Leo Suryadinata | |
---|---|
Lahir | 21 Februari 1941 Batavia, Hindia Belanda |
Tempat tinggal | Singapura |
Almamater | Universitas Nanyang Universitas Indonesia Universitas Monash Universitas Ohio Universitas Amerika |
Dikenal atas | Studi Tionghoa-Indonesia |
Karier ilmiah | |
Bidang | Sosiologi; Sinologi |
Leo Suryadinata | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Hanzi tradisional: | 廖建裕 | ||||||||||
| |||||||||||
Nama Indonesia | |||||||||||
Indonesia: | Liauw Kian-Djoe |
Leo Suryadinata (lahir 21 Februari 1941, dengan nama Liauw Kian-Djoe atau Liao Jianyu; 廖建裕)[1][2] adalah sinolog Tionghoa Indonesia.
Suryadinata terlahir dengan nama Liauw Kian-Djoe (juga ditulis Liao Jianyu) di Jakarta. Ayahnya adalah pemilik pabrik bahan bangunan. Ia memiliki tujuh saudara.[3]
Ketika SMA, Suryadinata membaca dan menulis beberapa makalah tentang sejarah Indonesia dan Tiongkok dalam sastranya. Ia kemudian berkuliah di Universitas Teknologi Nanyang di Singapura di jurusan sastra Tiongkok dan sastra Asia Tenggara. Ia lulus tahun 1962 dengan gelar Bachelor of Arts.[3]
Pada tahun 1962 sampai tahun 1965, Suryadinata belajar sastra di Universitas Indonesia dan mendapatkan gelar sarjana. Ia berfokus pada sastra Tiongkok, lalu tertarik dengan etnis Tionghoa di Indonesia. Tesisnya membahas pers Peranakan Tionghoa akhir abad ke-19 dan gerakan pemberontakan awal abad ke-20 terhadap pemerintah kolonial Belanda.[3]
Tahun 1970, Suryadinata mendapatkan gelar master sejarah dari Universitas Monash di Australia. Dua tahun kemudian, ia lulus dari Universitas Negeri Ohio, Amerika Serikat, dengan gelar master politik. Ia kemudian mendapatkan gelar S3-nya dari American University di Washington, D.C.[3]
Setelah menamatkan pendidikan, Suryadinata menjabat sebagai peneliti di Institute of South East Asian Studies (ISEAS) di Singapura sejak 1976 sampai 1982. Pada tahun 1982, ia menjabat sebagai dosen senior Departemen Ilmu Politik National University of Singapore, asisten profesor tahun 1994, dan profesor penuh tahun 2000.[3]
Sejak 1990, Suryadinata menjabat sebagai editor jurnal akademik Asian Culture. Ia juga menjadi editor (kemudian ko-editor) Asian Journal of Political Science pada tahun 1993 sampai tahun 2002.[4]
Pada tahun 2002, Suryadinata menjadi peneliti sejawat senior ISEAS. Tahun 2005, ia meninggalkan ISEAS dan menjadi direktur Chinese Heritage Center di Nanyang Technological University.[3]
Hingga 2008[update], Suryadinata telah menerbitkan 50 buku dan monograf, 30 bab di buku tertinjau sejawat, 15 artikel di jurnal internasional, 11 artikel di jurnal Indonesia, enam makalah kerja, dan lebih dari 100 makalah konerensi. Semuanya diterbitkan dalam bahasa Inggris, Indonesia, dan Tionghoa. Aimee Dawis dari The Jakarta Post menulis bahwa "siapapun yang mempelajari etnis Tionghoa di Indonesia harus membaca karya-karya Leo Suryadinata."[3]
Pada tahun 2008, Suryadinata (bersama peneliti Jerman Mary Somers Heidhues) memenangkan Nabil Award atas kontribusinya terhadap integrasi etnis di Indonesia.[2][3]
Suryadinata memiliki seorang putri.[3]