Korupsi polisi

Korupsi polisi adalah tindakan pelanggaran ketika seorang polisi menerima upah karena melakukan sesuatu yang ada di dalam/luar kewenangannya, atau dikresi legal dengan alasan yang tidak sesuai, atau menggunakan cara ilegal untuk mencapai tujuan. Secara singkat, korupsi merupakan tindakan penyalahgunaan kewenangan polisi untuk menuai keuntungan.[1]

Konsep upah dalam tindakan korupsi polisi ini mungkin bersifat personal (misalnya bersifat uang, hadiah dan akses terhadap kekuasaan) atau bersifat organisasional (promosi, dukungan sejawat, izin atasan). Upah juga dapat berupa hal lain diluar materi, misalnya kenaikan pangkat atas pencapaian target institusi melalui cara yang tidak dibenarkan.

Korupsi polisi juga meliputi tindakan merugikan yang bukan dari tujuan organisasi, seperti tidur saat bertugas, melakukan keperluan pribadi saat bertugas, ketidakhadiran, memanfaatkan jalan pintas administratif, hingga bekerja di lahan "basah" yang berpotensi terjadi penyelewengan ataupun pelanggaran lainnya yang berurusan dengan keuangan, Korupsi seperti ini pula di berlakukan juga untu Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berada di Kepolisian dan Pemerintah[2].

Korupsi invitational edge adalah polisi memanfaatkan diskresi dan wewenang untuk menganut atau menerima uang tidak sakral dari pihak lain, slippery slope ialah tindakan polisi dalam melakukan pungutan-pungutan kecil, sporadis, termasuk gratifikasi, sogokan, dan hadiah, bentuk korupsi tersebut bisa terjadi ketika polisi sedang mengurus merealisasikan Laporan Polisi (LP) atau sedang dalam tingkat proses penyelidikan tingkat Lidik hingga Sidik, noble cause, polisi beralasan menerima uang atau hadiah dari pihak lain bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk satuannya dan keperluan operasional[3].

Macam-macam kategori

[sunting | sunting sumber]

Barker dan Roebuck (1974), mengelompokkan pengertian korupsi dalam delapan kategori, antara lain:

  1. Korupsi kewenangan, tindakan berupa menerima atau meminta makanan, minuman, pelayanan atau diskon gratis
  2. Penyuapan, tindakan menerima atau meminta uang, barang dan pelayanan dari instansi, perusahaan atau masyarakat
  3. Penyuapan, tindakan mengambil uang atau upah untuk membatalkan tuntutan yang telah dijatuhkan atau menghapus kartu tilang lalu lintas yang telah dikeluarkan
  4. Pencurian oportunistik, tindakan mencuri dari tersangka, korban, TKP. atau lokasi yang tidak dilindungi
  5. Pemerasan, tindakan meminta uang dari pelaku kejahatan atau pelanggar lalu lintas sebagai imbalan agar tidak menjatuhi hukuman (secara ilegal)
  6. Perlindungan kegiatan ilegal, tindakan mengambil uang atau upah dari instansi atau perusahaan legal yang melakukan praktik ilegal sebagai imbalan untuk melindungi instansi atau perusahaan tersebut dari tindakan penegakan hukum
  7. Kegiatan kriminal langsung, melakukan kejahatan seperti mencuri atau merampok dengan menggunakan informasi yang ada pada polisi, tetapi, tanpa melibatkan penyalahgunaan kewenangan polisi
  8. Hadiah penugasan, tindakan menjual penugasan kerja, cuti, hari libur, masa liburan, bukti dan promosi.

Di sisi lain, Punch (1985) sepakat untuk menambahkan kategori korupsi polisi dalam tindakan curang yang dirancang guna meningkatkan efektivitas proses penegakan hukum atau peningkatan karier polisi tersebut. Disebut korupsi kombatif, yakni tindakan penanaman atau penambahan bukti, pemalsuan kesaksian, intimidasi saksi, membayar informan dengan narkoba ilegal guna membantu penahanan, mendapatkan dakwaan, atau memberikan hukuman lebih lama bagi penjahat.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Bailey, William G. (2005). Ensiklopedia Ilmu Kepolisian. Jakarta: Penerbit YPKIK. hlm. 647. 
  2. ^ https://aclc.kpk.go.id/action-information/lorem-ipsum/20220531-null
  3. ^ https://nasional.tempo.co/read/1429406/peneliti-lipi-paparkan-4-bentuk-korupsi-di-tubuh-kepolisian