Bagian dari seri tentang |
Gereja Lutheran |
---|
Portal Kristen |
Bagian dari seri tentang |
Bagian dari seri |
Kristologi |
---|
Kristologi Lutheran skolastis adalah teologi Lutheran ortodoks tentang Yesus Kristus yang dikembangkan dengan menggunakan metodologi skolastisisme Lutheran.
Di atas Kristologi Kalsedon sebagai landasan umum, dan dengan berpatokan kepada Kitab Suci selaku tolok ukur iman, para skolastikus Protestan (khususnya Lutheran) pada penghujung abad ke-16 dan sepanjang abad ke-17 membangun sejumlah gagasan tambahan dan mengembangkan aspek-aspek baru mengenai pribadi Kristus. Alasan yang memicu terjadinya perkembangan ini adalah doktrin Lutheran tentang kehadiran nyata atau kemahahadiran tubuh Kristus di dalam sakramen Perjamuan Kudus, dan kontroversi-kontroversi seputar doktrin tersebut, baik kontroversi dengan golongan Zwingli dan golongan Kalvinis maupun kontroversi di dalam tubuh gereja Lutheran sendiri. Unsur-unsur baru ini berkaitan dengan komunikasi dua kodrat Kristus, keadaan-keadaan Kristus, dan jabatan-jabatan Kristus. Doktrin komunikasi dua kodrat dirumuskan gereja Lutheran, dan tidak pernah diadopsi, bahkan sebagian ditolak golongan Kalvinis. Keadaan-keadaan Kristus dan jabatan-jabatan Kristus adalah doktrin-doktrin yang dianut umat Lutheran maupun umat Kalvinis, merskipun kedua golongan tersebut tidak sepaham dalam doktrin jabatan-jabatan Kristus.[1]
Communicatio idiomatum berarti komunikasi atribut-atribut atau sifat-hakiki (bahasa Yunani:idiomata, bahasa Latin:proprietates) salah satu kodrat Kristus dengan kodrat Kristus lainnya atau dengan keseluruhan pribadi Kristus. Communicatio idiomatum terlahir dari unio personalis dan communio naturarum. Para teolog Lutheran membedakan tiga jenis atau genera dari communicatio idiomatum sebagai berikut:[1]
(1) Genus idiomaticum (idiopoietikon), yakni sifat-hakiki satu kodrat Kristus dipindahkan dan diterapkan ke atas keseluruhan pribadi Kristus. Genus ini didasarkan atas nas Roma 1:3, 1 Petrus 3:18, dan 1 Petrus 4:1.[1]
(2) Genus apotelesmaticum (koinopoietikon), yakni fungsi-fungsi dan tindakan-tindakan penebusan dari keseluruhan pribadi Kristus (apotelesmata) diwujudnyatakan hanya oleh salah satu dari kedua kodrat Kristus. Genus ini didasarkan atas nas 1 Timotius 2:5–6, dan Ibrani 1:2–3.[1]
(3) Genus auchematicum atau genus maiestaticum, yakni kodrat insani Kristus diliputi dan dipermulia sifat-hakiki kodrat ilahi Kristus. Genus ini didasarkan atas nas Yohanes 3:13, Yohanes 3:27, Matius 28:18, Matius 28:20, Roma 9:5, Filipi 2:10. Di bawah genus inilah gereja Lutheran mengklaim semacam ubikuitas atau kemahahadiran bagi tubuh Kristus, atas dasar kemanunggalan dua kodrat di dalam satu pribadi, tetapi pandangan-pandangan mengenai setinggi apa taraf kemahahadiran ini terbagi menjadi dua aliran pemikiran yang sama-sama tersaji di dalam Rumusan Sehati tahun 1577. Brenz dan kaum Lutheran Schwaben berpegang kepada pandangan akan ubikuitas Kristus yang bersifat mutlak sedari lahir, dan dengan demikian menjadikan inkarnasi bukan hanya sekadar pemuliaan kodrat insani Kristus, melainkan juga pengilahiannya, sekalipun mereka mengakui bahwa sifat-hakiki ilahi tersamarkan selama keadaan nista Kristus berlangsung. Martin Chemnitz dan para pendeta Sachsen menilai keyakinan tersebut kelewat keliru, dan mengajarkan pandangan bahwa ubikuitas Kristus bersifat nisbi, bergantung kepada kehendak Kristus (oleh karena itu disebut volipraesentia atau multivolipraesentia), yang dapat saja hadir bersama keseluruhan pribadi Kristus di mana pun Kristus menghendaki atau menjanjikannya.[1]
(4) Ada pula genus yang keempat, yaitu genus kenoticum (dari kenosis) atau tapeinoticum (dari tapeinosis), yakni komunikasi sifat-hakiki dari kodrat insani Kristus kepada kodrat ilahinya (Filipi 2:7–8), tetapi genus ini ditolak golongan Lutheran lama karena dinilai tidak konsisten dengan sifat keajekan kodrat ilahi, dan dilabeli sebagai doktrin yang "mengerikan dan menghujat Allah" (Rumusan Sehati halaman 612), tetapi diusung kaum kenotisis modern.[1]
Para pendeta Kalvinis mengadopsi communicatio idiomatum dengan menolak rumusan Lutheran, khususnya yang berkenaan dengan genus maiestaticum[2] (kendati mereka dapat menerima rumusan tentang kedua genus pertama, setidaknya lewat apa yang diistilahkan Zwingli dengan kata allaiosis, atau pertukaran retorikal satu bagian untuk bagian lain), dan dengan tegas menolak genus ketiga, karena kemahahadiran, baik mutlak maupun nisbi, tidak konsisten dengan batasan yang sepatutnya ada pada tubuh manusia, maupun dengan fakta-fakta Kitab Suci tentang kenaikan Kristus ke surga, dan janjinya untuk kembali (baca artikel Rubrik Hitam). Genus ketiga tidak dapat terwujud secara paripurna, kecuali jika kemanusiaan Kristus juga dijadikan kekal. Selain itu, sifat-hakiki bukanlah tambahan dari luar melainkan kualitas-kualitas bawaan dari hakikat yang memilikinya, dan tidak terpisahkan dari hakikat tersebut. Dengan demikian komunikasi sifat-hakiki berkonsekuensikan komunikasi atau pembauran kodrat. Kodrat ilahi dan kodrat insani sesungguhnya dapat menjalin hubungan yang bebas dan intim satu sama lain, tetapi kodrat ilahi tidak mungkin dapat diubah menjadi kodrat insani, demikian pula kodrat insani tidak dapat diubah menjadi kodrat ilahi. Kristus memiliki segala sifat-hakiki kodrat ilahi maupun kodrat insani, akan tetapi kedua kodrat tersebut tetap terpisah dan berlainan satu sama lain.[1]
Dua keadaan Kristus adalah keadaan nista dan keadaan mulia. Doktrin ini didasarkan atas nas Filipi 2:5–9. Keadaan nista Kristus mencakup dikandungnya Kristus secara adikodrati, kelahiran, khitan, pendidikan, kehidupan di dunia, sengsara, wafat, dan pemakamannya, sementara keadaan mulia Kristus meliputi kebangkitan, kenaikan ke surga, dan bertakhtanya Yesus di sebelah kanan Allah.[3]
Golongan Lutheran dan golongan Kalvinis berbeda pandangan terkait doktrin ini. Perbedaan pertama berkenaan dengan ihwal turunnya Yesus ke Hades. Para skolastikus Lutheran memandangnya sebagai keberjayaan Yesus atas neraka, dan menjadikannya sebagai tahap pertama dari keadaan mulia Kristus, sementara pendeta-pendeta Kalvinis memandangnya sebagai tahap terakhir dari keadaan nista Kristus. Peristiwa turunnya Yesus ke Hades dapat dipandang sebagai titik balik dari satu keadaan ke keadaan lainnya, dan dengan demikian merupakan bagian dari kedua-duanya. Pokok perbedaan kedua adalah Concordia, kitab pengakuan iman Lutheran, menyebut kedua keadaan Kristus sebagai keadaan yang hanya berlaku atas kodrat insani Kristus, karena kodrat ilahi tidak rentan terhadap penistaan maupun pemuliaan.[3]
Menurut para pendeta Kalvinis, kedua keadaan Kristus berlaku atas kedua kodrat Kristus, sehingga kodrat insani Kristus dapat dikatakan berada di dalam keadaan nista apabila dibandingkan dengan keadaannya sesudah dipermuliakan kemudian hari, dan kodrat ilahi Kristus dapat dikatakan berada di dalam keadaan nista berkenaan dengan manifestasi lahiriahnya (ratione occultationis). Bagi para pendeta Kalvinis, peristiwa inkarnasi itu sendiri adalah permulaan dari keadaan nista Kristus, sementara Concordia tidak memasukkan peristiwa inkarnasi ke dalam cakupan keadaan nista Kristus.[3]
Para skolastikus Lutheran menganggap keadaan nista hanyalah penyamaran parsial atas penggunaan sesungguhnya (bahasa Yunani: kripsis kreseos) dari sifat-hakiki ilahi oleh Logos yang menjadi manusia.[3]
(a) Jabatan kenabian (bahasa Latin: munus propheticum atau officium propheticum) mencakup jaran-ajaran dan mukjizat-mukjizat Kristus.[3]
(b) Jabatan imamat (munus sacerdotale) terdiri atas pelunasan dosa-dosa dunia dengan wafat di kayu salib, dan syafaat berkesinambungan Sang Juru Selamat Mahatinggi bagi umatnya (redemptio et intercessio sacerdotalis).[3]
(c) Jabatan rajani (munus regium), yang dengannya Kristus mendirikan kerajaannya, membela Gerejanya dari segala musuh, dan berkuasa atas segala sesuatu di surga maupun di bumi. Para pendeta terdahulu membedakan kekuasaan Kristus menjadi kuasa alam (regnum naturae sive potentiae) yang membawahi segala-galanya; kuasa kasih karunia (regnum gratiae) yang membawahi Gereja dalam perjuangan di bumi; dan kuasa kemuliaan (regnum gloriae) yang membawahi Gereja dalam kemenangan di surga.[3]
Para teolog pengikut Martin Luther dan Filipus Melanchton sampai pertengahan abad ke-17 berpandangan bahwa karya penyelamatan Kristus adalah karya Kristus selaku raja maupun imam. Dalam edisi pertama Petunjuk Agama Kristen yang terbit tahun 1536, Yohanes Kalvin juga mengemukakan pandangan yang sama. Dalam edisi ketiga Petunjuk Agama Kristen yang terbit tahun 1559 dan dalam Katekismus Jenewa barulah Yohanes Kalvin menjabarkan ketiga jabatan Kristus secara lengkap. Jabatan tiga serangkai ini dipakai para teolog Kalvinis maupun Lutheran pada abad ke-17. Pemakaiannya ditentang Johann August Ernesti, tetapi dipulihkan Friedrich Schleiermacher.[3]