Negasionisme sejarah


Negasionisme sejarah[1][2] atau denialisme adalah pemalsuan atau distorsi catatan sejarah. Hal ini sering kali secara tidak tepat atau sengaja disalahartikan sebagai revisionisme sejarah, meski istilah itu juga menunjukkan upaya akademis yang sah untuk menafsirkan ulang catatan sejarah dan mempertanyakan pandangan yang diterima.[3]

Dalam upaya untuk merivisi masa lalu, revisionisme sejarah yang tidak sah dapat menggunakan teknik yang tidak dapat diterima dalam wacana sejarah yang benar. Di antaranya seperti menyajikan dokumen yang dikenal palsu sebagai dokumen asli, menciptakan alasan ulung tetapi tidak masuk akal mengenai keaslian dokumen, mempertalikan kesimpulan dengan buku atau sumber yang menyatakan sebaliknya, memanipulasi seri statistik untuk mendukung sudut pandang yang diinginkan, dan secara sengaja salah menerjemahkan dokumen (dalam bahasa lain).[4]

Beberapa negara seperti Jerman, telah mengkriminalisasi revisi negasionis dari peristiwa-peristiwa tertentu, dan negara lainnya mengambil posisi yang lebih hati-hati karena berbagai alasan, seperti perlindungan kebebasan berbicara, sementara lainnya mengamanatkan pandangan negasionis.

Contoh-contoh utama dari negasionisme termasuk penyangkalan pembantaian tertuduh komunis pada 1960-an di Indonesia, penyangkalan Holokaus, penyangkalan Genosida Armenia, Alasan Kekalahan Konfederasi, penyangkalan kejahatan perang Jepang[5][6] dan penyangkalan kejahatan Soviet.

Dalam literatur, konsekuensi negasionisme sejarah telah digambarkan secara imajinatif dalam beberapa karya fiksi, seperti Nineteen Eighty-Four karya George Orwell. Pada masa modern, negasionisme dapat menyebar melalui media baru seperti internet.

Asal-usul istilah

[sunting | sunting sumber]

Istilah "negasionisme" (négationnisme) pertama kali diciptakan oleh sejarawan Prancis, Henry Russo dalam bukunya The Vichy Syndrome pada 1987, yang membahas memori rakyat Prancis mengenai Prancis Vichy dan Perlawanan Prancis. Russo berpendapat bahwa perlu untuk membedakan revisionisme sejarah yang sah dalam kajian Holokaus dan penyangkalannya yang bermotivasi politik, yang dia sebut negasionisme.[7]

Biasanya, tujuan negasi sejarah adalah untuk mencapai tujuan nasional dan politik, dengan mengalihkan rasa bersalah perang, menjelekkan musuh, memberikan ilusi kemenangan, atau menjaga persahabatan.[8] Terkadang tujuan revisi sejarah adalah untuk menjual lebih banyak buku atau menarik perhatian dengan tajuk utama surat kabar.[9] Sejarawan James M. McPherson mengatakan bahwa kelompok negasionis ingin agar sejarah revisionis dipahami sebagai, "interpretasi masa lalu yang dipalsukan atau menyimpang secara sadar untuk melayan:i tujuan atau ideologi partisan di masa sekarang".[10]

Pengaruh ideologis

[sunting | sunting sumber]

Fungsi utama sejarah negasionis adalah kemampuan untuk mengendalikan pengaruh ideologis dan mengendalikan pengaruh politik. Dalam "History Men Battle over Britain's Future", Michael d’Ancona mengatakan bahwa negasionis sejarah "tampaknya telah diberi tugas kolektif dalam pengembangan budaya suatu negara, yang signifikansinya baru muncul sekarang, yaitu untuk mendefinisikan kembali status [nasional] di dunia yang berubah".[11] Sejarah adalah sumber daya sosial yang berkontribusi untuk membentuk identitas nasional, budaya, dan memori publik. Melalui kajian sejarah, orang dijiwai dengan identitas budaya tertentu; oleh karena itu, dengan merevisi sejarah secara negatif, negasionis dapat membuat identitas ideologis yang spesifik. Karena sejarawan dipercaya sabagai orang yang tulus mengejar kebenaran dengan menggunakan fakta, sejarawan negasionis memanfaatkan kedibilitas profesional sejarawan, dan menghadirkan pseudosejarah mereka sebagai karya keilmuan asli.[12] Dengan menambahkan ukuran kredibilitas pada karya sejarah yang direvisi, gagasan sejarawan negasionis lebih mudah diterima di benak publik.[12] Dengan demikian, sejarawan profesional mengakui praktik revisionis dari negasionisme sejarah sebagai karya "pencari kebenaran" yang menemukan kebenaran yang berbeda dalam catatan sejarah agar sesuai dengan konteks politik, sosial dan ideologis mereka.[13]

Pengaruh politik

[sunting | sunting sumber]

Sejarah memberikan wawasan tentang kebijakan dan konsekuensi masa lalu, dan dengan demikian membantu orang untuk meramalkan implikasi politik bagi masyarakat kontemporer. Negasionisme sejarah diterapkan untuk menumbuhkan mitos politik tertentu - terkadang dengan persetujuan resmi dari pemerintah - di mana sejarawan otodidak, amatir, atau pembangkang akademis memanipulasi atau salah mengartikan catatan sejarah untuk mencapai tujuan politik. Di Uni Soviet (1917-1991), Ideologi Partai Komunis Uni Soviet dan historiografinya memperlakukan realitas dan garis partai sama dengan entitas intelektual;[14] Negasionisme sejarah Soviet memajukan agenda spesifik politik dan ideologis mengenai Rusia dan tempatnya di sejarah dunia.[15]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Kasus penyangkalan

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Istilah "negasionisme" berasal neologisme Bahasa Prancis négationnisme, menunjukkan penolakan Holokaus.(Kornberg, Jacques. The Future of a Negation: Reflections on the Question of Genocide.(Review) (book review), Shofar, January 2001). It is now also sometimes used for more general political historical revisionism as (PDF) UNESCO against racism world conference 31 August–7 September 2001 "Given the ignorance with which it is treated, the slave trade comprises one of the most radical forms of historical negationism."
    Pascale Bloch has written in International law: Response to Professor Fronza's The punishment of Negationism (Accessed ProQuest Database, 12 October 2011) that:

    "[R]evisionists" are understood as "negationists" in order to differentiate them from "historical revisionists" since their goal is either to prove that the Holocaust did not exist or to introduce confusion regarding the victims and German executioners regardless of historical and scientific methodology and evidence. For those reasons, the term "revisionism" is often considered confusing since it conceals misleading ideologies that purport to avoid disapproval by presenting "revisions" of the past based on pseudo-scientific methods, while really they are a part of negationism.

  2. ^ Kriss Ravetto (2001). The Unmaking of Fascist Aesthetics, University of Minnesota Press ISBN 0-8166-3743-1. p. 33
  3. ^ "The two leading critical exposés of Holocaust denial in the United States were written by historians Deborah Lipstadt (1993) and Michael Shermer and Alex Grobman (2000). These scholars make a distinction between historical revisionism and denial. Revisionism, in their view, entails a refinement of existing knowledge about an historical event, not a denial of the event itself, that comes through the examination of new empirical evidence or a re-examination or reinterpretation of existing evidence. Legitimate historical revisionism acknowledges a 'certain body of irrefutable evidence' or a 'convergence of evidence' that suggest that an event–like the black plague, American slavery, or the Holocaust–did in fact occur (Lipstadt 1993:21; Shermer & Grobman 200:34). Denial, on the other hand, rejects the entire foundation of historical evidence. ... " Ronald J. Berger. Fathoming the Holocaust: A Social Problems Approach, Aldine Transaction, 2002, ISBN 0-202-30670-4, p. 154.
  4. ^ Lying About Hitler: History, Holocaust, and the David Irving Trial, by Richard J. Evans, 2001, ISBN 0-465-02153-0. p. 145. The author is a professor of Modern History, at the University of Cambridge, and was a major expert-witness in the Irving v. Lipstadt trial; the book presents his perspective of the trial, and the expert-witness report, including his research about the Dresden death count.
  5. ^ Klaus Mehnert, Stalin Versus Marx: the Stalinist historical doctrine (Translation of Weltrevolution durch Weltgeschichte) Port Washington NY: Kennikat Press 1972 (1952), on the illegitimate use of history in the 1934–1952 period.
  6. ^ Roger D. Markwick, Rewriting history in Soviet Russia: the politics of revisionist historiography, 1956–1974 New York ; Basingstoke: Palgrave, 2001, on legitimate Soviet Historiography particularly in the post 1956 period.
  7. ^ Finkielkraut, Alain (1998). The Future of a Negation: Reflections on the Question of Genocide. Lincoln: University of Nebraska Press. hlm. 125. ISBN 978-0-8032-2000-3. 
  8. ^ Harold D. Lasswell, Propaganda Technique in World War I. 1927, MIT Press, ISBN 0-262-62018-9 pp. xxii–xxvii
  9. ^ Matthew d'Ancona, History men battle over Britain's future. The Times, 9 May 1994; ProQuest Database (. Retrieved 12 October 2011).
  10. ^ McPherson disagrees with this as the sole definition of revisionist history–he argues rightly that revisionism (academically) is the 'lifeblood of history.' James McPherson. Revisionist Historians. Perspectives, 2003. American Historical Association.
  11. ^ Matthew d'Ancona; History men battle over Britain's future. The Times, 9 May 1994; ProQuest Database (Retrieved 12 October 2011).
  12. ^ a b Lasswell, Harold D. (1927). Propaganda Technique in World War I. MIT Press. hlm. 51. ISBN 978-0-262-62018-5. 
  13. ^ Lasswell 1927, hlm. 53
  14. ^ Taisia Osipova, "Peasant rebellions: Origin, Scope, Design and Consequences", in Vladimir N. Brovkin (ed.), The Bolsheviks in Russian Society: The Revolution and the Civil Wars, Yale University Press, 1997, ISBN 0-300-06706-2. pp. 154–76.
  15. ^ Roger D. Markwick, Donald J. Raleigh, Rewriting History in Soviet Russia: The Politics of Revisionist Historiography, Palgrave Macmillan, 2001, ISBN 0-333-79209-2, pp. 4–5.

Bacaan lebih lanjut

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]