Manai Sophiaan | |
---|---|
Lahir | Manai Sophiaan 5 September 1915 Takalar, Celebes, Hindia Belanda |
Meninggal | 29 Agustus 2003 Jakarta, Indonesia | (umur 87)
Pekerjaan | Diplomat, politikus |
Anak | Sophan Sophiaan |
Manai Sophiaan (5 September 1915 – 29 Agustus 2003[1]) adalah politikus dari Partai Nasional Indonesia. Ia juga adalah ayah dari artis Sophan Sophiaan. Ia adalah orang yang menyerukan mosi yang menyebabkan Peristiwa 17 Oktober 1952.
Manai Sophiaan hidup dalam suasana penjajahan Belanda. Ia menempuh pendidikan di Twede Inlandse School (1926), Schakel School (1931), dan MULO Makassar (1934) ia menjadi guru di Taman Siswa, Yogyakarta pada umur 21 tahun.
Ia adalah seorang Jurnalis ketika penjajahan Jepang tahun 1942 dalam harian pewarta celebes, dan ketika Indonesia merdeka ia menjadi Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia dan Suluh Marhaen.
Pengalaman Politiknya dimulai dari Dewan Gementee (1933—1945) dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP—KNIP) pada masa Revolusi Fisik (1946—1950) . Partai awalnya ketika masa pergerakan nasional adalah Parindra (Partai Indonesia Raya) dan ketika masa Revolusi ia berganti partai menjadi PNI (Partai Nasiona Indonesia) yang berideologikan Marhaenisme Bung Karno . Ia pernah menduduki Sekretaris Jenderal PNI . Ia pernah menjadi anggota parlemen dan mengusulkan mosinya yang berisi Re – Organisasi Angkatan Bersenjata yang menyebabkan peristiwa 17 Oktober 1952 tersebut.
Karier Diplomatiknya mekar ketika pada 1963 Ia ditawari menjadi Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet dan Ia menerimanya, Apalagi hubungan Indonesia — Uni Soviet sedang mekar setelah Trikora yang sukses .
Ia menjadi pelindung Bung Karno saat maupun setelah jadi Presiden Republik Indonesia . Ia membela Bung Karno melalui buku “Kehormatan Bagi Yang Berhak: Bung Karno Tidak Terlibat G-30-S” . Ia menjadi penanda tangan Petisi 50. Ia pernah berseberangan dengan mantan Ketua MPRS Jenderal AH Nasution karena buku “Apa Yang Masih Teringat” yang menyerang Nasution saat ia menjadi Ketua MPRS yang menjungkalkan Bung Karno pada 1967.
Ia meninggal pada 29 Agustus 2003 karena penyakit Parkinson.
Jabatan diplomatik | ||
---|---|---|
Didahului oleh: Adam Malik |
Duta Besar Indonesia untuk Uni Soviet 1964—1967 |
Diteruskan oleh: Max Maramis |