Najis berasal dari kata bahasa Arab dari kata (النجاسة) berarti kotoran. yang menjadi sebab terhalangnya seseorang untuk beribadah kepada Allah. Najis juga dapat berarti jijik atau kotoran.[1]
Dalam bahasa Arab, najis diperoleh dari akar kata al-qadzarah ( القذارة ) yang artinya adalah kotoran. Sedangkan definisi menurut istilah disampaikan antara lain oleh ulama Mazhab Syafi'i dan Mazhab Maliki. Dalam Mazhab Syafi'i, najis secara literal bermakna segala sesuatu yang kotor yang dapat mencegah keabsahan salat.[2] Sedangkan menurut Mazhab Maliki, najis merupakan sifat hukum suatu benda yang mengharuskan seseorang tercegah dari kebolehan melakukan salat bila terkena atau berada di dalamnya.[butuh rujukan]
Najis mukhaffafah adalah jenis najis yang tingkat kekotorannya paling ringan. Bentuknya ialah air kencing dari anak laki-laki atau anak perempuan yang masih menyusu kepada ibunya dan belum berusia dua tahun. Najis mukhaffafah dari anak laki-laki dibersihkan menggunakan percikan air mutlak pada bagian tubuh yang terkena najis. Sedangkan najis mukhaffafah yang berasal dari anak perempuan harus dicuci dengan air mutlak.[3]
Najis mutawassitah adalah jenis najis yang tingkat kekotorannya tergolong sedang. Beberapa bentuk najis mutawassitah ialah tinja dari manusia dan hewan. Jenis lainnya ialah nanah, darah dan bangkai.[3] Cara membersihkannya dengan mengguyurnya dengan air sampai bersih, menggosoknya dengan tanah atau benda lain, atau dengan cara yang lainnya. Contohnya, segala sesuatu yang keluar dari lubang depan dan lubang belakang manusia/hewan (kecuali air mani manusia), muntahan, darah, bangkai (kecuali bangkai manusia, belalang, dan ikan), dan minuman keras yang cair.[4]
Najis mugallazah adalah najis yang cara membersihkannya dengan mencucinya sebanyak tujuh kali dan di antaranya satu kali menggunakan air yang bercampur tanah. Contohnya: air liur anjing dan babi.[4]
Semua mazhab, kecuali Mazhab Hanafi menyepakati bahwa najis tidak dapat dihilangkan menggunakan api atau sinar matahari. Mazhab Hanafi mengemukakan bahwa kulit bangkai dapat tidak dianggap najis ketika telah kering oleh sinar matahari. Hilangnya najis ini berlaku meskipun kulit tersebut melalui penyamakan. Pendapat ini juga diberlakukan oleh Mazhab Hanafi terhadap tanah yang terkena najis tetapi kering oleh sinar matahari. Tanah tersebut dapat digunakan sebagai tempat salat, tetapi tidak dapat digunakan untuk tayamum.[5]
Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa air yang dalam kondisi tenang dengan jumlah kurang dari dua kulah akan menjadi najis jika terkena benda najis. Kenajisan ini berlaku meskipun air tidak mengalami perubahan sifat. Sementara itu, beberapa pengikut Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa air tersebut tetap suci selama tidak terjadi perubahan sifat.[5]
Kemudian, Mazhab Hambali dan Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa air tidak menjadi najis jika terkena dengan benda najis saat jumlahnya lebih dari dua kulah. Kondisi najis hanya berlaku pada air ini ketika terjadi perubahan sifat. Sedangkan Mazhab Maliki menetapkan kenajisan air berdasarkan ukuran wadah atau volume. Air dengan wadah berukuran lebih besar dari dua kulah tidak menjadi najis jika terkena benda najis. Hukumnya menjadi najis ketika warna, rasa dan baunya mengalami perubahan. Hukum ini berlaku dalam jumlah air yang sedikit ataupun banyak dengan ukuran wadah tersebut. Sementara Mazhab Hanafi berpendapat bahwa kenajisan air hanya terjadi ketika bercampur dengan benda najis dengan jumlah air yang sedikit. Pada kondisi air yang jumlahnya banyak, meskipun bercampur dengan benda najis, air tetap tidak najis. Ukuran banyaknya air dalam pendapat ini ialah banyak ketika air digerakkan dari satu tepi, tetapi tepi lain tidak bergerak.[6]
Menurut pendapat Mazhab Hanafi, Mazhab Hambali dan Qaul Jadid dari Mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa hukum kenajisan air yang mengalir sama dengan air yang tenang. Mazhab Maliki dan Qaul Qadim dari Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa air yang mengalir tidak menjadi najis jika terkena benda najis selama air tersebut tidak mengalami perubahan sifat dalam jumlah sedikit maupun banyak. Pendapat ini didukung oleh Al-Ghazali, Imam Nawawi, dan Imam Al-Haramain.[7]
Mazhab Syafi'i, Mazhab Hambali dan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa anjing merupakan hewan yang najis. Menurut Mazhab Syafi'i dan mazhab hambali, bekas jilatan anjing pada bejana harus dibasuh sebanyak tujuh kali. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, bekas jilatan anjing pada bejana dibasuh seperti jenis najis yang lainnya. Pembasuhan tidak wajib dilakukan sebanyak tujuh kali, jika najis sudah dianggap hilang, maka bejana telah dianggap suci kembali. Namun, jika najisnya dianggap belum hilang, pembasuhan dapat dilakukan lebih dari tujuh kali hingga dua puluh kali. Sedangkan Mazhab maliki berpendapat bahwa anjing adalah hewan yang suci sehingga bekas jilatannya tidak najis. Namun, bejana yang dijilati oleh anjing harus dicuci sebagai bentuk ibadah. Mazhab selain Mazhab maliki mewajibkan membasuh tujuh kali bejana yang dimasuki oleh anjing dengan keempat kakinya. Mazhab Maliki hanya memberlakukan pembasuhan tujuh kali pada bekas jilatan anjing.[8]
Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa babi hukumnya najis sama seperti anjing. Bekas najisnya harus dicuci sebanyak tujuh kali. Sementara itu, Imam Nawawi berpendapat bahwa najis dari babi cukup dibasuh sekali saja tetapi ditambah dengan tanah. Alasan dari pendapat ini adalah tidak adanya kewajiban kecuali ada perintah.[9] Mazhab Hanafi berpendapat bahwa najis dari babi harus dibasuh seperti jenis najis lainnya. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat bahwa babi itu suci saat masih hidup. Pendapat ini ditetapkan karena kenajisan babi tidak memiliki dalil.[10]
Menurut pendapat Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi'i, najis dari hewan selain anjing dan babi tidak diulang sebanyak tujuh kali. Pembasuhan ini berlaku untuk bejana, pakaian dan tubuh manusia. Sedangkan sebagian besar pengikut Mazhab Hambali berpendapat bahwa basuhan wajib dilakukan sebanyak tujuh kali, kecuali najis tanah. Beberapa riwayat lain dari Mazhab Hambali menyebutkan pembasuhan hanya dilakukan tiga kali. Ada pula riwayat yang tidak mengharuskan pengulangan basuhan untuk najis dari hewan selain dari anjing dan babi.[10]
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa semua jenis kulit bangkai binatang hukumnya suci setelah penyamakan, kecuali kulit babi dan anjing. Mazhab Syafi'i juga menyetujui pendapat ini, tetapi menambahkan bahwa kulit bangkai binatang hasil silang dari anjing maupun babi dengan binatang lain tetap merupakan najis. Mazhab Maliki berpendapat bahwa kulit bangkai binatang tidak dapat menjadi suci, tetapi dapat digunakan untuk sesuatu yang basah. Dalam Mazhab Hambali, terdapat dua pendapat. Pendapat yang terbanyak adalah kulit bangkai tidak suci dan tidak digunakan untuk keperluan apapun. Hukumnya sama dengan daging bangkai. Sementara daari riwayat az-Zuhri, kulit bangkai dapat digunakan meski tanpa penyamakan sama sekali.[11]
Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hambali berpendapat bahwa binatang hasil sembelihan yang haram untuk dimakan, kulitnya tidak dapat digunakan untuk keperluan apapun. Ini karena hukum sembelihannya menjadi bangkai. Mazhab Maliki berpendapat bahwa kulit bangkai dapat digunakan, kecuali kulit babi. Sedangkan kulit anjing atau binatang buas lainnya menjadi suci ketika disembelih. Kesuciannya berlaku meskipun tidak mengalami penyamakan. Selain itu, kulitnya dapat diperjual-belikan dan dijadikan sebagai wadah air wudu. Sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa seluruh bagian kulit dari anjing dan binatang buas lainnya adalah suci. Hanya dagingnya yang haram. Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat bahwa dagingnya makruh untuk digunakan.[12]
Mazhab Syafi'i berpendapat bahwa rambut dan bulu dari bangkai selain manusia hukumnya najis. Mazhab Maliki berpendapat bahwa bulu binatang tidak pernah mati, sehingga hukumnya suci baik pada binatang yang halal maupun haram dimakan dagingnya. Kesucian bulu ini berlaku baik dalam keadaan masih hidup maupun setelah mati. Sedangkan menurut Mazhab Hambali dan Mazhab Hanafi, rambut dan bulu dari anjing dan babi adalah suci karena tidak bernyawa. Mazhab Hanafi menambahkan bagian lain yang juga suci, yaitu tanduk, gigi dan tulang. Dalam periwayatan Hasan al-Bashri dan al-Awza'i disebutkan bahwa semua rambut binatang adalah najis, namun dapt disucikan dengan dibasuh.[13]
Air kencing bayi merupakan najis. Menurut Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanafi, air kencing dari bayi laki-laki yang masih meminum air susu ibu hanya dilakukan dengan memercikkan air di atas air kencing. Sedangkan najis dari air kecing bayi perempuan yang masih menyusui harus dibasuh atau disiram. Mazhab Maliki berpendapat bahwa air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan adalah najis dan keduanya dibersihkan dengan dibasuh. Sedangkan menurut mazhab Hambali, air kencing dari bayi perempuan yang masih menyusui adalah suci.[11]
Air mani dari manusia hukumnya najis menurut Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki. Mazhab Maliki berpendapat bahwa penyucian dari air mani dilakukan dengan dibasuh dengan air, meskipun air mani masih basah atau telah mengering. Sedangkan Mazhab Hanafi berpendapat bahwa penyucian dari air mani dilakukan dengan dibasuh dengan air ketika masih basah, sedangkan saat mengering, maka dikerik. Sedangkan Mazhab Sayfi'i menetapkan air mani sebagai sesuatu yang suci secara mutlak. Ketidaksuciannya hanya berlaku pada air mani dari anjing dan babi. Sedangkan Mazhab Hambali berpendapat bahwa air mani yang suci hanya air mani dari manusia.[14]