Yahudi Palestina atau Yahudi Yerusalem adalah sebutan untuk orang Yahudi yang berdiam di Yerusalem, Palestina. Pada masa pendudukan Inggris, sebelum pembentukan Negara Israel, sering disebut sebagai "Yishuv" (yang berarti "Komunitas Yahudi"). Ada perbedaan antar "Yishuv Lama" (Old Yishuv), yaitu, komunitas Yahudi yang sudah berdiam di tanah Israel sejak dahulu, dan "Yishuv Baru" (New Yishuv), yaitu sebagian besar orang Yahudi yang baru tiba di tanah Israel sebagai imigran Yahudi setelah Aliyah Pertama pada tahun 1881. Sejumlah pakar juga menggunakan istilah "Yahudi Palestina" untuk menyebut orang Yahudi yang tinggal di provinsi-provinsi Kekaisaran Bizantin, "Palaestina Prima" dan "Palaestina Secunda".
Setelah Negara Israel modern lahir pada tahun 1948, orang-orang Yahudi asli di tanah Palestina otomatis menjadi warga negara Israel, dan istilah "Yahudi Palestina" umumnya sudah tidak digunakan lagi. Sekarang penggunaannya terbatas pad penyebutan orang-orang Yahudi (kebanyakan orang Israel), yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan paspor Palestina, dengan berbagai alasan, terutama alasan politik.
Sebelum terpecahnya Kekaisaran Utsmaniyah, penduduk daerah yang sekarang meliputi negara Israel modern, Tepi Barat, dan Jalur Gaza tidak secara eksklusif beragama Muslim. Di bawah pemerintahan Kekaisaran tersebut pada pertengahan abad ke-16, tidak lebih dari 10.000 orang Yahudi tinggal di Palestina,[1] yang merupakan sekitar 5% dari populasi. Ini mungkin merupakan proporsi terbesar orang Yahudi dibandingkan dengan populasi non-Yahudi dalam suatu wilayah tertentu pada saat itu. Sebagai perbandingan, orang Yahudi saat ini berjumlah sekitar 0,2% dari populasi dunia. Pada pertengahan abad ke-19, sebuah sumber Turki mencatat bahwa di Palestina 80% dari populasi yang berjumlah 600.000 jiwa diidentifikasi sebagai orang Muslim, 10% sebagai orang Kristen Arab dan 5-7% sebagai orang Yahudi.[2]
Situasi komunitas Yahudi di Palestina lebih rumit daripada di negara-negara Arab tetangganya.[3] Di Yaman, Irak, Suriah dan Lebanon, sebagian besar masyarakatnya bersifat homogen dalam segi kesukuan dan kepercayaan, sedangkan di Palestina pada abad ke-19, ziarah-ziarah orang Yahudi dan proyek-proyek kolonial Kristen Eropa menarik banyak imigran Ashkenazi dari Eropa Timur dan kaum Sefardim dari Bulgaria, Turki dan Afrika Utara.[3] Orang Yahudi di Palestina tidak seluruhnya berasal dari semenanjung Iberia dan termasuk di dalamnya, sejumlah besar komunitas berbahasa Yiddi, yang telah berdiam di Palestina pada abad-abad sebelumnya.[3]
.
Menjelang akhir era kekaisaran Ottoman di Palestina, komunitas Yahudi pribumi hidup terutama di empat "kota suci", yaitu Safed, Tiberias, Hebron dan Yerusalem.[3] Penduduk Yahudi terdiri dari kaum Ashkenazi (berbahasa Yahudi-Jerman) dan Sefardim. Kaum Sefardim dapat dibagi atas "Sefardim" biasa (berbahasa Yahudi-Spanyol) dan "Moghrabim" (berbahasa Arab). Mayoritas orang Yahudi di empat kota suci tersebut, kecuali Yerusalem, dapat berbahasa Arab dan Yahudi-Spanyol.[3] Bahasa dominan di kalangan orang Yahudi di Yerusalem adalah bahasa Yiddish, akibat migrasi besar-besaran orang Yahudi Ashkenazi dari Rusia dan Eropa Timur. Namun, pada tahun 1882, terdapat 7.620 orang Sefardim di Yerusalem, di antaranya 1.290 kaum Moghrabim, yang berasal dari tanah Maghreb atau Afrika Utara. Penduduk asli kota adalah warga Turki, dan fasih berbahasa Arab.[3] Bahasa Arab juga menjadi bahasa pergaulan umum (lingua franca) bagi kaum Sefardim/Moghrabim dan Ashkenazi serta orang Arab non-Yahudi di kota-kota berpenduduk campuran seperti Safed dan Hebron.[3]
Dalam karya-karya naratif Arab di Palestina pada akhir periode Ottoman, yang dibuktikan dari sejumlah otobiografi dan buku harian Khalil al-Sakakini dan Wasif Jawhariyyeh, orang Yahudi "pribumi" sering disebut dan digambarkan sebagai "abnaa al-balad" ("anak-anak negeri"), "kompatriot", atau "Yahud Awlad Arab" (orang Yahudi anak-anak Arab).[3] Pada bulan Februari 1919 Kongres Pertama Palestina menerbitkan manifesto anti-Zionisme menolak imigrasi Zionis, tetapi mengulurkan sambutan bagi orang Yahudi "di antara kami yang telah di-Arab-kan, yang telah tinggal di provinsi kami sejak sebelum perang. Mereka itu adalah seperti kami, dan loyalitas mereka adalah milik kami."[3].
Orang Yahudi di Eropa yang umumnya dianggap sebagai orang "Timur" (atau "Oriental") di banyak negara tempat mereka berdiam, yaitu acuan untuk asal usul leluhur mereka di Timur Tengah. Sebuah contoh yang menonjol adalah Immanuel Kant, seorang filsuf Prusia yang hidup pada abad ke-18, menyebut Yahudi Eropa sebagai "warga Palestina yang tinggal di antara kita." [4]
"Piagam Nasional Palestina" (Palestinian National Charter), sebagaimana telah ditetapkan oleh Dewan Nasional Palestina dari PLO pada bulan Juli 1968, mendefinisikan "orang Palestina" sebagai "warga negara Arab yang biasanya berdiam di Palestina sampai tahun 1947, terlepas dari apakah kemudian mereka diusir dari situ atau tetap tinggal di sana. Siapapun yang lahir setelah tanggal tersebut, dari seorang ayah Palestina - baik di wilayah Palestina maupun di luarnya - juga merupakan orang Palestina".[5] Tamabahannya, "orang Yahudi yang biasanya berdiam di Palestina sampai awal pendirian Israel pada tahun 1948 juga dianggap orang Palestina".[5]
Jacob Meir (lahir tahun 1856 di Yerusalem), Kepala Rabbi Sefardim pertama di wilayah Mandat Palestina, lebih suka tidak menggunakan istilah "Yahudi Palestina" karena afiliasinya dengan kaum Zionis. Dia berbicara bahasa Ibrani dengan fasih dan mendorong pembangunan pemukiman orang Yahudi baru di Daerah Kwartir Yahudi (Jew Quarter) di Yerusalem serta pembentukan kembali sebuah Negara Israel Yahudi yang Independen.[6]
Uri Davis, seorang warganegara Israel, akademik, aktivis dan pengamat-anggota pada Dewan Nasional Palestina yang hidup di kota Arab, Sakhnin, mengidentifikasi dirinya sebagai "orang Yahudi Palestina anti-Zionis".[7][8] Davis menjelaskan, "Saya tidak menggambarkan diri saya sebagai seorang Yahudi Palestina. Saya sesungguhnya memang seorang Yahudi Palestina. Saya lahir di Yerusalem pada tahun 1943, di negara yang disebut "Palestina" dan judul akta kelahiran saya adalah "Pemerintah Palestina". Jadi, itu tidak berarti "di sini" atau "di sana". Nilai pentingnya hanya pada konteks politik di mana saya berada, dan konteks politik yang relevan dengan pekerjaan saya, kegiatan advokasi saya sebagai kritikus Zionisme. Saya adalah seorang Yahudi Anti-Zionisme."[8] Dia telah masuk Islam pada tahun 2008 untuk menikahi seorang wanita Muslim Palestina, Miyassar Abu Ali, yang dijumpainya pada tahun 2006.[9][10]
Juliano Mer-Khamis, seorang aktor, sutradara dan aktivis, putra seorang ibu Yahudi Israel dan seorang ayah Arab Palestina, dalam sebuah wawancara pada tahun 2009 dengan Radio Angkatan Darat Israel menggambarkan dirinya sebagai "100 persen orang Palestina dan 100 persen orang Yahudi".[11]