Manajemen energi

Skema pengaturan temperatur udara pada bangunan secara pasif demi penghematan energi

Manajemen energi adalah program terpadu yang direncanakan dan dilaksanakan secara sistematis untuk memanfaatkan sumber daya energi dan energi secara efektif dan efisien. Tujuan diadakannya manajemen energi adalah untuk penghematan energi dan penghematan biaya akibat kenaikan harga energi, kelangkaan sumber daya energi serta kesadaran akan dampak buruk dari eksploitasi berlebihan terhadap energi bagi lingkungan. Sejak dasawarsa 1970-an, manajemen industri telah menjadikan manajemen energi sebagai salah satu fungsi industri yang utama. Faktor yang menentukan tingkat kualitas manajemen energi meliputi rantai pasok, biaya produksi, kualitas energi dan keberlanjutan lingkungan produksi. Manajemen energi digunakan dalam proses transformasi energi dengan menerapkan prinsip umum yang memiliki keabsahan yang dapat dibuktikan kebenarannya. Faktor teknologi pemakai energi tidak diperhitungkan dalam manajemen energi. Prosedur manajemen energi yang efektif meliputi tahapan analisa data sejarah energi, audit energi dan akuntansi, analisis teknik dan studi kelayakan untuk proposal bisnis dan investasi, serta pelatihan dan pemberian informasi kepada personel pelaksana pekerjaan. Pelaksanaan manajemen energi dillakukan oleh konsultan internal atau konsultan eksternal dari suatu perusahaan. Manajemen energi dikelola sesuai dengan anggaran perusahaan bagi biaya energi serta sesuai dengan indeks kinerja ilmiah dari energi.[1]

Masyarakat internasional mulai menyadari kemutlakan adanya permasalahan energi ketika krisis energi dimulai pada periode tahun 1980 hingga 1990 M. Pada periode ini, dunia memasuki era industri yang memberikan masalah lingkungan yang besar dan meningkatkan harga energi dunia. Penghematan energi menjadi suatu faktor yang penting dalam perancangan pabrik dan peralatannya. Pengelola industri mulai mempertimbangkan keberadaan energi bersama dengan pertimbangan pengembalian modal.[2]

Bidang keilmuan

[sunting | sunting sumber]

Manajemen energi mengacu kepada dua bidang keilmuan yaitu keteknikan dan ekonomi. Penngembangan strategi industri di dalam pabrik dan bangunan besar dipengaruhi oleh kedua bidang tersebut. Pendidikan tradisional mengenai manajemen industri khususnya mengkaji tentang mekanika dan termodinamika. Setelah teknologi informasi dan elektronika daya berkembang secara pesat, maka kajian manajemen energi dialihkan ke kelistrikan dan termodinamika. Para pekerja yang dipekerjakan dalam pengelolaan energi juga diberikan pelatihan yang sesuai dengan bidang manajemen energi.[2]

Manajemen energi tidak menjadi bagian dari bidang ilmu manajemen, melainkan termasuk dalam bidang teknik energi. Bidang kajian di dalam manajemen energi dikhusukan pada yang lebih pengelolaan peralatan yang mengkonsumsi energi beserta dampak ekonominya terhadap bisnis, organisasi atau perusahaan. Kehadiran manajemen energi dipengaruhi oleh meningkatnya penggunaan energi pada peralatan-peralatan yang digunakan dalam proses produksi khususnya energi listrik dan bahan bakar. Selain itu, kehadiran manajemen energi cenderung meningkat seiring peningkatan efisiensi energi dalam pemakaian mesin atau sistem produksi.[3]

Manajemen energi pada bangunan gedung

[sunting | sunting sumber]

Sistem manajemen energi pada bangunan gedung modern menentukan ketersediaan pelayanan di dalam gedung. Beberapa fasilitas gedung yang memanfaatkan konsep energi dalam perancangannya antara lain pendinginan ruangan, ventilasi, pencahayaan, hiburan, transportasi, dan keamanan. Pengelolaan eneegi di dalam gedung modern memanfaatkan sistem elektronik yang dikendalikan secara terpusat. Tujuan pemusatan pengendalian energi adalah untuk mengurangi pemakaian energi oleh pemakai gedung tetapi kualitas kerja tetap optimal.[4]

Data pemakaian energi juga dimanfaatkan untuk mengelola dan menetapkan strategi operasional dan pemeliharaan bangunan gedung. Tiap peralatan yang mengonsumsi energi dikumpulkan informasinya secara spesifik, khususnya periode pemakaian dan jumlah energi yang digunakan setiap kali pemakaian. Manajemen energi yang baik akan menghemat pemakaian energi, Sebaliknya, manajemen energi yang buruk menyebabkan produktivitas energi menurun, biaya pemeliharaan meningkat dan kualitas lingkungan dalam gedung menjadi buruk.[5]

Dalam manajemen energi pada bangunan gedung diperlukan integrasi antara beberapa sistem, pengaturan dan pengawasan. Integrasi sistem terjalin antara sistem pembangkit energi, sistem baterai pusat, sistem penyejuk udara, sistem pencahayaan serta sistem lift dan eskalator. Pada area umum, integrasi pengaturan terjalin antara pengaturan pencahayaan, sistem kontrol akses, pengawasan aktivitas manusia dan keamanan, dan sistem alarm kebakaran. Selain itu, ada pula suatu sistem pengukuran yang khusus mengumpulkan data mengenai konsumsi air, listrik dan energi. Manajemen energi pada bangunan gedung wajib meyediakan layanan peringatan, kecenderungan pemakaian energi, catatan dan laporannya serta profil pemakai dan peran manajemen energi.[6]

Pengaliran energi

[sunting | sunting sumber]

Setiap jenis energi yang melalui tahap transformasi energi mengalami tahap pengaliran energi. Beberapa jenis energi digunakan dalam bentuk bahan bakar atau disimpan untuk digunakan pada keperluan tertentu dalam waktu tertentu. Sementara beberapa energi lainnya diubah pada saat pengaliran energi berlangsung. Beberapa jenis perlengkapannya yaitu transformator pada gardu listrik, boiler pada pabrik, serta trigenerasi dan kogenerasi pada pembangkit listrik. Konversi energi ini bertujuan menyimpan energi sebelum menjangkau pengguna energi. Selain itu, ada pula energi yang digunakan secara langsung setelah diubah. Jenis energi ini umumnya diperoleh dari sumber energi terbarukan seperti energi surya dan energi angin.[2]

Pada fasilitas pabrik, transformasi energi dilakukan untuk memperoleh berbagai bentuk energi turunan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna akhir. Hal yang menjadi prioritas dalam kegiatan perubahan energi ini adalah pemeriksaan efisiensi semua instalasi transformasi beserta dengan pemeliharaannya. Beberapa pengaliran energi ditujukan untuk memproses dan memfasilitasi pengguna akhir yang berada dekat dengan lokasi pengubahan energi. Kehilangan energi harus dikurangi selama proses pengaliran energi. Tanggung jawab ini dibebankan kepada sistem distribusi energi khususnya selama tahap perencanaan pengaliran energi dan isolasi termal.[7]

Operasi yang berbeda dapat terjadi pada pengguna akhir energi di sekitar wilayah pengubahan energi. Perbedaan ini terjadi secara alami karena adanya perbedaan produk atau layanan akhir. Umumnya, produk energi ini menghasilkan limbah yang memiliki energi maupun telah kehabisan energi. Selain itu, proses pembuatan produk selalu menghasilkan energi yang terbuang. Limbah dan energi yang terbuang dapat berbentuk air, bahan padat, cairan yang mudah terbakar maupun yang tidak mudah terbakar, serta gas.[8]

Penyimpanan energi

[sunting | sunting sumber]

Setiap energi yang diubah ke bentuk energi lain membutuhkan penyimpanan energi sebelum digunakan oleh konsumen energi. Dalam manajemen energi, penyimpanan energi merupakan cara mengurangi biaya energi serta memperlancar rantai pasok energi kepada konsumen. Produsen energi harus mengadakan ekspliotasi peluang pembelian energi dalam tingkat rendah dan mengetahui profil permintaan energi. Penyimpanan energi umumnya menggunakan pendekatan hidro, mekanik, listrik, dan termal.[9]

Audit energi

[sunting | sunting sumber]

Audit energi merupakan proses pengumpulan dan analisis data yang digabungkan dengan kegiatan konservasi energi. Landasan pengadaan audit energi adalah adanya keharusan tersedianya tujuan dalam proses manajemen energi yang efektif dengan uraian tindakan yang dijelaskan secara rinci. Audit energi meliputi kegiatan pencatatan jenis energi dan jumlah energ yang digunakan di setiap tingkat proses manufaktur. Pencatatan dilakukan secara sistimatis dan berkesinambungan. Selama proses pengumpulan data energi, analisa dan pendefinisian kegiatan konservasi energi juga dilakukan bersamaan.[10]

Kegiatan audit energi merupakan langkah pertama dalam mengadakan efisiensi energi.[11] Audit energi diperlukan dalam peningkatan efisiensi energi di berbagai industri dan proses teknologi untuk mengurangi kerugian energi dan pemakaian cadangan energi.[12] Audit energi dilakukan oleh auditor energi.[13] Kegiatan-kegiatan di dalam audit energi meliputi survei data sederhana hingga pengujian data yang sudah ada secara rinci. Hasil analisa data kemudian digunakan untuk memperoleh data baru dengan mengggabungkan data lama dengan uji coba pabrik secara khusus. Ukuran dan jenis fasilitas pabrik mempengaruhi lamanya waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan suatu audit. Pelaksanaan audit energi juga ditentukan oleh tujuannya.[10]

Audit energi awal

[sunting | sunting sumber]

Audit energi awal meliputi kegiatan survei manajemen energi dan survei energi. Waktu pelaksanaannya ditentukan oleh jenis pabrik dan fasilitasnya. Pabrik yang sederhana dapat mengadakan dan menyelesaikan audit energi awal selama sehari atau beberapa hari. Sementara itu, pabrik dengan fasilitas yang kompleks memerlukan waktu yang lebih lama. Survei manajemen energi meliputi kegiatan memahami manajemen energi yang sedang berlangsung, khususnya pengambilan keputusan dalam investasi proyek konservasi energi. Sedangkan kegiatan pada survei energi adalah membuat ulasan mengenai kondisi peralatan selama digunakan oleh pemakai energi yang penting. Jenis pemakai energi ini khususnya adalah pendidih dan sistem uap. Instrumentasi yang mampu menghasilkan energi secara efisien juga termasuk dalam peralatan penting. Audit energi awal menggunakan instrumentasi portabel dengan jumlah yang sedikit. Audit energi awal dilakukan oleh auditor energi yang berpengalaman dalam mengadakan pengamatan dan pengumpulan data yang saling terhubung satu sama lain. Hasil audit energi awal digunakan untuk diagnosa situasi energi pabrik secara cepat.[14]

Manfaat utama dari audit energi awal ialah mengetahui penyebab-penyebab adanya pemborosan energi. Efisiensi energi dalam jangka pendek juga dapat dicapai dengan mengadakan tindakan-tindakan sederhana yang menghemat energi. Beberapa indikasi di dalam audit energi awal yaitu kecacatan insulasi, kebocoran uap dan udara-tekan, kerusakan peralatan, dan pembandingan udara dan bahan bakar yang tidak terkendali. Hal lain yang dapat diperoleh dari kegiatan audit energi awal adalah informasi mengenai analisa data yang tidak lengkap dan lokasi pengawasan manajemen energi yang perlu diperketat. Pelaporan hasil audit energi awal dapat disusun dalam bentuk seperangkat rekomendasi yang berisis tindakan berbiaya rendah yang dapat dilaksanakan segera setelah pelaporan. Selain itu, laporan audit energi awal dapat berisi rekomendasi audit yang lebih sesuai untuk menguji secara teliti di area pabrik yang terpilih.[15]

Audit energi terinci

[sunting | sunting sumber]

Audit energi terinci dilakukan setelah audit energi awal selesai dikerjakan. Waktu pelaksanaannya dapat mencapai beberapa pekan. Lamanya kegiatan audit energi terinci bergantung pada sifat dan kompleksitas pabrik. Audit energi terinci mengamati kondisi peralatan operasi dari segi bahan pembuatan peralatan. Indikator utamanya adalah neraca bahan dan neraca panas. Instrumentasi portabel digunakan untuk mengukur parameternya. Uji coba dalam audit energi terinci disesuaikan dengan jenis dan tujuan fasilitas yang sedang dipelajari, serta tingkat pembiayaan program manajemen energi.[16] Uji coba yang diadakan dalam audit energi terinci meliputi uji efisiensi pembakaran, pengukuran suhu dan aliran udara bahan bakar pada peralatan utama, penentuan peralatan listrik yang menyebabkan penurunan faktor daya, dan uji sistem proses untuk peralatan yang baru diketahui spesifikasinya saja dan belum beroperasi.[16] Audit energi rinci hanya dilakukan ketika suatu bangunan mempunyai nilai intensitas konsumsi energi yang melebihi nilai dari suatu standar yang diberlakukan.[17]

Kebijakan

[sunting | sunting sumber]

Kebijakan manajemen energi dibuat agar setiap pelaksananya dapat berperan aktif dalam mencapai tujuan manajemen energi. Penetapan kebijakan manajemen energi memberikan peluang yang lebih besar dalam pencapaian tujuan manajemen energi. Lingkup kebijakan manajemen energi meliputi pernyataan kebijakan dan strategi manajemen energi. Pernyataan kebijakan berisi pernyataan umum mengenai tujuan pelaksanaan manajemen energi. Sementara strategi manajemen berisi langkah-langkah pencapaian tujuannya. [18]

Adanya kebijakan manajemen energi akan mempusatkan para pelaksananya pada satu kerangka berpikir yang tunggal dalam pencapaian tujuannya. Kebijakan ini juga membentuk program kerja yang sistemasi dan menunjukkan adanya komitmen terhadap manajemen energi. Penetapan kebijakan juga dijadikan sebagai bentuk pengawasan perubahan perilaku pelaksana manajemen enerfi serta menyediakan sumber daya yang memadai. Manfaat lain dari penetapan kebijakan manajemen energi adalah membangun kesadaran energi bagi para pelaksananya. Efektifitas pelaksanaan kebijakan manajemen energi ditentukan oleh tingkat integrasinya dengan sistem informasi, standar teknis, pemasaran dan manajemen keuangan.[18]

Penerapan

[sunting | sunting sumber]

Manajemen energi bertujuan untuk mengawasi penggunaan energi di dalam suatu organisasi atau perusahaan. Dalam pengawasannya dilibatkan berbagai disiplin ilmialh lainnya, antara lain keteknika, ekonomi, akuntansi, desain dan riset operasional serta teknologi sistem informasi manajemen. Manajemen energi dapat diterapkan untuk semua jenis perusahaan, industri maupun bangunan.[19]

Manajemen energi dapat dikelola secara buruk jika pengelolanya kekurangan pengetahuan mengenai teknik manajemen energi. Buruknya manajemen energi juga dapat disebabkan oleh kurangnya tradisi yang kuat dalam investasi modal. Dampak yang ditimbulkan ialah pemborosan energi.[1] Di sisi lain, pabrik berukuran besar menggunakan energi dalam jumlah besar. Pabrik besar ini kemudian mengadakan penguatan pabrik dengan meningkatkan fasilitas proses produksi. Sementara itu, sektor industri dengan penggunaan energi yang tidak besar hanya melakukan investasi dengan pengembalian modal sesingkat mungkin. Pabrik berukuran kecil umumnya menunda modifikasi proses produksi dan hanya melakukan pemulihan panas dan pengurangan kerugian akibat biaya energi. Manajemen energi dengan kondisi tersebut menghasilkan perubahan strategi produksi yang drastis sehingga sulit terkendali.[1]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ a b c Sutikno, dkk. 2019, hlm. 1.
  2. ^ a b c Sutikno, dkk. 2019, hlm. 2.
  3. ^ Ghurri 2016, hlm. 4.
  4. ^ Gunawan, dkk. 2012, hlm. 69.
  5. ^ Gunawan, dkk. 2012, hlm. 69-70.
  6. ^ Gunawan, dkk. 2012, hlm. 70.
  7. ^ Sutikno, dkk. 2019, hlm. 2-3.
  8. ^ Sutikno, dkk. 2019, hlm. 3.
  9. ^ Sutikno, dkk. 2019, hlm. 40-41.
  10. ^ a b Simatupang, Hafiz dan Sasongko 2011, hlm. 1.
  11. ^ Wati 2020, hlm. 10.
  12. ^ Lestari 2020, hlm. 5.
  13. ^ Lestari 2020, hlm. 12.
  14. ^ Simatupang, Hafiz dan Sasongko 2011, hlm. 2.
  15. ^ Simatupang, Hafiz dan Sasongko 2011, hlm. 2-3.
  16. ^ a b Simatupang, Hafiz dan Sasongko 2011, hlm. 3.
  17. ^ Wati 2020, hlm. 35.
  18. ^ a b Ghurri 2016, hlm. 27.
  19. ^ Ghurri 2016, hlm. 4-5.

Daftar pustaka

[sunting | sunting sumber]