecta, Roman Detektip, dan Monalisa.[11]
Karena jumlah pembacanya terus menurun mulai dekade 1970-an hingga 1990-an, dari 15.000 cetakan menjadi hanya 5.000 cetakan,[7] Kho pun mulai mencetak tiket dan undangan.[12] Walaupun begitu, ia tetap menulis. Pada tahun 1981, ia menghabiskan lima hari per minggu di vilanya di Tawangmangu, sebuah desa di lereng Gunung Lawu sekitar 40 kilometer (25 mi) di timur Surakarta.[3][5] Ia memproduksi dua hingga tiga manuskrip per bulan,[3] dan secara bersamaan juga memproduksi empat teks.[13] Sebagian besar novel Kho hanya dapat diperoleh di perpustakaan dan toko buku kecil. Baru pada dekade 1990-an, Gramedia, peritel buku terbesar di Indonesia, mulai menjual karya-karya Kho.[8]
Pada tahun 1985, Kho divonis menderita penyakit jantung. Pada tanggal 21 Juli 1994, ia mengeluh sakit dada dan pingsan di vilanya. Kho lalu dibawa ke Surakarta, di mana ia dirawat di Rumah Sakit Kasih Ibu. Ia akhirnya meninggal keesokan harinya.[5] Setelah disemayamkan dan dilayat oleh ribuan orang,[14] Kho dikremasi di Krematorium Tiong Ting.[5] Abunya lalu dilarung di Samudera Hindia.[12] Ia meninggalkan dua orang istri, Rosita (Ong Ros Hwa) dan Hartini, serta 13 orang anak.[3][5]
Pada saat meninggal, Kho telah menulis lebih dari 130 cerita.[c] Satu drama sejarah, Hancurnya Kerajaan Han, belum sempat diselesaikan olehnya.[15] Sebagian besar cerita tersebut diterbitkan secara bulanan dalam ukuran saku, dengan rata-rata 35 volume per judul.[5][16] Kho memiliki ribuan pembaca, dengan penyair Emha Ainun Nadjib, Sultan Hamengkubuwono IX, politisi Soeharto dan Joko Widodo, serta tokoh agama Abdurrahman Wahid dan Ma'ruf Amin mengaku sebagai penggemar dari karyanya.[2][5][6]
Sejumlah karya Kho telah diadaptasi menjadi pertunjukan, dengan kelompok Siswo Budoyo menjadi salah satu yang paling sering mempertunjukkannya. Adaptasi dari karya Kho juga disiarkan oleh Radio Republik Indonesia. Pada tahun 1981, tiga novel karya Kho – Dendam Si Anak Haram, Darah Daging, dan Cintaku Tergadai – bahkan telah diadaptasi menjadi film.[3] Walaupun begitu, Kho tidak senang dengan adaptasi-adaptasi tersebut, karena ia merasa bahwa adaptasi mendistorsi visinya dan hampir menampilkan pornografi.[17]
Penerbit Gema tetap beroperasi setelah Kho meninggal, di bawah kepemimpinan dari menantunya, Bunawan Sastraguna Wibawa. Hingga 2008[update], Penerbit Gema masih menerbitkan karya-karya Kho. Namun, perusahaan percetakannya telah berhenti beroperasi sejak tahun 1996.[10] Pada bulan Desember 2013, volume pertama dari Suling Emas karya Kho diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin atas sponsor dari Imron Cotan, duta besar Indonesia untuk Tiongkok. Penerjemahan tersebut dilakukan oleh seorang Indonesia sebelum disunting oleh seorang Tionghoa yang ahli dalam cerita wuxia.[18] Kho mendapat Satyalencana Kebudayaan pada tahun 2014 atas kontribusinya untuk sastra Indonesia.[15]
Sebagian besar karya Kho berlatar di Tiongkok dan menggunakan nama Tiongkok.[10] Hanya satu kali berkunjung ke Tiongkok pada tahun 1985, ia pun menggunakan peta Tiongkok sebagai inspirasi untuk menulis karyanya,[5] serta membaca teks berbahasa Inggris dan Belanda agar lebih memahami sejarah Tiongkok.[3] Kho sangat teliti dalam merinci mode dan gaya rambut, yang merupakan tanda dari status sosial.[17] Bagi sejumlah pembaca, novel karya Kho adalah sumber informasi utama untuk budaya, geografi, dan nilai-nilai Tiongkok.[18]
Lebih dari 30 cerita karya Kho berlatar di kepulauan Indonesia.[10] Sesuai konvensi genrenya, cerita seni bela diri karya Kho terutama diceritakan terjadi sebelum kedatangan kolonialisme Eropa. Kalaupun diceritakan terjadi selama era kolonial, sebagian besar diceritakan terjadi pada awal era kolonial.[19] Penulis Eka Kurniawan, yang mengeksplorasi penggunaan sejarah oleh Kho di Kompas, mencatat bahwa Kho mengambil inspirasi dari banyak daerah dan era dalam sejarah Indonesia, termasuk Kerajaan Mataram dan Singasari.[19][20] Latar ceritanya pun bervariasi, termasuk pembangunan Candi Borobudur atau kedatangan Laksamana Cheng Ho,[9] dengan peristiwa-peristiwa tersebut menyediakan konteks untuk cerita fiksi karyanya.[19]
Umumnya, cerita karya Kho berurusan dengan ksatria yang meninggalkan kenyamanan dari istananya untuk mencari kesenangan, pengetahuan, atau balas dendam.[19] Walaupun begitu, terdapat juga cerita dengan karakter berupa tokoh agama, seperti karakter utama pada Darah Mengalir di Borobudur yang merupakan seorang biksu Buddha. Kurniawan berpendapat bahwa, walaupun karakter-karakter tersebut menekankan pada kalangan atas, Kho membawa karakter pada ceritanya ke kalangan bawah, seperti komunitas rural atau lingkungan luar, sehingga mendekatkan karya fiksinya dengan masyarakat biasa.[19]
Buddha dan Hindu, yang merupakan agama dominan selama periode pra-kolonial Indonesia, sangat terlihat pada cerita silat karya Kho yang berlatar di Indonesia. Sejumlah cerita bahkan menggunakan tema keagamaan sebagai bagian dari konflik. Contohnya, dalam Sepasang Garuda Putih, sebuah kuil desa untuk Trimurti digantikan oleh karakter antagonis Saiwa dengan kuil individual untuk Shiva, Durga, dan Kala. Kurniawan mencatat bahwa, walaupun mengangkat konflik tersebut, Kho menghubungkan kesalahan dari karakter antagonis dengan penyalahgunaan kekuasaan, bukan ajaran agama.[19]
Kho juga menggunakan sejumlah novelnya untuk menekankan bahwa etnis Tionghoa telah lama menjadi bagian dari masyarakat Indonesia dan telah banyak etnis Tionghoa yang menikah dengan kalangan elit dari pribumi. Kilat Pedang Membela Cinta, yang menampilkan Laksamana Cheng Ho dan Ma Huan, menunjukkan bahwa Tionghoa familiar dengan Islam – agama dari mayoritas penduduk Indonesia saat ini. Melalui karyanya, Kho berupaya untuk melawan stereotip bahwa Tionghoa Indonesia adalah pialang tidak jujur yang hanya ingin memperkaya dirinya sendiri.[14]
Walaupun Kho paling terkenal berkat cerita seni bela diri, sejumlah karyanya juga mengangkat tema lain. Contohnya, Geger Solo yang berlatar saat banjir Bengawan Solo pada tanggal 16 Maret 1966 dan membahas dampak dari bencana tersebut terhadap karakter dalam ceritanya.[6] Sejumlah cerita karya Kho juga menampilkan hubungan romantis antara karakter Tionghoa dan non-Tionghoa.[9] Contohnya, Siane (1981) yang menceritakan hubungan antara seorang gadis peranakan dan lelaki Jawa di Indonesia.[21] Sementara itu, Kilat Pedang Membela Cinta diakhiri dengan diskusi mengenai pernikahan berbasis cinta.[15] Menurut putrinya, Tina Asmaraman, Kho percaya bahwa cinta mengalahkan segalanya, sehingga dapat menjadi solusi bagi banyak kesengsaraan masyarakat.[6]
Karya awal Kho, termasuk Pek Liong Po Kiam dan Ang Coa Kiam (1962), diberi judul dalam bahasa Hokkien dan terjemahan dalam bahasa Indonesia, tetapi karyanya kemudian hanya diberi judul dalam bahasa Indonesia.[15] Kecuali Lintang-Lintang Dadi Seksi yang ditulis dalam bahasa Jawa (1961),[8] semua karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia. Penulis Seno Gumira Ajidarma mendeskripsikan Kho sebagai orang yang mahir dalam membuat alur dan karakter yang kuat dengan bahasa yang sederhana.[6] Kho kadang menggunakan kata serapan dari bahasa Hokkien, tetapi hanya menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh pembacanya.[22] Kho belajar menulis karya secara otodidak.[3]
Sebagian besar karya Kho bukan merupakan hasil terjemahan, karena keterbatasannya dalam berbahasa Mandarin[11] dan ia tidak dapat membaca aksara Han.[5] Si Teratai Emas (1980), terjemahan dari Jin Ping Mei, pun menjadi satu-satunya karya Kho yang merupakan hasil terjemahan.[11][12] Karya tersebut tidak diterjemahkan dari bahasa Mandarin, tetapi diterjemahkan dari terjemahan berbahasa Inggris.[6] Walaupun begitu, menurut sinolog Leo Suryadinata, Kho terlihat sangat familiar dengan genre wuxia. Karya-karya bergenre wuxia juga diterjemahkan ke bahasa Indonesia,[15] antara lain oleh Oey Kim Tiang dan Gan K.L.[5]
Dalam Pedang Naga Kemala (Giok Liong Kiam) dijumpai bahwa Ilmu-Ilmu yang dikuasai oleh salah seorang tokohnya adalah bersumber dari ilmu-ilmu yang berasal dari Pulau Es, seperti juga yang terdapat dalam serial Pulau Es Bu Kek Siansu.
Di dalam cerita Raja Pedang sampai Jaka Lola, dijumpai bahwa ilmu kepandaian yang dikuasai oleh Tan Beng San, Kwa Kun Hong, dan juga Yo Wan ternyata bersumber dari ilmu yang diturunkan oleh Pendekar Sakti Bu Pun Su Lu Kwan Cu. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa Serial Raja Pedang adalah terusan dari serial Pendekar Sakti Bu Pun Su Lu Kwan Cu.