Odinani (Igbo: ọ̀dị̀nànị̀) merupakan praktik keagamaan tradisional dan keyakinan budaya suku Igbo di wilayah selatan Nigeria.[1] Odinani bersifat monoteistik dan panenteistik, dengan satu Dewa sebagai sumber segalanya. Meskipun terdapat juga kelompok roh, namun dalam Odinani kedudukannya lebih rendah, dan pada umumnya hanya berperan sebagai anasir atas Chineke (atau Chukwu), sang wujud atau dewa tertinggi.[2] Kata Chineke adalah kata majemuk yang mencakup konsep chí yang artinya pencipta, nà yang berarti 'yang', sedangkan ékè berarti menciptakan. Sehingga Chineke dapat diartikan sebagai Pencipta atau Dewa yang menciptakan segala hal. Konsep Chúkwú ('chi tertinggi') disebarkan oleh suku Aro-Igbo dari Arochukwu di wilayah timur Igboland dan pengaruh spiritualnya banyak ditemui di Delta Nigeria timur pada abad ke-18 karena kegiatan peramal Ibini Ukpabi.
Roh yang lebih rendah yang dikenal sebagai ágbàrà atau álúsí memiliki peran di bawah dewa Chineke dan merupakan bagian darinya yang terbagi-bagi berdasarkan gender. Roh-roh ini mewakili kekuatan alam; ágbàrà dikenal sebagai álúsí dalam panteon Igbo. Di kalangan suku Nri-Igbo di Igboland utara terdapat konsep 'mata surya' (ányá ánwụ́) sebagai dewa matahari feminin yang disembah saat pemujaan matahari. Alusi diperantarai oleh dibia maupun para pendeta lainnya yang tidak menghubungi dewa tinggi secara langsung. Melalui áfà (ramalan), hukum-hukum dan seruan alusi dikomunikasikan kepada yang hidup. Alusi dipuja di kuil yang terletak di pinggir-pinggir jalan maupun di hutan, sedangkan kuil yang lebih kecil terdapat di rumah-rumah warga yang digunakan untuk pemujaan para leluhur. Leluhur yang telah meninggal dikatakan bersemayam di alam roh, tempat di mana mereka dapat dihubungi. Di bawah alusi ada roh yang dikenal sebagai mmúọ yang secara bebas didefinisikan berdasarkan persepsi akan sifat-sifat jahat atau kebaikannya. Roh-roh kecil ini tidak disembah dan terkadang dianggap sebagai jiwa yang hilang dari orang-orang yang telah tiada.
Jumlah warga yang mempraktikkan agama Igbo menurun drastis sejak abad ke-20 dengan masuknya misionaris Kristen di bawah naungan pemerintah kolonial Inggris di Nigeria. Dalam beberapa kasus, agama tradisional Igbo diserasikan (inkretisasi) dengan agama Kristen, tetapi kebanyakan para misionaris Kristen tidak menyukai ritual adat yang menunjukkan praktik pengorbanan manusia atau praktik budaya lainnya yang dianggap ilegal oleh pemerintahan kolonial. Misionaris awal menyebut praktik-praktik keagamaan pribumi ini sebagai juju. Agama Igbo saat ini banyak terlihat dalam upacara-upacara panen seperti festival yam baru (ị́wá jí) dan tradisi pesta bertopeng seperti mmanwu dan Ekpe.
Sisa-sisa ritus keagamaan Igbo menyebar di kalangan keturunan Afrika di Karibia dan Amerika Utara pada era perdagangan budak Atlantik. Igbo ọ́bị̀à diubah menjadi obeah di wilayah bekas Karibia Inggris dan Guyana dan ciri-ciri tradisi pesta bertopeng Igbo dapat ditemukan dalam festival suku Garifuna dan jonkonnu dari Karibia Inggris dan Carolina Utara.[3][4][5][6]
Odinani dalam dialek Igbo utara adalah gabungan kata-kata ọ̀ dị̀ ('terletak') + n (nà, 'dalam') + ànị̀ (satu dewa) [terdiri dari anu (E nu) di atas (surga) dan Ana, di bawah (bumi)].[2][7][8] Variasi dialek lainnya termasuk odinala, odinana, omenala, omenana, dan omenani.[8][9] Kata odinani dan semua variasinya juga terkait dengan budaya dan hukum adat suku Igbo. Kebanyakan hukum dan budayanya setara dengan agama seperti pelarangan (tabu) dan hukum mengenai tempat sakral seperti hutan suci dewa. Karena hukum adat diakui di Nigeria, banyak penduduk di komunitas Igbo menyelaraskan kepercayaan ini dengan keyakinan dan agama lainnya.
Odinani dapat digambarkan sebagai kepercayaan monoteistik dan panenteistik dengan kekuatan spiritual utama sebagai sumber munculnya segala hal; Namun keragaman kontekstual dalam sistem ini bisa juga mencakup perspektif-perspektif teistik yang berasal dari keyakinan-keyakinan yang ada dalam suatu agama.[8][10][11][12][13][note 1] Chukwu sebagai dewa utama digolongkan ke dalam ndi mmuo, 'wujud tak terlihat', kategori ontologis wujud yang mencakup Ala sebagai kekuatan feminin bumi, chi 'dewa personawi', ndichie sang leluhur, dan mmuo roh kecil. Kategori ontologis lainnya terdiri dari ndi mmadu, 'wujud yang terlihat', termasuk ánụ́ hewan-hewan, ósísí tanaman, dan ùrò yang terdiri dari elemen-elemen, mineral dan makhluk tak bernyawa.[14] Chukwu sebagai pencipta segala yang terlihat maupun yang tidak terlihat serta sumber dari dewa yang lebih rendah juga disebut sebagai Chineke. Chukwu tidak memiliki gender[15] dan dapat dicapai melalui berbagai kekuatan spiritual terutama melalui roh Alusi yang merupakan inkarnasi dewa tinggi; tidak ada pengorbanan diberikan kepada Chukwu dan tidak ada kuil dan altar yang didirikan untuknya.[14] Jika Arushi diciptakan untuk seorang individu, ia menjadi chi, dewa pelindung pribadi. Chi bermanifestasi sebagai mmuo (roh), dan sebagai roh seseorang yang terikat di bumi ia memilih jenis kelamin, tipe, dan umur sebelum inkarnasi di dunia manusia.[16]
Chi adalah roh pribadi (ḿmúọ́) seseorang, dalam budaya Igbo, roh inilah yang menentukan takdir. Oleh karena itu ada ungkapan, onye kwe, Chi ya ekwe ("Jika seseorang menyetujui sesuatu, rohnya juga setuju"). Secara kultural, orang dipandang sebagai pencipta atau pembentuk takdir mereka sendiri.[16][17][18] Nafas kehidupan ada di jantung (óbì).[18][19][20][21] Chi mengacu pada cahaya dan siang hari sebagai lawan dari kegelapan. Sedangkan Chi yang secara tidak langsung bertanggung jawab atas segala hal adalah Chukwu yang merupakan wujud tertinggi yang berada di luar batas ruang dan waktu. Nama Chukwu merupakan gabungan dari kata chí + úkwú ('besar dalam ukuran, yang tertinggi').[14] Chi diyakini sebagai hubungan spiritual antara individu dan dewa tinggi dan yang menentukan lintasan perjalanan spiritual seseorang di bumi. Setiap chi adalah personal dan terhubung serta tidak terpisahkan dengan semesta chi segala hal.[22] Dewa tinggi, Chukwu, dipercaya sebagai yang menetapkan chi sebelum dan pada saat kelahiran seseorang. Chi ini merupakan roh penjaga yang memberikan perawatan, perlindungan, dan pemeliharaan. Dalam hal ini, konsep chi analog dengan konsep malaikat pelindung dalam agama Kristen, daemon dalam agama Yunani kuno, dan genius dalam agama Romawi kuno.[14][19][20][23] Tidak seperti Chukwu yang tidak memiliki gender, chi bisa saja maskulin. Seorang dibia dapat mengetahui chi seseorang melalui ramalan (áfà) dan memberi nasihat kepada para pengikutnya mengenai cara-cara untuk menenangkannya. Chukwu disebut juga sebagai Chineke yang merupakan gabungan dari kata-kata chí sang kekuatan maskulin dan ékè sang kekuatan feminin yang kreatif dan bersifat memecah belah. Eke keluar dari tangan Chi tetapi dianggap satu; Chi menciptakan dunia sedangkan Eke merusaknya dengan energi tipuan yang memecah belah dan membawa kematian serta penderitaan.[15] Chineke juga ditafsirkan sebagai chí ne ké, 'chi sang creatrix', dan chí nne éké, 'chi ibu yang kreatif'.[22] Eke adalah roh pelindung leluhur seseorang. Chineke atau Chukwu berada jauh di batas luar kehidupan manusia dan tetap menjadi misteri bagi orang-orang.[15] Suatu rumah tangga biasanya membuat kuil chi yang dipusatkan pada sebuah pohon. Dalam pernikahan, seorang wanita membawa kuil chi-nya beserta barang-barangnya ke rumah perkawinannya.[14] Di sekitar Nkarahia di Igboland selatan, terdapat kuil-kuil chi paling luas yang dihias dengan lempengan porselen berwarna-warni di dinding tanah liatnya; altarnya memiliki lambang suci, sementara di bangku lumpurnya terdapat sesajen dari porselen, gelas, manila, dan makanan.[22] Sebagai penanda keberuntungan atau kemalangan, kebaikan atau sakit, chi dapat digambarkan sebagai titik fokus 'agama pribadi'.[14]
Himpunan interaksi mahluk yang terlihat dan alam semesta disebut sebagai ụ̀wà, mencakup semua makhluk hidup (íhẹ́ ndi dị́ ńdụ̀), termasuk hewan dan tumbuh-tumbuhan serta unsur-unsur mineralnya yang memiliki kekuatan vital dan dianggap sebagai pasangan bagi kekuatan tak terlihat di alam roh.[14] Makhluk hidup dan fitur-fitur geomorfologis dunia ini memiliki dewa pelindung. Kosmosologi Igbo menyajikan keseimbangan antara feminin dan maskulin, dengan dominasi representasi perempuan dalam kisah Igbo.[14] Dalam kosmologi Igbo, dunia dibagi menjadi empat penjuru oleh dewa tinggi sesuai dengan èké órìè àfọ̀ ǹkwọ́ yang merupakan nama hari dalam seminggu pada kalender Igbo yang dianggap sebagai hari-hari pasar.[24][25] Alam semesta dianggap sebagai gabungan ruang-ruang yang terhubung dalam struktur setengah lingkaran yang tumpang tindih, total ruang disebut sebagai élú nà àlà.[14] Dalam teori kosmologis Igbo yang dilaporkan oleh W.R.G. Morton pada 1950-an dari seorang tetua di Ibagwa Nike di Igboland utara, Chukwu menyaksikan matahari bergerak melintasi dunia pada siang hari dan kemudian memotongnya menjadi dua agar bulan dapat melewati rute tegak lurus, sehingga dunia terbagi menjadi empat bagian dan empat hari.[24] Pembagian bumi dan hari-hari tersebut membuat angka empat menjadi sakral (ńsọ́) bagi Igbo.[24][26] Ruang élú nà àlà dipisahkan oleh dua batas: élú ígwé, 'batas langit' yang terdiri dari benda-benda langit di bawah kekuatan utama matahari (maskulin) serta bulan (feminin), dan élú àlà, 'batas bumi atau daratan' yang terdiri dari empat elemen materi: api dan udara (maskulin), serta tanah dan air (feminin).[14]
Pola dua dan empat terulang kembali dalam penciptaan Chukwu.[26] Jumlah hari sesuai dengan empat mata angin utama dan namanya dalam Igbo, èké (timur), órìè (barat), àfọ̀ (utara), ǹkwọ́ (selatan).[27] Suku Nri-Igbo mengklaim hari-hari pasar diperkenalkan ke Igbo oleh para leluhur mereka dan raja Eri pada abad ke-9 setelah menjumpai mereka sebagai dewa.[28] Di kalangan komunitas Igboland alusi dihormati sebagai dewa utama atau sebagai dewa besar di bawah Chineke. Dari segi hierarki, beberapa komunitas mengakui èké sebagai sang pemimpin alusi, sedangkan yang lain mengutamakan órìè dan ǹkwọ́ sebagai yang utama setelah dewa tinggi.[28] Hari pasar mungkin memiliki dewa lokal yang mewakili roh di beberapa wilayah, kebanyakan di kota-kota Igbo selatan, Agwu adalah pelindung Eke, Ogwugwu pelindung Orie, Amadioha pelindung Afo dan Ala pelindung Nkwo.[24]
Ofo dan ogu adalah hukum keadilan retributif (penghukuman). Hukum ini juga membersihkan nama siapa pun yang dituduh melakukan kejahatan selama "tangan mereka bersih". Hanya orang yang berada di sisi keadilan Ogu-na-Ofo yang dapat menyebut namanya dalam doa, jika tidak seseorang akan tertimpa murka Amadioha (dewa guntur dan halilintar).[29] Kacang Kola digunakan dalam upacara pemujaan Chukwu, chi, Arushi serta para leluhur dan digunakan sebagai metode pengakuan tidak bersalah jika digabungkan dengan persembahan anggur kepada dewa. Igbo sering membuat altar tanah liat dan tempat suci dewa mereka dan kadang-kadang antropomorfik, contoh yang paling populer adalah patung kayu Ikenga. Biasanya, hanya kaum pria yang diizinkan untuk membuat figur representasional kekuatan supranatural.[30]
Igbo menurut tradisi percaya pada reinkarnasi, ilo-uwa. Manusia dipercaya bereinkarnasi ke dalam keluarga-keluarga yang merupakan bagian diri mereka semasa hidup.[32] Manusia dipercaya dapat berinkarnasi hingga tujuh kali, memberikannya tujuh kesempatan untuk memasuki dunia roh sebagai leluhur. Jumlah siklus seseorang di bumi tidak diketahui oleh mereka. Tidak seperti dalam agama Hindu, manusia hanya bisa bereinkarnasi sebagai manusia.[32] Para keluarga biasanya mempekerjakan peramal untuk mengungkapkan identitas leluhur seorang anak dalam kehidupan mereka yang sebelumnya, seorang bayi kadang-kadang juga dinamai menurut kekerabatan ini.[32] Kepribadian leluhur tidak identik dengan si anak melainkan konsepnya membangun hubungan yang vital antara anak dan karakteristik leluhurnya.[33] Sebelum seorang kerabat meninggal, dikatakan bahwa kerabat yang akan meninggal terkadang memberikan petunjuk ia akan berinkarnasi sebagai siapa dalam keluarga tersebut. Begitu seorang anak dilahirkan, diyakini dia memberikan pertanda siapa yang dia rinkarnasikan. Ini bisa melalui perilaku, sifat fisik maupun pernyataan oleh si anak. Seorang peramal dapat membantu mendeteksi siapa yang dirinkarnasikan anak tersebut. Juga dianggap sebagai penghinaan jika seorang laki-laki dikatakan telah berinkarnasi sebagai perempuan.[34] Seorang leluhur juga dapat berinkarnasi menjadi banyak orang yang berbagi ikatan; pada kematian satu orang, yang lainnya diyakini akan meninggal mendadak jika mereka melihat jenazahnya.
Ogbanje adalah roh jahat yang berinkarnasi dan secara sengaja mengganggu sebuah keluarga dengan malapetaka. Dalam cerita rakyat, ogbanje setelah dilahirkan, dalam periode waktu tertentu (biasanya sebelum pubertas), dengan sengaja meninggal dan kemudian kembali dan mengulang-ulang siklusnya, menyebabkan kesedihan dalam keluarga. Periode waktu ini bervariasi antara menit, jam, hari dan tahun. Sunat perempuan kadang-kadang dianggap untuk menyingkirkan roh jahat tersebut, dimana jika dapat menemukan roh jahat Iyi-uwa, yang dicari di suatu tempat rahasia, akan memastikan ogbanje tidak akan mengganggu lagi. Iyi-uwa merupakan batu yang digunakan sebagai jalan oleh ogbanje untuk kembali ke dunia dan juga jalannya untuk menemukan keluarga yang ditargetkan. Batu itu cukup dalam dan mustahil dapat ditanam secara fisik oleh seorang anak. Iyi-uwa digali oleh seorang pendeta untuk dihancurkan. Selanjutnya, ogbanje yang perempuan mati bersama bayi selama kehamilan, ogbanje laki-laki mati sebelum kelahiran atau saat bayi tersebut meninggal. Anak tersebut dipastikan tidak lagi menjadi ogbanje setelah batu dihancurkan atau setelah berhasil melahirkan bayi lain.[32]
Inkarnasi dan perwakilan Chukwu di dunia (ụ̀wà) adalah Alusi, kekuatan supranatural yang mengatur kehidupan manusia. Dalam dialek Igbo selatan, ágbàrà merupakan istilah untuk menyebut kekuatan-kekuatan ini. Alusi dianggap sebagai perantara menuju Chukwu. Alusi, yang juga dikenal sebagai arushi, anusi, atau arusi dalam dialek yang berbeda semuanya keturunan Ala sang roh bumi yang mewujudkan fungsi kerja dunia. Terdapat alusi yang lebih rendah di Odinani, yang masing-masing bertanggung jawab untuk aspek-aspek alam tertentu atau untuk konsep yang abstrak. Menurut keyakinan Igbo, alusi yang lebih rendah ini adalah unsur-unsur Chukwu yang memiliki tujuan khususnya sendiri.[35] Alusi yang bermanifestasi dalam elemen-elemen alam dan tempat-tempat suci biasanya ditemukan di hutan terutama di sekitar pepohonan tertentu. Di kuil, íhú mmúọ́, objek seperti selembar kain digantung atau sekelompok patung diletakkan di pepohonan alusi untuk memfokuskan ibadah. Dewa digambarkan bersifat 'panas' dan sering berubah-ubah sehingga masyarakat umum yang akan mendekati kuilnya harus berhati-hati bahkan disarankan untuk menghindarinya, para pendeta dipercaya untuk memelihara sebagian besar kuil-kuil tersebut.[15] Banyak dari kuil-kuil ini berada di pinggir jalan di daerah pedesaan. Daun palem yang lembut melambangkan kekuatan spiritual dan merupakan objek sakralisasi, tempat pemujaan ditutup dengan omu untuk mengingatkan masyarakat mengenai keberadaan dewa-dewa tersebut.[36] Model tanah liat yang lebih besar untuk menghormati alusi juga ada di sekitar hutan dan sungai-sungai. Figur alusi lainnya dapat ditemukan di dalam dan di sekitar rumah warga dan tempat-tempat suci dibia, kebanyakan hal ini terkait chi pribadi, pengkultusan, dan pemujaan para leluhur.
Mabri: Art as Process in Igboland by Herbert M. Cole, a description of mbari |
Ala (berarti 'bumi' dan 'tanah' dalam bahasa Igbo, juga Ájá-ànà)[37][38] adalah roh bumi feminin dan bertanggung jawab atas moralitas, kesuburan serta para leluhur yang bersemayam di dunia bawah dalam rahimnya. Ala berada di puncak panteon Igbo, menjaga ketertiban dan memberi keadilan terhadap pelaku kejahatan. Ala adalah alusi yang paling menonjol dan dihormati,[33] hampir setiap desa Igbo memiliki kuil yang didedikasikan untuknya yang disebut íhú Ala, tempat di mana keputusan besar biasanya diambil.[14] Ala diyakini terlibat dalam setiap urusan manusia termasuk festival dan persembahan. Ala menjaga kesuburan dan hal-hal yang menghasilkan kehidupan termasuk air, batu dan vegetasi, warna (agwà), kecantikan (mmá) yang terhubung dengan kebaikan dalam komunitas Igbo, juga keunikan (áfà).[14] Dia adalah simbol moralitas yang mendukung kebiasaan omenala Igbo yang mana perilaku moral dan etika ini ditegakkan dalam masyarakat Igbo.[39] Ala adalah tanah itu sendiri, dan karenanya larangan-larangan (tabu) serta kejahatan dikenal sebagai ńsọ́ Ala ('penistaan Ala'), semua tanah dianggap sakral sebagai perwujudan Ala membuatnya otoritas penegakan hukum yang utama.[14][39] Pelarangan misalnya pembunuhan, bunuh diri, pencurian, hubungan sedarah, dan kelainan kelahiran seperti kelahiran kembar serta membunuh dan memakan hewan bunting, jika hewan yang disembelih ternyata bunting maka dilakukan pengorbanan untuk Ala dan janinnya dikubur.[14] Orang-orang yang melakukan bunuh diri tidak dikubur dalam tanah atau diberi upacara pemakaman tetapi dibuang agar tidak menyinggung dan mencemari tanah, kemampuan mereka untuk menjadi leluhur juga ditiadakan.[18] Ketika seseorang mengalami 'kematian yang buruk' dalam masyarakat, seperti akibat dari keadilan retributif atau melanggar tabu, mereka juga tidak dikubur, tetapi dibuang di hutan agar tidak menyinggung Ala. Seperti halnya alusi kebanyakan, Ala juga bisa menjadi jahat jika tersinggung dan dapat menyebabkan malapetaka bagi mereka yang menyinggungnya.[14][39]
Dalam batas bola bumi, dalam artian kosmologis, ada sebutan 'dada bumi' di dalamnya, ímé àlà, belahan setengah bola bumi dengan bukaan atau 'mulut' pada titik tertingginya, ónụ́ àlà. Berupa air laut gelap yang sangat dalam (ohimiri).[39] Ime ala dianggap sebagai dunia bawah.[14] Ala selain mewujudkan alam, juga pusat semesta tempat kubah surga, ígwé, beristirahat.[14] Sebagai fondasi dari semua eksistensi, tali pusar anak-anak disimpan dan secara simbolis dikubur di bawah pohon untuk menandai pembagian pertama lahan milik keluarga untuk si anak; pohon ini bisa kelapa sawit, pohon buah-buahan, pohon rafia, atau pohon pisang tergantung pada wilayah.[14] Di beberapa tempat, seperti Nri, piton kerajaan, éké, dianggap sebagai perantara Ala yang sakral dan jinak sebagai pertanda nasib baik jika berkekiaran di sebuah rumah. Piton disebut sebagai nne 'ibu' di daerah di mana ular piton tersebut dipuja, merupakan simbol kecantikan dan kelembutan wanita. Membunuh ular piton juga secara tegas dilarang di tempat-tempat ini dan sanksi akan dikenakan terhadap si pembunuh termasuk biaya pemakaman yang mahal untuk ular yang terbunuh tersebut.[14][33][40][41]
Amadioha (dari ámádí + ọ̀hà, 'kehendak bebas rakyat' di Igbo) adalah Alusi keadilan, guntur, halilintar dan langit. Dia disebut sebagai Amadioha di Igboland selatan, Kamalu, Kamanu, Kalu di kalangan suku Aro dan suku Igbo Cross River lainnya, Igwe di kalangan suku Igbo Isuama dan di Igboland barat laut, dan Ofufe di bagian-bagian lain Igboland.[42][43][44][45][46] Planet pemerintahannya adalah Matahari.[47] Warnanya merah, dan lambangnya adalah seekor domba jantan putih.[48] Secara metafisik, Amadioha mewakili kehendak kolektif rakyat dan ia sering dikaitkan dengan Anyanwu.[49] Ia adalah ekspresi keadilan dan murka terhadap tabu dan kejahatan; dalam sumpahnya dia melaknat dan menyambar orang-orang yang bersumpah palsu dengan guntur dan halilintar.[42] Kuil Amadioha ada di sekitar Igboland, kuil utamanya terletak di Ozuzu di wilayah sungai Igbo di utara Rivers. Sedangkan Anyanwu lebih menonjol di Igboland utara, Amadioha lebih menonjol di selatan. Hari-nya adalah Afo, yang merupakan hari pasar kedua.[50] Di rumah mbari, Amadioha juga digambarkan berada di sisi Ala sebagai permaisurinya.[51]
Ikenga (harfiah 'tempat kekuatan') adalah alusi dan sesosok figur kultus tangan kanan dan kesuksesan yang terdapat ada di kalangan suku Igbo utara. Dia adalah ikon meditasi khusus bagi kaum pria dan si pemilik patung mendedikasikan dan menganggapnya sebagai 'tangan kanan' mereka yang dianggap berperan dalam kekuatan pribadi dan kesuksesan.[52][53] Ikenga adalah sumber pengetahuan bersandi yang diuraikan melalui prinsip-prinsip psikologis. Citra Ikenga terdiri dari chi seseorang ('dewa pribadi'), ndichie-nya (leluhur), aka Ikenga (tangan kanan), ike (kekuasaan) serta aktivasi spiritual melalui doa dan pengorbanan.[54] Nilai budaya Igbo dalm pengetahuan dan individualisme di masyarakat menggunakan konsep Ikenga untuk mengatur hubungan antara individu dan hubungan-hubungan serta kewajiban-kewajiban keluarga, juga kehendak bebas dan ketekunan yang seimbang dengan takdir dapat menentukan chi seseorang. Ikenga bertindak sebagai medium fisik untuk penyadaran dan menekankan inisiatif individu melalui refleksi dan meditasi.[16] Keberhasilan dalam memvalidasi Ikenga dan patung-patungnya berguna sebagai representasi visual dari kesuksesan batin seseorang, rakyat biasanya memberikan persembahan untuk berterima kasih pada Ikenga setelah ia memberikan energinya dalam mengatasi pilihan-pilihan pra-kehidupan yang tidak diinginkan.[16] Pilihan-pilihan ini berada di tangan roh yang terikat dengan bumi, mmuo, yang memilih jenis kelamin, tipe, dan masa hidup sebelum inkarnasi.[16] Ikenga juga mempengaruhi ungkapan kesejahteraan 'íkéǹgàm kwụ̀ ọ̀tọ́ ta ta' yang berarti 'Ikenga-ku berdiri tegak hari ini'.[52] Selama festival Ogbalido atau olili Ikenga ('hari raya Ikenga') patungnya diarak keliling desa atau dipajang di pusat desa jika terlalu monumental untuk diangkut.[16] Ketika seseorang tidak mencapai kesuksesan dengan kerja keras, berarti Ikenganya telah 'jatuh' dan dilihat sebagai tanda bahaya, jika meditasi dan membujuk Ikenga gagal, patungnya akan 'dilemparkan' dan dirusak yang secara spiritual membunuh Ikenga; kemudian patung yang baru akan diukir untuk menggantikannya.[16]
Figur Ikenga merupakan artefak budaya yang umumnya dengan tinggi berkisar antara 6 inci hingga 6 kaki dan bisa humanistik ataupun sangat bergaya.[16][52] Terdapat patung Ikenga silinder antropomorfik, arsitektonis, dan silinder abstrak.[16] Ikenga adalah simbol kesuksesan dan pencapaian pribadi.[16] Ikenga sebagian besar dirawat, disimpan atau dimiliki oleh kaum laki-laki dan kadang-kadang oleh perempuan yang memiliki reputasi dan integritas tinggi di masyarakat. Dalam pemakaman, Ikenga milik seorang laki-laki akan dipatahkan menjadi dua dengan satu bagian dikubur bersamanya dan yang lainnya dihancurkan.[16][52]
Alusi ini mahir dalam tawar-menawar dan berdagang, dan berdoa kepada Ekwensu dikatakan dapat menjamin kemenangan dalam suatu perundingan. Sebagai kekuatan perubahan dan kekacauan, Ekwensu juga mewakili semangat perang di kalangan suku Igbo, yang digunakan selama masa konflik dan dibuang selama masa damai untuk menghindari pengaruhnya pertumpahan darahnya di masyarakat, para pejuang mendirikan kuil untuk Ekwensu untuk membantu mereka dalam perang.[33] Ini didasarkan pada penemuan kuil tua yang didedikasikan untuk pemujaan roh ini[55] serta kisah-kisah lisan lama yang menggambarkan karakter Ekwensu. Ekwensu adalah pembawa kekerasan dan merasuki manusia dengan amarah.[42] Ekwensu cenderung membawa kemalangan dan dianggap sebagai roh jahat dalam pengertian ini.[33] Bagi kaum Kristen Igbo Ekwensu adalah perwakilan Setan dan dipandang sebagai kekuatan yang berlawanan dengan Chukwu.[56] Festival Ekwensu diadakan di beberapa kota Igbo di mana pencapaian militer dirayakan dan kekayaannya dipamerkan.[42]
Mmuo adalah roh-roh kecil atau dewa-dewa kelas umum yang bermanifestasi dalam unsur-unsur alam di bawah kelas dewa-dewa tua dengan kultus utama. Mmuo feminin menghuni tanah dan air, mmuo maskulin menghuni api dan udara.[14] Kelas ini dapat dipecah menjadi alusi, mmuo yang berguna, agwu terkait dengan perilaku manusia yang tidak biasa, roh-roh ini berinteraksi dengan manusia dengan sifat yang berubah-ubah yang sering membuatnya berbahaya.[14][57] Dewa kultus lainnya terdapat di sekitar Igboland seperti Njoku Ji, yam dan dewa api yang mengawasi pertanian, Idemili, 'tiang air', alusi perempuan yang berbasis di Idemili Utara dan Selatan yang menguasai perairan, dan Mkpataku 'pembawa kekayaan'.[15][21] Selain roh-roh kecil juga ada roh-roh jahat yang disebut ogbonuke.[28]
Dibia adalah mediator mistik antara dunia manusia dan dunia roh dan berperan sebagai penyembuh, ahli, guru, peramal dan penasihat di komunitasnya. Mereka biasanya ditemui di kuil dewa utama. Dibia adalah gabungan dari kata-kata di ('profesional, tuan, suami') + ọ́bị̀à ('mengobati, ilmu').[6] Dibia diyakini memang ditakdirkan untuk mengerjakan urusan spiritual. Si dibia dapat melihat dunia spiritual kapan saja dan menafsirkan pesan apa yang dikirim dan dapat menerawang masalah spiritual orang yang masih hidup. Mereka diberi kemampuan oleh dunia roh untuk mengenali setiap nama alusi dan cara untuk menenangkan dan berunding dengan dewa. Dibia dianggap memiliki kekuatan lebih dari satu dari tiga elemen yaitu air, api dan vegetasi. Dibia yang unsur-unsurnya adalah vegetasi dapat menjadi herbalis dengan pengetahuan naluriah mereka tentang manfaat kesehatan dari tanaman tertentu, elemen api dibia dapat menangani api tanpa cedera, dan dengan elemen air dibia tidak bisa tenggelam. Dibia dapat memasuki sebagian dunia roh dan berkomunikasi dengan cara menggosokkan kapur di wajah mereka.[33] Praktik Dibia dan obia dibawa ke Karibia Inggris selama perdagangan budak dan dikenal sebagai obeah.[5][6]
Nama ramalan di Igbo berasal dari ígbá áfà atau áhà yang berarti 'menamai' yang berasal dari keterampilan peramal dalam membasmi masalah.[58] Dibia atau ogba afa, 'penerjemah afa', dianggap sebagai orang yang menguasai pengetahuan esoterik dan kebijaksanaan dan igba afa adalah cara di mana orang dapat mengetahui penyebab suatu kemalangan. Peramal menafsirkan kode-kode dari àlà mmuọ yang tidak terlihat dengan melemparkan benih ramalan, kerang, dan manik-manik,[58][59] atau mengamati papan ramalan yang kadang-kadang disebut osho.[60] Dengan cara ini peramal diberkati dengan penglihatan khusus.[61] Hal ini berhubungan dengan ilmu kedokteran homeopati yang dikenal sebagai ọ́gwụ̀, seorang praktisi secara sadar memilih salah satu dari kemampuan ini.[14] Hewan yang khusus dalam ramalan dan pengorbanan termasuk seekor kambing jantan putih, domba jantan putih, kura-kura dan tokek jantan. Hewan-hewan ini dihargai karena kelangkaan, harga dan cara menangkapnya. Bunglon dan tikus digunakan untuk obat-obatan yang lebih kuat dan racun mematikan, dan obat penawar mencakup anak domba, ayam kecil, telur, dan minyak.[14] Nzu digunakan dalam upacara dari lahir sampai mati dan digunakan untuk menandai tempat dan bangunan suci.[14] Agwu Nsi adalah dewa pelindung kesehatan dan ramalan dan terkait juga dengan kegilaan, kebingungan, dan perilaku yang tidak biasa dalam hubungannya dengan penguasaan Agwu oleh peramal.[57][59][62][63] Agwu dapat dimanifestasikan oleh alusi lain sehingga ada gambar-gambaran ramalan Ikenga atau Ikenga Agwu.[59]
Ndebunze, atau Ndichie, adalah leluhur yang telah meninggal yang dianggap bersemayam di dunia roh, àlà mmúọ́.[64] Di Odinani, diyakini bahwa para leluhur yang telah meninggal adalah anggota masyarakat yang tidak terlihat; peran mereka dalam masyarakat, bersama dengan Ala adalah untuk melindungi masyarakat dari perselisihan dan epidemi seperti kelaparan dan cacar.[35] Leluhur membantu chi menjaga manusia.[22] Kuil untuk leluhur di masyarakat Igbo dibuat di rumah pusat, atau òbí atau òbú, perumahan para patriark. Kepala patriark bertanggung jawab untuk memuliakan para leluhur melalui persembahan, dengan cara inilah yang hidup berhubungan dengan yang mati. Hanya seorang tetua yang ayahnya sudah mati (di mana rohnya menunggu reinkarnasi) yang dianggap mampu memuliakan para leluhur.[65][66] Para leluhur perempuan didoakan oleh matriark. Pada pemakaman ayah dari seorang laki-laki ada hierarki dalam budaya Igbo dimana ada hewan-hewan yang dibunuh dan dimakan untuk menghormatinya. Biasanya tergantung pada kelangkaan dan harga hewan tersebut, kambing atau domba lazim digunakan dan relatif lebih murah, namun gengsinya kurang, sedangkan sapi dianggap sebagai kehormatan besar, dan kuda dianggap paling luar biasa. Kuda tidak bisa diberikan untuk kaum wanita.[67] Kuda lebih lazim digunakan di kalangan Igbo timur laut karena di wilayah tersebut banyak lalat tsetse sehingga menjadikannya tidak cocok untuk habitat kuda.[68][69] Kepala seekor kuda secara tradisi akan dihias dan disimpan dalam peti mati dan tempat pemujaan.
Beberapa tradisi topeng terdapat di Igboland untuk menghormati leluhur dan mencerminkan dunia roh di tanah orang hidup. Perempuan muda, misalnya, berinkarnasi dalam masyarakat melalui tradisi topeng àgbọ́ghọ̀ mmúọ́ di mana maksudnya mewakili roh-roh yang ideal dan penuh kebahagiaan dari para gadis di dunia roh dalam bentuk topeng feminin. Topeng-topeng ini dipersembahkan dalam festival-festival pada siklus-siklus pertanian dan pemakaman orang-orang terkemuka di masyarakat.[70]
Persembahan kacang kola dan doa (ị́gọ́ ọ́jị̀, 'berkah kacang kola', ị́wá ọ́jị̀, 'penghancuran kacang kola') dapat dilakukan secara pribadi atau dalam kelompok melalui doa atau nyanyian. Penyembah mendoakan dewa pribadi atau chi mereka serta alusi dan para leluhur mereka.[14] Kacang kola ini disimpan dalam mangkuk bundar khusus yang disebut ọ́kwá dengan kompartemen di tengah mangkuk untuk bumbu kacang kola seperti lada buaya (atau capsicum cayene, ósẹ̀ ọ́jị́)[14] dan kacang tanah. Mangkuk dan ritus kacang kola juga digunakan dalam menyambut tamu yang berkunjung ke sebuah rumah.[71][72][73] Setelah berdoa, upacara diakhiri dengan membagikan potongan-potongan kacang kola dengan kelompok, yang dikenal sebagai ị́ké ọ́jị̀. Kola seharusnya dipotong dengan tangan, tetapi belakangan pisau sudah bisa digunakan. Jika kacang kola memiliki tiga kotiledon, atau bagian, itu dianggap sebagai ọ́jị̀ ìkéǹgà di beberapa komunitas utara dan dianggap sebagai tanda keberuntungan, keberanian dan kemuliaan. O wetalu oji wetalu ndu - 'orang yang membawa kola membawa kehidupan' adalah pepatah populer yang merujuk pada keberuntungan dalam ritus kola.[73][74]
Di beberapa area kecil di wilayah budaya Urata-Igbo, dekat Owerri, ada tradisi membangun rumah-rumah monumen yang disebut ḿbàrí yang didedikasikan khusus untuk ágbàrà Àlà khusus untuk komunitasnya dan terkadang untuk dewa komunitas lainnya. Nama ini gabungan dari kata ḿbà ('bangsa, kota, masyarakat') + rí ('makan') mengacu pada 'festival kehidupan' yang diadakan setelah pembangunannya. Kuil-kuil nazar ini biasanya dirancang dengan empat kolom dan sebuah pol pusat, di sekitar kolom terdapat peragaan dewa-dewa, roh, dan penggambaran kehidupan manusia, seluruh bangunannya dibuat dari tanah liat dari gundukan anai-anai yang secara simbolis disebut jí ('yam') yang diprakarsai oleh seorang pekerja roh yang dikenal ńdí m̀gbè. Ndi mgbe menyendiri selama beberapa bulan untuk ritual pembangunan mbari sampai menjadi dewa. Mbari diminta oleh seorang dewa yang merasa diabaikan dan tidak merasa bangga saat bertemu dewa lain di dunia roh, hal ini diberitahukan oleh sang peramal kepada masyarakat. Serangkaian peristiwa yang tidak biasa dan malapetaka yang menimpa masyarakat dikaitkan dengan dewa yang merasa tersinggung. Mbari kemudian dibangun dan senimannya dipilih. Setelah selesai pembangunan mbari para pekerja roh bergabung kembali dengan masyarakat dan sebuah pesta diadakan untuk pembukaan rumah mbari di mana para tetus dan masyarakat datang untuk menyampaikan kritik atas pembangunan mbari yang mahal. Rumah mbari bukanlah sumber ibadah dan dibiarkan rusak sama sekali, diserap kembali oleh alam dalam arti simbolis, terkait dengan Ala.[15][75]
Pyramids Nsude village shrine, Abaja, Northern Igbo by G. I. Jones, 1930s |
Sebelum abad ke-20, dibangun piramida bundar bertingkat untuk menghormati Ala di kota Nsude di Igboland utara. Terdapat sepuluh struktur piramida tanah liat pada tahun 1935. Bagian dasar piramida kelilingnya 60 kaki dan tingginya 3 kaki. Tumpukan diatasnya dengan keliling 45 kaki. Tumpukan melingkar tersebut terus berlanjut hingga mencapai puncak. Struktur ini merupakan kuil untuk dewa Ala/Uto yang diyakini mendiami puncaknya. Sebuah tongkat ditempatkan di bagian atasnya untuk mewakili kediaman dewa tersebut. Struktur tersebut diletakkan dalam lima kelompok yang sejajar satu sama lain. Karena dibangun dari tanah liat/lumpur seperti Deffufa Nubia, sehingga termakan usia dan memerlukan rekonstruksi secara berkala.[76]
Tetapi seperti yang telah kita lihat, ada unsur-unsur lain [selain monoteistik] cenderung ke arah politeistik atau panteisme. Kita mungkin mempertanyakan, penjelasan akan kecenderungan yang berbeda ini? Seperti yang disampaikan Evans-Pritchard dan Peel, mereka tidak berasal dari sudut pandang pengamat berbeda seperti dari sudut pandang yang beragam dalam sistem keagamaan itu sendiri. Ini tentu saja tidak berarti bahwa agama-agama Afrika terdiri dari “sistem” yang saling bertentangan (monoteisme, politeisme, panteisme, totemisme), yang tidak memiliki kesatuan yang inheren. Sebaliknya, totalitas elemen dalam setiap sistem keagamaan dapat dilihat dari perspektif internal yang berbeda sesuai dengan keberpihakan kontekstual yang berbeda. Apa yang menyesatkan adalah merebut satu perspektif atau kecenderungan dan menjadikannya kerangka dominan. Ini dapat memenuhi preferensi teologis pengamat sendiri, misalnya, monoteisme, tetapi dengan mengorbankan over-sistemisasi keragaman kontekstual gagasan agama Afrika.
Ray, Benjamin C. (1976). African Religions: Symbol, Ritual, and Community. Prentice-Hall. hlm. 53. ISBN 0130186228.