Mardiker (bahasa Belanda: mardijkers) adalah sebutan umum abad 17-18 untuk para bekas budak dari Asia atau Afrika, yang telah dimerdekakan, dan kemudian bersama keturunannya mengikuti budaya penjajahnya. Dalam arti sempit, kaum mardiker merujuk pada sekelompok bekas tawanan perang yang diperoleh Belanda (VOC) hasil kemenangannya menduduki wilayah jajahan Portugis di Asia (India, Melaka), yang kemudian dibawa ke Batavia dan dimerdekakan setelah memenuhi syarat tertentu. Di Jakarta, keturunan kaum mardiker ini masih tersisa, di antaranya, di bilangan Kampung Tugu, di wilayah Jakarta Utara. Kelompok ini juga dikenal dengan sebutan Portugis Hitam.
Istilah Belanda mardijkers dipinjam dari istilah Portugis mardicas; yang asalnya dari perkataan Sanskerta maharddhika, yang berarti "kaya", "sejahtera", atau "hebat". Dalam bahasa Jawa lama (merdika, dan kata turunannya perdikan) kata itu mengacu pada orang atau tempat yang dibebaskan dari perbudakan, kungkungan penguasaan, atau kewajiban membayar pajak.[1] Makna serupa dimiliki oleh kata serapan dalam Bahasa Indonesia merdeka, yakni bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya.[2]
Kaum mardiker semula merujuk pada kelompok budak dan tawanan perang tentara Portugis, terdiri dari warga setempat wilayah yang ditaklukkan, yang kemudian dimerdekakan dengan syarat mau memeluk agama Kristen (Katolik) dan bersedia menjadi milisi.[3] Pendekatan ini kemudian ditiru serta diterapkan oleh Spanyol dan Belanda di wilayah-wilayah jajahannya.
Setelah dibebaskan, kelompok warga ini lalu mengidentifikasi diri sebagai 'orang Portugis'; meskipun sesungguhnya tidak ada atau hanya sedikit darah Portugis yang mengalir di tubuhnya. Bukan hanya menganut agama bangsa penakluknya, mereka pun kemudian memakai nama, berbicara, berpakaian, dan bertingkah laku serta mengambil sebagian budaya Portugis. Secara umum, kelompok ini dikenal sebagai lusofon (en:lusophone).[4]
Kaum mardiker ini merupakan salah satu penghuni awal loji VOC di Jaccatra (Jayakarta). Catatan VOC tahun 1618 menyebutkan sekitar 70 warga mardiker yang menyandang nama-nama Portugis telah berada di loji ini; kemungkinan berasal dari kapal-kapal Portugis yang berhasil dikalahkan atau dirampok ketika itu.[1] Ketika VOC merebut Melaka dari tangan Portugis pada tahun 1641, tentaranya membawa pulang tawanan yang kebanyakan adalah kaum mardiker asal Bengali dan Koromandel yang menjadi milisi Portugis di Melaka. Para tawanan ini kemudian dijadikan budak-budak pekerja di Batavia, dan dilarang untuk melaksanakan ibadah agama Katolik yang dianutnya. Akan tetapi budak-budak ini dapat dibebaskan jika mau berpindah keyakinan menjadi Kristen Protestan sebagaimana orang Belanda.[5]
Meskipun berkulit gelap sebagaimana umumnya orang Tamil, kelompok mardiker ini memandang diri mereka sebagai orang Portugis. Selain beragama Nasrani, orang-orang mardiker membedakan diri dari warga etnis Asia yang lainnya dengan mengambil nama-nama Portugis atau Belanda untuk diri atau keturunan mereka,[1] menggunakan bahasa Kreol Portugis[6] atau Portugis pasar[1] dan berpakaian seperti orang Portugis. Puncak populasi kaum mardiker ini di masa penguasaan VOC adalah sekitar 7.500 orang, dan saat itu menjadi kelompok terbanyak di antara penutur bahasa Kreol Portugis di Batavia.[7]
Dengan meningkatnya keamanan lingkungan di wilayah Ommelanden (yaitu di luar benteng kota Batavia), para mardiker ini berangsur-angsur menyebar ke luar kota untuk mengelola lahan-lahan pertanian.[1] Jumlah kaum mardiker di dalam kota Batavia yang pada 1876 tercatat sebanyak 6.000 orang, lambat laun turun menjadi 2.000 orang pada tahun 1685.[8] Beberapa dari orang-orang mardiker ini berhasil dalam usahanya, memiliki lahan-lahan luas dan rumah yang bagus di tengah kebunnya di Ommelanden dan memperoleh kehormatan yang cukup tinggi di masyarakat.[1]
Kelompok mardiker juga terdapat di Kota Ambon. Sebagaimana di Batavia, orang-orang ini berasal dari bekas budak-budak Portugis yang telah dibebaskan beserta keturunannya. Kelompok ini direkrut sebagai serdadu dan pengawal kota, sekurangnya semenjak perlawanan Pattimura pada tahun 1817.[9]
Kaum mardiker yang lain adalah yang berasal dari Filipina, berdiam di Batavia di wilayah Papanggo sekarang. Nama Papanggo berasal dari perkataan Belanda de Papangers,[8] yang berarti "orang-orang Pampanga" merujuk pada lokasi asalnya di wilayah Pampanga, Luzon.[10]
Mardiker masih tercatat sebagai salah satu kelompok warga Batavia hingga tahun 1815, di bawah kelompok inheemsche Christenen yang berarti Kristen pribumi.[5]
Salah satu tempat yang dikenal erat hubungannya dengan kaum mardiker ini adalah Kampung Tugu, yang dewasa ini termasuk wilayah Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Pada 1661 Pemerintah Kota Batavia memberikan sebagian lahan di kampung ini kepada 23 keluarga mardiker untuk mengembangkan pertanian.[11]
Sejak itu masyarakat mardiker tumbuh dan berkembang di Kampung Tugu. Mereka mempertahankan adat budaya kaum mardiker, termasuk bahasa, pakaian, dan juga musik (keroncong) serta budaya lainnya. Untuk mempertahankan keyakinan Protestannya, pada 1678 Pemerintah Kota Batavia mengirimkan pendeta Melchior Leydekker untuk bekerja di kampung ini. Pada tahun itu pula dibangun Gereja Tugu sebagai tempat ibadah warga setempat. Sekurang-kurangnya, hingga pertengahan abad ke-20 orang-orang Tugu berhasil mempertahankan identitas budayanya.[11]
Setelah dibebaskan, Mardijkers bertugas kembali di ketentaraan VOC, dan secara tradisional, keturunan merekapun menjadi serdadu. Kemudian masuk juga mantan budak-budak yang berasal dari India dan Afrika, yang bercampur dengan budak-budak yang berasal dari Sulawesi, Bali dan Melayu.
Tahun 1777 masih terdapat 6 kompi Mardijkers (sekitar 1.200 orang) di dinas ketentaraan VOC yang bertugas menjaga perumahan Belanda di dalam kota. Tahun 1803 masih tersisa satu kompi, dan kompi terakhir dibubarkan tahun 1808.