Lemidi | |
---|---|
Paku lemiding, Stenochlaena palustris dari Galing, Kabupaten Sambas | |
Klasifikasi ilmiah | |
Kerajaan: | |
Divisi: | |
Kelas: | |
Ordo: | |
Famili: | |
Genus: | |
Spesies: | S. palustris
|
Nama binomial | |
Stenochlaena palustris | |
Sinonim | |
Polypodium palustre Burm. f., 1768[2] |
Lemidi, lemiding, atau ramiding (Stenochlaena palustris) adalah sejenis paku-pakuan anggota suku Blechnaceae. Pucuk dan daun muda pakis ini biasa dijadikan sayuran di pelbagai wilayah sebarannya. Karena itu, paku ini juga dikenal dengan banyak nama seperti miding, mělat, akar pakis (Mly.); lambiding (Ac.); lamidin (Sim.); pau rara (Mand.); paku limbèh (Min.); paku hurang (Sd.);[5] pakis bang (Jw.); lemiding, remiding, pakis mérah (Mly. Ptk.); bampèsu, maja-majang (Mak.); bempèsu, wèwèsu (Bug.).[6] Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah tumbuhan ini disebut kelakai atau kalakai.
Paku yang hidup di tanah, menjalar panjang hingga 5–10 m. Rimpang memanjat tinggi, kuat, pipih persegi, gundul atau bersisik sangat jarang, acap kali dengan tunas merayap.[7]
Daun-daun dalam dua bentuk agak berbeda: steril dan fertil. Keduanya memiliki panjang antara 40–80 cm, dengan tangkai 15 –20 cm dan 8–15 pasang anak daun, serta satu anak daun terminal (ujung). Anak-anak daun lateral biasanya memiliki pelebaran serupa cuping telinga di pangkalnya, yang tidak dimiliki oleh anak daun ujung; anak-anak daun di bagian atas (mendekati ujung) biasanya lebih kecil. Tulang daun utama dengan alur (lekukan) di sisi atasnya. Anak-anak daun pada daun steril bertangkai pendek; bentuk jorong sempit, biasanya 15 × 3 cm, meski selalu bervariasi ukurannya; halus, mengkilap, hijau gelap, pucat di sisi bawah; tepinya bergerigi; dengan kelenjar di tepi anak daun dekat pangkal. Anak-anak daun pada daun fertil bentuk garis, lk. 20 cm × 3 mm, permukaan bawahnya penuh dengan sporangia.[8]
Paku ramiding menyebar secara alami di Asia tropis, mulai dari India di barat, ke Asia Tenggara di mana ia menyebar luas, termasuk di Kepulauan Nusantara, hingga ke Polinesia dan Australia.[6][8]
Tumbuh hingga ketinggian 900 mdpl dan merambat pada hutan-hutan bekas penebangan kayu terutama dekat air tawar, air payau, hutan bakau, di tanah pasir, khususnya di sepanjang tepi sungai dan sumber air.[6] Paku ini didapati di mana-mana di dataran rendah, di tempat terbuka dan hutan sekunder, dan umum ditemukan di wilayah rawa-rawa, termasuk rawa gambut. Acap memanjat dan rapat menutupi tajuk pohon-pohon di hutan yang agak terbuka.[8] Terkadang tumbuh beramai-ramai, sehingga menyerupai resam (Dicranopteris linearis (Burm.) Clarke.).[5]
Daun-daun yang muda berwarna kemerahan, mengingatkan pada warna udang yang dimasak; karenanya dinamai juga paku merah atau paku udang (paku hurang). Daun muda dan pucuknya yang masih bergelung dimasak sebagai sayuran, setelah sebelumnya dilayukan terlebih dulu.[6] Di Sambas, daun lemiding merupakan salah satu bahan penting pembuatan bubur kesum atau bubur pedas.
Di Jawa, pakis bang atau paku hurang kurang dikenal kegunaannya. Di Sumatra, daun muda lemidi dimakan sebagai sayuran.[5] Di Sulawesi, setelah diolah, rimpang menjalar wewesu dimanfaatkan untuk menggantikan rotan sebagai bahan pengikat, dianyam untuk membuat alat penangkap ikan, dianyam untuk ikat pinggang, bahkan juga untuk membuat tambang jangkar perahu. Menurut Rumphius, rimpang ini sangat kuat dan sukar diputus, dan dalam air laut lebih awet daripada rotan. Pada masa lalu, setelah dipotong-potong seragam, rimpang ini banyak diperdagangkan; baik di Bone maupun di Karimun.[6] Rimpangnya yang keras dipakai di Kepulauan Karimun, Jawa, dan Malaya sebagai perangkap ikan. Selain itu pula, lemidi pernah digunakan sebagai barang dagangan di Karimun dan Filipina. Di Filipina sendiri, kadang-kadang dipakai untuk membuat bagian dalaman keranjang.[5]