Na Du Gong | |||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Gambar dewa masyarakat China di Malaysia - Na Du Gong (拿督公) | |||||||||||
Hanzi tradisional: | 拿督公 | ||||||||||
|
Na Du Gong (Hanzi =拿督公; pinyin=Ná Dū Gōng; POJ=Ná-tok-kong) adalah para roh penjaga lokal di Malaysia. Salah satu variasi namanya adalah Datok atau Datuk (Datok Gong), berasal dari bahasa Malaysia yang memiliki arti 'kakek'. Nama Datuk digunakan sebagai panggilan kehormatan, demikian pula gelar Gong juga merupakan gelar kehormatan. Salah satu versi asal mula pemujaan Na Du Gong adalah bahwa mereka berasal dari pemujaan Tu Di Gong yang berasal dari China[1] dan Datuk Keramat yang merupakan dewa asli Malaysia.
Dalam penamaan mandarin, Ná (拿) memiliki makna "memegang, merampas, menangkap, menahan, mengambil"; Dū (督) "mengawasi dan mengarahkan, gelar kuno dalam pasukan"; dan Gōng (公) "publik, milik orang banyak, umum, internasional, membuat publik, adil, jujur, gelar kebangsawanan, pria terhormat, ayah mertua, jantan (binatang)".[2]
Gelar resmi untuk Na Du Gong adalah Na Du Zun Wang (Hanzi=拿督尊王; pinyin= Ná Dū Zūn Wáng). Zūn (尊) memiliki makna "senior, angkatan tua, menghormati, menghargai, gelar"; Wáng (王) adalah "raja atau monarki, yang terbaik dalam jenisnya, agung, besar, mengatur, memimpin".[2]
Dalam bahasa Malaysia, datuk memiliki arti "wali kota, kakek, pendahulu, leluhur, bapak tua". Ia dikenal dengan nama Datok Gong atau Da Tok kong dalam logat Hokkien. Ia juga disebut sebagai Datuk Keramat atau Datok Haji Keramat.
Agama-agama tradisional di Asia tergolong dalam agama yang memuja alam. Na Du Gong sendiri merupakan sisa peninggalan agama tradisional Malaysia sebelum kedatangan Islam. Sekarang ini, roh-roh pujaan tradisional di Malaysia disebut dengan nama jin kafir sementara roh penjaga disebut penunggu atau Datuk Keramat. Para Datok dan Keramat dipandang sebagai salah satu alternatif untuk memohon perlindungan serta penyembuhan. Namun, pemujaan mereka menurun setelah pejabat Islam di Malaysia menekan berbagai aktivitas semacam itu, dan pada saat itu justru mulai diadopsi oleh warga China di Malaysia.[1] Medium yang disebut bomoh bertugas sebagai perantara komunikasi antara Datok dan Keramat dengan para pemujanya.
Tidak jelas mengapa masyarakat China di Malaysia, yang memiliki Dewa Bumi sendiri, dengan mudahnya menerima Datok ke dalam panteon keagamaan mereka. Kemungkinan pertama adalah mereka memerlukan para dewata lokal untuk memberikan perlindungan spiritual yang lebih kepada mereka, kemungkinan kedua karena para Datok terkenal sering memberikan nomor lotre yang jitu.
Bagi sebagian besar warga China di Malaysia, Na Du Gong merupakan roh penjaga lokal yang tinggal di pepohonan, rumah-rumah semut, gua-gua, bantaran sungai, dan pada formasi bebatuan yang berbentuk aneh. Setelah seseorang memperoleh penglihatan wujud spiritual sesosok roh Datok, biasanya berwujud macan putih atau pria tua yang berpakaian putih, barulah pemujaan kepadanya dimulai. Sesosok Na Du Gong juga bisa diundang untuk tinggal di luar rumah sebuah keluarga sebagai perlindungan dan keberuntungan (pemujaan Na Du Gong tidak pernah dilakukan di dalam rumah). Masyarakat juga terkadang membangun sebuah kuil kecil di samping jalan untuknya.[1]
Para pemuja Na Du Gong biasanya mempersembahkan sepasang lilin putih, tiga batang hio, serta kemenyan. Pada Kamis malam, pemuja Na Du Gong memberikan persembahan spesial berupa daun sirih lengkap dengan kapur sirih, potongan buah pinang, tembakau, dan rokok daun serta persembahan lain seperti buah-buahan. Babi, bir, arak, dan produk beralkohol lain tidak digunakan sebagai persembahan karena bertentangan dengan hukum Islam (tidak disukai oleh Datuk Haji Keramat).[1]
Setiap Na Du Gong memiliki hari raya yang berbeda. Pada negara bagian utara (Perlis, Kedah, dan Penang), para pemuja biasanya menyembelih ayam bahkan terkadang juga kambing pada hari festivalnya. Ayam dan sapi wajib disembelih oleh umat Muslim, terutama lagi kambing, supaya persembahan tersebut diterima oleh Datok. Dagingnya dimasak kari kemudian dipersembahkan kepada Datok bersama dengan nasi kuning. Persembahan seperti ini juga dipersembahkan oleh pemuja yang permohonannya dikabulkan, misalnya menang lotre.[1]
Roh-roh yang tinggal di pepohonan dan bebatuan juga dianggap sebagai Dato dan Keramat, bahkan juga roh guru-guru agama Islam lokal yang cukup terkenal. Roh penjaga desa yang terkenal galak adalah Dato’ Panglima Hitam, yang tinggal di pepohonan disebut Dato’ Hijau. Beberapa dato juga memiliki nama pribadi yang akan diberitahukan kepada pemujanya pada saat ritual kemasukan arwah. Identitas mereka, seperti nama dan tanggal pembangunan kuil, ditulis pada bendera yang dipasang di kuil. Berikut ini adalah sebagian dari para Na Du Gong.[1]
So Ah Cong (Hanzi= 苏亚松; pinyin= Sū Yà Sōng) berasal dari Kanton, orang Hakka. Ia merupakan ketua organisasi rahasia Ghee Hin yang membuka 16 pemukiman tambang timah. Pada bulan Juni 1865, ia tertangkap dan dihukum mati oleh pemimpin lokal Matang karena terlibat dalam perang antar Hui (organisasi-organisasi rahasia) yang dikenal sebagai Perang Larut. Setelah kematiannya yang heroik, pemimpin Melayu menyebutnya Panglima Ah Chong.
Dikatakan bahwa doa kepadanya sangat efektif sehingga penduduk Matang dan masyarakat pesisir pantai mendirikan banyak kuil untuknya. Pemerintah kota praja Taiping (Malaysia) menamakan sebuah jalan berdasarkan namanya sebagai penghargaan atas kontribusinya dalam perekonomian.
Dalam catatan sejarah Dinasti Ming, saat pemerintahan Raja Wan Li (1573-1620; Hanzi=万历皇帝), seorang pria dari Zhangzhou Fujian bernama Zhang tinggal di Brunei dan ditunjuk menjadi Datuk Brunai. Karena beberapa ketidakadilan, Zhang bunuh diri dan penduduk yang ia pimpin menuntut keadilan untuknya.