Daerah dengan populasi signifikan | |
---|---|
Malaysia | ca 8.000.000–10.000.000 (berasimilasi dengan Melayu Malaysia lokal, lebih dari separuh orang Melayu di Malaysia memiliki keturunan dari berbagai suku di Indonesia; lihat artikel Warga negara Malaysia keturunan Indonesia)[1][2][3][4][5] ca 3.500.000–5.300.000 (Warga negara Indonesia)[6][7][8] |
Belanda | |
Arab Saudi | 1.000.000 (2019)[10][12] (keturunan Indonesia) |
Singapura |
|
Afrika Selatan | 300.000 (berasimilasi dengan Melayu Tanjung lokal)[15][16] |
Taiwan | 300.000 (2020)[17] |
Hong Kong | 168.214 (2019)[10][18] |
Amerika Serikat | 142.000 (2020)[19] |
Uni Emirat Arab | 111.987 (2019)[10] |
Brunei Darussalam | 80.000 (2018)[20] (hanya WNI) |
Suriname |
|
Jepang | 66.084 (2020)[23] |
Australia | 62.663 (2019)[10] |
Yordania | 46.586 (2019)[10] |
Korea Selatan | 42.000 (2019)[24] |
China | 38.000 (2020)[25] (hanya WNI) |
Qatar | 37.669 (2019)[10] |
Kuwait | 28.954 (2020)[10] |
Jerman | 24.000 (2021)[26] |
Filipina | 13.503 (2019)[10] (termasuk keturunan Indonesia) |
Suriah | 12.904 (2019)[10] |
Kirgizstan | 58 (2023)[27] |
Bahasa | |
Indonesia (umumnya), Inggris, dan bahasa-bahasa daerah serta asing lainnya | |
Agama | |
Islam, Kekristenan (terutama Protestan dan Katolik), Hindu, Buddha, Konghucu, dan kepercayaan asli Indonesia | |
Kelompok etnik terkait | |
Pribumi-Indonesia, Melayu-Indonesia, Tionghoa-Indonesia, Arab-Indonesia, India-Indonesia, Eropa-Indonesia |
Orang Indonesia perantauan (; disebut juga Diaspora Indonesia) adalah orang-orang dengan keturunan Indonesia yang menetap di luar Indonesia. Istilah ini berlaku bagi orang-orang yang lahir di Indonesia dan berdarah Indonesia yang menjadi warga negara tetap di negara asing atau menetap sementara di negara asing.[28]
Sejak zaman dahulu banyak orang yang berasal dari berbagai etnis yang ada di Indonesia (dulu disebut Nusantara) pergi meninggalkan kampung halamannya ke berbagai wilayah mencari kehidupan yang diharapkan lebih baik. Seperti etnis Aceh, Banjar, Bawean, Bugis, Jawa, Kerinci, Madura, Mandailing, Minangkabau, Palembang dan lainnya yang keturunannya berkembang biak di tanah Semenanjung Malaya, yang kemudian menjadi negara Malaysia dan Singapura.[29][30][31][32] Juga ada yang sampai ke Filipina, Thailand (Pattani), Kamboja, dan lainnya. Pada masa modern juga banyak warga negara Indonesia dari berbagai etnis yang pergi ke luar negeri sebagai profesional, akademisi, mahasiswa, atau tenaga kerja (dikenal dengan TKI). Sebagian besar dari mereka menetap di Malaysia, Timur Tengah, Amerika Serikat, Australia, dan lainnya.[33]
Diaspora Indonesia yang telah berlangsung dari abad ke-20 hingga sekarang dilatar-belakangi oleh berbagai faktor, di antaranya:
Dari sekitar 7 hingga 8 juta orang diaspora Indonesia dapat dibagi jadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang Indonesia yang karena berbagai alasan dan kondisi telah melepas status kewarganegaraan Indonesianya dan secara penuh menjadi warga negara asing. Kelompok lainnya yang berjumlah sekitar 4,6 juta merupakan warga Indonesia yang berkarier di luar negeri namun masih memegang status kewarganegaraan Indonesia.[36]
Banyak orang-orang Indonesia yang merantau masih memiliki kewarganegaraan Indonesia-nya, namun pemerintah Indonesia sampai saat ini belum mengeluarkan kebijakan tentang kewarganegaraan ganda. Sedangkan negara-negara lainnya, seperti India dan Filipina memberlakukan status kewarganegaraan ganda bagi para warganya yang berkarier di luar negeri, sehingga memberi manfaat besar bagi kedua negara tersebut. Menipisnya rasa nasionalisme kadang juga menjadi isu yang diapungkan terhadap kaum diaspora yang berstatus dwi-kewarganegaraan tersebut, yang mana hal ini sebenarnya tidaklah benar karena kebanyakan penduduk diaspora banyak yang berprestasi dan berpotensi mengharumkan nama Indonesia dalam kancah dunia internasional.[36]
Potensi besar kaum diaspora Indonesia yang tersebar di banyak negara terabaikan dalam tempo yang cukup lama. Baru pada bulan Juli 2012, atas gagasan Dino Patti Djalal ketika ia menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diadakan Congress of Indonesian Diaspora (CID) di Los Angeles Convention Center. Kongres yang dihadiri lebih dari 2000 orang diaspora Indonesia dari lima benua tersebut menghasilkan "Deklarasi Diaspora Indonesia" yang salah satu kesepakatannya adalah membangun komunitas global diaspora Indonesia yang dinamai "Jaringan Diaspora Indonesia".[37]
Populasi diaspora Indonesia yang berkisar 7 hingga 8 juta orang masih kalah dibanding diaspora Tiongkok dan India yang masing-masing berjumlah 70 juta dan 60 juta orang. Jutaan orang diaspora Indonesia diwadahi oleh berbagai organisasi atau perkumpulan. Banyak di antara organisasi itu masih dibatasi oleh sekat-sekat, baik sekat suku, agama, maupun profesi.[34] Beberapa organisasi atau perkumpulan itu di antaranya:
Terdapat banyak organisasi lainnya yang bersifat lokal, seperti Rumah Minang, Paguyuban Pasundan, dan lainnya yang berlokasi di Washington DC yang dihuni sekitar 13 ribu orang diaspora Indonesia. Sedangkan di Los Angeles ada komunitas diaspora Indonesia dengan populasi sekitar 40 ribu orang.[36]
Dari jutaan kaum diaspora Indonesia, beberapa di antaranya menggapai kesuksesan taraf internasional sehingga namanya dikenal di dunia. Beberapa nama, seperti Sehat Sutardja, CEO Marvell Technology Group, adalah salah satu orang Indonesia yang sukses di Amerika Serikat di bidang bisnis,[40] Sonita Lontoh, seorang teknokrat dan ekonom yang namanya harum sebagai pakar teknologi hijau dan merupakan eksekutif di sebuah perusahaan teknologi hijau cukup ternama di Silicon Valley, California,[35] Syamsi Ali, seorang pendakwah Islam yang amat dikenal di New York,[41] dan beberapa nama lainnya yang berkarier di berbagai bidang. Tidak asing juga nama Anggun Cipta Sasmi yang bermukim di Prancis sebagai salah satu penyanyi Internasional disamping menjadi Duta PBB, Adapun untuk pemain Holywood ada beberapa nama salah satunya adalah Tania Gunadi.
Di Amerika Serikat, sebagian besar orang Indonesia adalah mahasiswa dan profesional. Universitas Boston dan Universitas Harvard adalah dua perguruan tinggi yang menjadi tujuan utama pelajar Indonesia. Di Silicon Valley, California, terdapat banyak orang Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan teknologi seperti Cisco Systems, KLA Tencor, Google, Yahoo, Sun Microsystems, dan IBM. Pada bulan April 2011, Voice of America melaporkan bahwa semakin banyak pelajar Indonesia yang belajar di Amerika Serikat.[42]
Orang asal Indonesia telah banyak menetap di provinsi Hejaz, kawasan sepanjang pantai barat Arab Saudi. Di antara mereka adalah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang berasal dari Minangkabau di Sumatra. Beliau dulu menjabat sebagai Imam dan ulama Mazhab Syafi'i di Masjidil Haram pada akhir abad ke-19 masehi.
Kini, banyak orang Indonesia di Arab Saudi adalah pekerja rumah tangga, dengan minoritas ada yang bekerja sebagai buruh imigran atau pelajar. Sebagian besar santri dari Indonesia juga banyak yang terus melanjutkan pendidikan mereka di Saudi, seperti di Universitas Islam Madinah dan Universitas Umm Al-Qura di Makkah. Sejumlah ekspatriat Indonesia di Arab Saudi bekerja di sektor diplomatik dan perusahaan swasta dan asing setempat, seperti di Saudi Aramco, perusahaan perbankan, Saudia Airlines, SABIC, Schlumberger, Halliburton, Indomie, dll. Sebagian besar orang Indonesia di Arab Saudi tinggal di Riyadh, Jeddah, dan Dammam.
Beberapa warga negara Saudi yang tinggal di Makkah dan Jeddah adalah keturunan Indonesia. Nenek moyang mereka datang dari Indonesia melalui laut pada akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 untuk tujuan ziarah, perdagangan, dan tujuan pendidikan agama. Banyak dari mereka tidak kembali ke tanah air mereka sehingga mereka memutuskan untuk tinggal di Saudi dan keturunan mereka telah menjadi warga negara Saudi sejak saat itu. Banyak dari mereka juga menikah dengan wanita Arab lokal dan tinggal secara permanen di Saudi. Keturunan mereka saat ini bisa dikenali dengan nama keluarga (marga) mereka yang namanya tersebut berasal dari suku/daerah leluhur mereka di Indonesia, seperti yang namanya berakhiran dengan: "Makassari" (Makkasar), "Banjari" (Banjar), "Batawi" (Betawi), "Falimbani" (Palembang), "Fadani" (Padang), "Bantani" (Banten), "Minangkabawi" (Minangkabau), "Bawayan" (Bawean), "Andunisi" (Indonesia), dan lain-lain. Jika orang Saudi memiliki akhiran nama seperti itu, maka sudah dipastikan mereka berdarah Indonesia. Salah satunya adalah Muhammad Saleh Benten, seorang politisi Saudi yang ditunjuk oleh Raja Salman sebagai Menteri Haji dan Umrah Saudi.[43]
Mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur menyatakan bahwa 50% penduduk Mekkah adalah keturunan Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena perdagangan antara kedua negara, sejak era kekhalifahan Rashidun dengan Nusantara di masa lalu.[44]
Sebelum pelaut Belanda dan Inggris tiba di Australia, orang Indonesia dari Suku Makassar, Sulawesi Selatan telah menjelajahi pantai utara Australia. Setiap tahun, para pelaut Makassar berlayar ke Australia dengan menggunakan perahu pinisi, Padewakang, Patorani dll. Mereka menetap di Australia selama beberapa bulan untuk berdagang sebelum kembali ke Makassar pada musim kemarau. Aktivitas ini terus berlangsung sampai tahun 1907.[45]
Indonesia adalah bekas koloni Belanda. Pada awal abad ke-20, banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda. Sebagian besar dari mereka tinggal di Leiden dan aktif dalam Perhimpunan Indonesia. Selama Revolusi Nasional Indonesia, banyak penduduk Maluku yang bermigrasi ke Belanda. Kebanyakan dari mereka adalah mantan tentara KNIL.[46][47][48] Akibatnya, sekitar 12.500 orang Indonesia menetap di Belanda. Giovanni Van Bronckhorst, Denny Landzaat, Roy Makaay, Mia Audina, dan Daniel Sahuleka adalah orang-orang terkenal keturunan Indonesia di Belanda.
Sejak 2007, Pemerintah Jepang mencatat 30.620 penduduk resmi berkebangsaan Indonesia menetap di Jepang dan dan diperkirakan 4.947 lainnya tinggal di negara tersebut secara ilegal.[49][50]
Menurut Kedutaan Besar Republik Indonesia di Tashkent, terdapat 58 orang diaspora Indonesia di Kirgizstan pada tahun 2023. 13 diantaranya berprofesi sebagai pengajar.[27]
Diperkirakan terdapat sekitar 2.500.000 warga negara Indonesia di Malaysia pada waktu tertentu, yang disebabkan oleh adanya migrasi yang konstan sejak zaman kuno dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi serta pengiriman tenaga kerja. Jumlah warga negara Malaysia yang berdarah Indonesia mungkin bisa sampai jutaan lebih.[33]
Terdapat sekitar 39.000 warga negara Indonesia di Qatar menurut Kedutaan Besar Republik Indonesia di negara tersebut.[51]
Menurut Kedutaan Besar Indonesia di Singapura, pada 2010 terdapat 180.000 warga negara Indonesia di Singapura. Sebanyak 80.000 orang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, 10.000 sebagai pelaut, dan sisanya adalah mahasiswa atau kalangan profesional.[52]
Orang Indonesia, terutama orang Jawa, berjumlah sekitar 15% dari populasi Suriname. Pada abad ke-19, Belanda mengirimkan orang Jawa ke Suriname sebagai pekerja kontrak di perkebunan. Orang keturunan Indonesia yang paling terkenal di Suriname salah satunya adalah Paul Somohardjo, juru bicara Majelis Nasional Suriname.[53][54]
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama WNI di Luar Negeri
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama JUMLAH TKI MENURUT NEGARA PENEMPATAN