Artikel ini sebatang kara, artinya tidak ada artikel lain yang memiliki pranala balik ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan atau coba peralatan pencari pranala. Tag ini diberikan pada Oktober 2022. |
Neurohukum adalah persinggungan antara ilmu saraf dengan hukum dan mengkaji pengaruh otak maupun ilmu saraf secara keseluruhan dalam pembuatan hukum dengan tujuan menghasilkan hukum yang lebih adil.[1][2][3] Beberapa pertanyaan yang berusaha dijawab melalui kajian neurohukum di antaranya seberapa jauh tumor atau kerusakan otak meringankan hukuman pidana yang diberikan, apakah ada kemungkinan pengaturan terkait vonis atau rehabilitasi dipengaruhi oleh ilmu saraf, dan siapa yang boleh melihat citra otak seseorang.[1][4]
Istilah neurohukum digagas oleh Sherrod J. Taylor pada tahun 1991. Namun minat untuk mengkaji hubungan antara ilmu saraf dengan hukum baru meningkat di penghujung tahun 1990an yang diawali dengan berjejaring lewat presentasi dan dialog oleh akademisi dari kedua cabang ilmu. Hal ini berdampak pada semakin banyaknya artikel, buku, dan literatur lainnya yang membahas persinggungan antara kedua ilmu tersebut.[3][5] Gruter Institute for Law and Behavioral Research dan Dana Foundation adalah dua organisasi pertama yang memberikan pendanaan untuk penelitian di cabang ilmu antardisplin tersebut. Di saat yang bersamaan dengan perkembangan neurohukum, kode etik dalam penelitian ilmu saraf juga berkembang. Persinggungan antara neurohukum dengan etika kemudian mulai dapat lebih baik diawasi melalui pendirian Law and Neuroscience Project pada tahun 2007.[3]
Di Mumbai, sistem hukum setempat telah menerapkan pendekatan ilmu saraf dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana. Salah satunya pada pembunuhan yang dilakukan seorang wanita di mana dia dinyatakan bersalah berdasarkan bukti tidak langsung seperti hasil pindaian otak yang menduga si wanita bersalah. Namun hal ini dikritisi oleh profesor hukum di Universitas Stanford, Hank Greely, yang meragukan pindaian otak berdasarkan uji Brain Electrical Oscillation Signature Profiling (BEOSP) dengan dasar belum ada kajian yang telah ditelaah sejawat yang menunjukkan keabsahan pembuktian melalui mekanisme BEOSP. Hal ini membuat penggunaan BEOSP dalam pengambilan putusan hakim bisa saja menjadi bias.[6]
Pengadilan Amerika Serikat tidak melarang penggunaan alat pemindai otak dalam persidangan dan hal ini sebetulnya merupakan sebuah pengakuan karena pengadilan biasa di Amerika Serikat enggan memberikan ruang bagi hal-hal yang belum dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah.[6][7] Dalam dua perkara berbeda masing-masing di California dan New York, pengacara masing-masing kasus berhasil meringankan vonis terhadap dua pembunuhan berbeda (baik kasus maupun derajat hukumannya menurut hukum Amerika Serikat). Hasil pindaian otak menunjukkan adanya hambatan terhadap fungsi neurologis sehingga si pelaku belum tentu dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.[6] Hasil pindaian otak juga digunakan sebagai alat bukti dalam kasus Harrington v. State of Iowa pada tahun 2003 meskipun hanya ditunjukkan kepada hakim, dan bukan kepada panel juri.[3][8]
Pendekatan neurohukum juga digunakan untuk tujuan militer, termasuk pengadilan militer, meskipun persoalan etika dan keabsahan ilmiah masih merundung penggunaan pendekatan tersebut.[7][9][10]
Ilmu saraf adalah ilmu yang kompleks dan tidak begitu dimengerti oleh masyarakat awam. Dalam konteks Amerika Serikat, hal ini bisa berdampak pada bias yang dihasilkan oleh juri dalam menentukan bersalah atau tidaknya seseorang dalam suatu perkara karena mereka telah terpengaruh efek CSI sehingga memberikan kesan yang salah akan penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hukum acara.[6][11][12] Salah satu kritikus keras terhadap penggunaan metode pemindaian otak dalam pengadilan adalah profesor hukum dan psikologi Stephen J. Morse yang melihat pertanggungjawaban terdakwa dikurangi atau bahkan ditiadakan hanya karena argumen ada sesuatu yang bermasalah di otak si terdakwa, padahal ilmu pengetahuan belum bisa memberikan pembuktian yang meyakinkan.[13][14]